Saat bicara kematian, biasanya, merupakan topik yang kurang
disenangi dan diminati bagi sebagian orang. Kenapa? Karena, pada
dasarnya, naluri manusia menginginkan hidup lama, bahkan kalau bisa
hidup seribu tahun lamanya. Alloh SWT menyatakan dalam QS Al-Baqoroh 96,
bahwasanya ada segolongan manusia yang ingin hidup seribu tahun
lamanya.
“…masing-masing mereka ingin diberi umur seribu tahun, padahal
umur panjang itu tidak akan menjauhkan mereka dari azab. Dan Alloh maha
melihat apa yang mereka kerjakan”
Naluri ingin hidup lama, tidak hanya ada
pada kita sekarang, namun sejak nabi Adam sekalipun. Ia ingin menetap di
surga selama-lamanya. Sehingga dengannya, nabi Adam berhasil digoda
tipu daya syetan. Melalui pintu ingin hidup panjang, syetan membisikan
nabi Adam, agar melanggar larangan Alloh memakan buah khuldi.
Sebagaimana tercantum dalam QS Thoha 120.
“Kemudian syetan membisikkan (pikiran jahat) kepadanya dengan
berkata,”wahai adam! Maukah aku tunjukkan kepadamu pohon keabadian
(khuldi) dan kerajaan yang tidak akan binasa?”
Banyak faktor yang menyebabkan orang takut atau cemas saat bicara
kematian, merujuk pendapat DR. Quraisy Syihab, faktor tersebut adalah
sebagai berikut:
1) Tidak mengetahui apa yang akan dihadapi setelah
kematian
2) Menduga bahwa apa yang dimiliki sekarang jauh lebih baik
dengan apa yang dimiliki nanti
3) Membayangkan betapa sulitnya
pengalaman mati
4) Khawatir memikirkan terhadap keluarga yang
ditinggalkan
5) Tidak mengetahui makna kehidupan dan kematian.
Jika manusia cemas menghadapi kematian karena membayangkan sulitnya
pengalaman mati, sebenarnya tidak pada tempatnya. Memang dalam al-Quran
dan Hadits disebutkan bahwa ada kematian yang sangat menyakitkan, namun
perlu diingat juga, ada kematian yang sangat indah dan menyenangkan.
Dalam QS Annazi’at 1-2, Alloh SWT berfirman,
Demi (malaikat) yang mencabut (nyawa) dengan keras.
Demi (malaikat) yang mencabut (nyawa) dengan lemah lembut.
Dalam kedua ayat ini, Alloh menggambarkan dua karakteristik manusia
saat dicabut nyawanya, yakni dicabut dengan keras dan dicabut dengan
lemah lembut. Dicabut nyawa dengan keras merupakan pengalaman kematian
yang menyakitkan. Untuk kondisi ini, rosul mengumpamakan seperti duri
yang ada dikapas, lalu duri tersebut ditarik dengan cepat sehingga
kapas-kapas terbawa karena kerasnya tarikan. Ini, menjelaskan nyawa
dicabut dari badan dengan cepat, keras, paksa dan menyakitkan.
Sementara itu, kondisi dicabut nyawa dengan lemah lembut, adalah
proses kematian secara perlahan-lahan. Untuk kasus ini, diibaratkan
seseorang yang ngantuk, lalu rebahan, lalu hilang kesadaran sampai ia
tertidur lelap dan indah.
Faktor utama yang menentukan apakah manusia mengalami kondisi pertama
atau kedua, tidak lain adalah keimanan dan amal sholeh. Saat manusia
berlaku jahat, dosa dan maksiat bisa jadi ia akan merasakan kematian
yang sakit, dipaksa dan cepat. Sementara bagi orang yang beriman dan
beramal sholeh, kematian sebagai hal yang lezat dan indah
Dalam haditnya nabi bersabda, seorang beriman, saat menjelang
kematian akan didatangi malaikat yang menyampaikan berita atau
visualisasi tempat tinggal dan fasilitas apa yang akan dihadapi nanti.
Bisa jadi istana atau bidadari. Maka tidak ada yang paling disenanginya,
kecuali segera bertemu dan dicabut nyawanya.Sementara orang kafir, saat
mati menjelang ia akan meraskana ketakutan untuk bertemu dengan
tuhannya.
Jadi, bagi kita orang yang beriman, janganlah terlalu cemas mengadapi
kematian. Yang paling utama adalah melakukan usaha terbaik
mengumpulkan bekal menghadapi kematian. Kita siap kapan dan mana pun
kematian menjemput. Jadikan kematian sebagai media untuk menumbuhkan
semangat pengabdian kepada Alloh, dengannya kita tidak santai-santai
untuk beribadah kepada Alloh.
Jadikan dunia sebagai sarana menuju kehidupam akhirat yang sempurna. Sebagaimana Alloh SWT berfirman dalam Attaubah 38.
“…Apakah kamu lebih menyenangi kehidupan di dunia daripada
kehidupan di akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini
(dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit.”
Bagaimana dengan perasaan takut mati?
Dalam
batas-batas tertentu, takut mati adalah fitrah alias wajar. Bahkan baik,
apabila takut mati mampu menjadi pendorong atau motivator untuk berbuat
berbagai kebajikan dan menjadi energi untuk menjauhkan diri dari
kemaksiatan.
Takut mati seperti ini sangat baik, harus kita
tumbuhkan dan dirawat. Nabi saw. pernah bersabda, ”Perbanyaklah
mengingat ’pemutus kenikmatan’ yaitu kematian!”
Keterangan ini mengisyaratkan bahwa dalam batas-batas tertentu, takut mati sangatlah baik.
Namun takut mati menjadi sangat buruk apabila membawa kita pada sikap apatis, tidak ada semangat hidup, bahkan putus asa.
Takut mati semacam ini harus disembuhkan dengan cara memupuk kesadaran
bahwa setiap orang akan mati, baik cepat ataupun lambat.
Kita
tidak perlu takut mati, sebab mati pasti akan kita alami. Yang harus
kita takuti, apa yang akan kita bawa setelah mati. Jadikanlah takut mati
sebagai motivator atau pendorong untuk berlomba dalam kebaikan.
Wallahu A’lam