Di antara peserta pesta demokrasi itu, terdapat partai-partai yang
mengusung nama Islam. Mereka masih berkeyakinan bahwa sentimen agama
masih menjadi komoditas yang laik jual. Meskipun senyatanya, kesantunan
beragama terkadang tidak melekat dalam pergaulan mereka. Tak sedikit
yang berlaga sehingga saling menyerang, baku tikai hanya karena beda
partai. Tak sedikit pula yang membujuk rayu masyarakat dengan uang,
kaos, atau fasilitas lainnya dengan maksud masyarakat memilihnya. Ini
yang sering dimunculkan sebagai isu-isu untuk meruntuhkan partai lawan.
Seperti apa wajah partai Islam sekarang? Atau, sebelum pertanyaan
ini disodorkan, perlu dipertanyakan terlebih dulu: Adakah partai Islam
itu? Partai-partai “Islam” (dalam tanda kutip) cukup variatif. Baik dari
sisi konstituen (para pendukung) maupun dari sisi visi yang menjadi
dasar perjuangan mereka.
Di antaranya ada yang secara tegas menyatakan diri sebagai partai
berazas Islam, berjuang untuk menegakkan hukum Islam ke dalam
perundang-undangan Indonesia. Dalam sejarah kepartaian setelah Indonesia
merdeka, partai yang memiliki garis perjuangan seperti itu bisa
ditemukan pada Partai Masyumi.
Bagaimana dengan partai-partai “Islam” masa pascareformasi?
Sungguh, partai-partai yang ada sekarang masih sulit untuk disejajarkan
dengan Partai Masyumi yang dulu. Walau dengan tingkat “soliditas” yang
tinggi dan “handal”, toh dalam pentas sejarah kepartaian, Masyumi masih
bisa dijegal kalangan nasionalis sekuler dan kalangan komunis.
Perjuangan untuk menegakkan syariat Islam melalui sistem demokrasi
kepartaian pun kandas. Presiden Soekarno saat itu menekan Masyumi untuk
bubar melalui Keputusan Presiden No. 200/1960. Maka, tidak kurang dari
sebulan setelah Keputusan Presiden tersebut, pada tanggal 13 September
1960 Partai Masyumi menyatakan membubarkan diri. Pembubaran diri ini
dilakukan setelah Presiden mengancam akan menjadikannya sebagai partai
terlarang jika tidak mematuhinya. (Lihat Deliar Noer, Partai Islam di
Pentas Nasional, Kisah dan Analisis Perkembangan Politik Indonesia
1945-1965, hal. 414-415). Itulah klimaks memperjuangkan agama melalui
alur demokrasi. Berupaya membangun dinding, tapi lupa membangun fondasi.
Berupaya agar syariat Islam diberlakukan dalam perundangan, tapi lalai
membekali umat dengan pemahaman Islam yang benar.
Bentuk lainnya, terdapat pula partai-partai yang secara tegas
menyatakan bukan partai Islam, namun memiliki basis massa dan pengurus
partai berasal dari tokoh-tokoh yang dianggap oleh sebagian kalangan
sebagai tokoh Islam. Partai-partai ini oleh sebagian kalangan dianggap
memiliki akar sejarah keislaman dan memiliki ikatan emosional yang kuat
dengan ormas-ormas Islam.
Terlepas dari corak yang ada pada partai-partai “Islam” tersebut,
tumbuh keyakinan pada sebagian kalangan bahwa terjun ke gelanggang
politik, masuk dalam sistem demokrasi merupakan bentuk perjuangan
menegakkan dakwah. Berjuang melalui partai-partai “Islam”, menyuarakan
aspirasi umat adalah bagian dari dakwah. Bahkan telah terpatri pada
benak sebagian kaum muslimin, bila tidak turut berjuang melalui partai,
maka negara akan dipimpin dan dikuasai kaum kafir. Umat Islam akan
menjadi kelompok marginal (terpinggirkan), tidak berada dalam arus
lingkaran kekuasaan. Seakan-akan keselamatan kaum muslimin hanya bisa
dicapai dengan merebut suara terbanyak pada pesta demokrasi. Padahal
Allah l telah berfirman:
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara
kamu dan mengerjakan amal-amal yang shalih bahwa Dia sungguh-sungguh
akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah
menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia
akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka,
dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada
dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan
tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang
(tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang
fasik.” (An-Nur: 55)
Abul Fida Ismail Ibnu Katsir t menuturkan, inilah janji Allah l
kepada Rasul-Nya n. Sungguh, Allah l akan menjadikan umat-Nya sebagai
khalifah di muka bumi. Maksudnya, Allah l akan menjadikan umat-Nya
sebagai pemimpin-pemimpin masyarakat dan penguasa mereka. Sungguh,
benar-benar Allah l akan mengganti rasa takut menjadi situasi yang penuh
rasa aman dan (tegaknya) hukum. Allah Yang Mahasuci dan Mahatinggi
telah membuktikan janji itu dan milik-Nya lah segala puji. Saat
Rasulullah n belum meninggal dunia, Allah l telah membukakan kemenangan
kepada kaum muslimin dengan Fathu Makkah, Khaibar, Bahrain, dan seluruh
Jazirah Arab serta bumi Yaman secara total. Jizyah (upeti) telah bisa
diperoleh dari kalangan Majusi Hajar, sebagian pinggiran Syam. Para raja
mengajukan deklarasi damai kepada beliau n. Di antaranya Raja
Heraklius, Romawi, penguasa Mesir dan Iskandariyah yaitu Muqauqus, Raja
Oman, Raja An-Najasyi di Habasyah yang memerintah setelah Ashimah t.
Kemudian, kala beliau n telah wafat, Allah l memilih pengganti beliau
dengan Abu Bakr Ash-Shiddiq z. Semasa pemerintahannya, Abu Bakr
Ash-Shiddiq z mengirim pasukan di bawah komando Khalid bin Walid z ke
Persia. Kemenangan pun diperoleh, Persia ditaklukkan dan sebagian
tentaranya dibunuh. Abu Bakr Ash-Shiddiq z pun mengutus pasukan di bawah
pimpinan Abu Ubaidah z ke wilayah Syam. Juga mengirim sahabat Amr bin
Al-’Ash z beserta pasukannya ke Mesir. Allah l memberikan kemenangan
kepada pasukan kaum muslimin di Syam, berhasil pula menguasai Bashrah,
Damaskus, dan yang tersisa adalah sebagian negeri Hauran. Sepeninggal
Abu Bakr Ash-Shiddiq z, muncul Umar Al-Faruq z. Beliau menegakkan
pemerintahan secara paripurna, yang belum ada tandingannya dalam sejarah
–setelah para nabi– dalam hal kekokohan, kekuatan, dan keadilannya yang
sungguh sempurna. Dalam masa pemerintahannya, wilayah Syam dikuasai
secara total, beberapa wilayah Mesir lainnya, dan sebagian besar wilayah
Persia pun berhasil dikuasai. Begitu pula dengan kekaisaran Kisra,
berhasil ditaklukkan dan direndahkan serendah-rendahnya. Raja Kisra lari
hingga terusir. Nasib serupa pun menimpa Raja Romawi. Kerajaannya
berhasil diruntuhkan, hingga terlepas kekuasaannya di negeri Syam dan
dia lari menuju Konstantinopel. Kemudian saat masa Daulah Utsmaniyah,
kekuasaan kaum muslimin semakin melebar dari Timur hingga belahan Barat
bumi. Wilayah Maghribi berhasil dikuasai hingga batas ujung yaitu
Andalusia, Qabras (Cyprus), negeri Qairawan dan Sabtah yang terletak
sekitar Laut Atlantik. Dari arah timur hingga ke negeri Cina. (Lihat
Tafsir Ibnu Katsir saat menjelaskan ayat di atas, 3/366)
Demikianlah fakta sejarah. Lantaran kekokohan iman, kebersihan
aqidah, ketulusan beramal shalih, Allah l menampakkan janjinya. Kata
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz t, pertolongan Allah l bisa diperoleh
dengan mengikuti syariat-Nya dan bersabar (dalam menjalankannya).
Sebagaimana firman-Nya:
“Wahai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah,
niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (Muhammad: 7)
Ini sebagaimana tersebut dalam pernyataan Rasulullah n kepada Abdullah bin Abbas c:
احْفَظِ اللهَ يَحْفَظْكَ، احْفَظِ اللهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ
“Jagalah (hukum-hukum) Allah, niscaya Allah akan menjagamu. Jagalah
(hukum-hukum) Allah niscaya akan engkau dapati Dia di depanmu.” (HR.
At-Tirmidzi no. 2516, dishahihkan Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin
Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’, no. 7957)
Maka, barangsiapa menjaga Allah l dengan menjaga agama-Nya,
bersikap istiqamah, saling menasihati dan bersabar atasnya, kelak Allah l
akan menolongnya, mengokohkannya atas musuh-musuhnya serta menjaganya
dari tipu daya musuhnya. Allah l berfirman:
“Dan Kami selalu berkewajiban menolong orang-orang yang beriman.” (Ar-Rum: 47)
Nampak, betapa keberhasilan yang gilang-gemilang dari generasi
utama umat ini karena ketaatan, ketundukan, dan ketulusan mereka dalam
menetapi perintah Allah l dan Rasul-Nya n. Mereka adalah generasi yang
senantiasa ittiba’ (mengikuti) apa yang dicontohkan Rasulullah n. Inilah
kunci keberhasilan mereka. Dengan pertolongan Allah l, mereka berhasil
menguasai dan memimpin di berbagai belahan dunia. Ke sanalah mesti
merujuk. Merekalah yang patut untuk diteladani. Bukan mengikuti
langkah-langkah yang telah dicanangkan secara sistematik oleh
orang-orang kafir, musuh-musuh Islam. Ketika menukil ayat:
“Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan
orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat,
seraya mereka tunduk (kepada Allah). Dan barangsiapa mengambil Allah,
Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka
sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang.”
(Al-Ma’idah: 55-56)
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdillah Al-Imam menyatakan: “Perhatikan,
Allah l telah menjanjikan kemenangan kepada orang-orang yang beriman
atas musuh-musuh Allah l setelah menyebutkan kaidah (prinsip) keimanan,
yaitu sikap wala’ (loyalitas) yang kokoh kepada Allah l, Rasul-Nya n,
dan orang-orang yang beriman. Sikap wala’ (loyalitas) ini diiringi pula
dengan sikap berlepas diri secara total dari musuh-musuh (Allah l).”
(Tanwir Azh-Zhulumat, hal. 49)
Maka, apa yang akan terjadi jika perjuangan menegakkan Islam tanpa
mengindahkan prinsip-prinsip keimanan? Bahkan prinsip-prinsip tersebut
dinjak-injak dan dicampakkan demi meraup suara pada pemilu. Wallahul
Musta’an.
Bila ditelaah secara cermat, sejauh mana kerusakan yang ditimbulkan
akibat mengikuti sistem demokrasi ini, bagaimana sikap para aktivis
partai “Islam” setelah mereka berkubang di lumpur demokrasi, maka sudah
bukan satu hal yang asing bila terdengar lontaran-lontaran pemikiran
aneh dan ganjil dari para politisi partai “Islam”. Dari sekian banyak
“Islam”, ada partai “Islam” yang memimpikan keadilan dan kesejahteraan
masyarakat, menggeser haluan perjuangan partainya. Menjelang Pemilu 1999
misalnya, Dewan Syariah partai “Islam” ini, selaku lembaga yang
bertugas membuat putusan agama untuk anggota dan simpatisan partai,
mengeluarkan seruan kepada kader dan pendukungnya agar tak terjebak
dalam kesibukan mencari pemilih. Sebab, partai ini didirikan bukan untuk
mengejar kekuasaan, tapi guna kepentingan dakwah. Jelang Pemilu 2004,
Dewan Syariah partai “Islam” ini mengeluarkan seruan, yang terpenting
dilakukan aktivis kader partainya adalah mengajak orang
sebanyak-banyaknya memilih partai “Islam” ini. Soal dakwah urusan
kemudian. Partai “Islam” ini pun mengalami perubahan dari sebuah partai
idealis menjadi pragmatis. Tak heran, bila kemudian muncul pernyataan
dari Wakil Sekjen Partai tersebut, bahwa partainya siap menerima anggota
non-muslim untuk dijadikan anggota DPR dari partai “Islam”-nya. Bahkan,
dikatakannya, bahwa partainya siap berkoalisi dengan partai apapun dan
lembaga manapun. Menghadapi Pemilu 2009 ini, Sekjen partai “Islam” ini,
saat acara temu muka Tim Delapan partai “Islam” ini dengan sejumlah
tokoh non-muslim Makassar, menyatakan bahwa untuk memenuhi target suara
20% dalam Pemilu 2009, partai “Islam” ini berhasrat merangkul semua suku
maupun agama. Begitulah pergeseran perilaku politik partai yang
didirikan para aktivis bercorak pemahaman Ikhwanul Muslimin.
Pergeseran perilaku politik telah mengubah sikap beragama.
Idealisme memperjuangkan tegaknya syariat Islam, luntur tercelup
kepentingan-kepentingan sesaat. Adagium (pepatah) dalam politik: “Tidak
ada lawan atau kawan abadi, yang ada adalah kepentingan abadi”
benar-benar diterapkan. Menukil pernyataan Asy-Syaikh Muhammad bin
Abdillah Al-Imam, satu dari sekian banyak kerusakan mengikuti pemilu
yaitu tamyi’ al-wala’ wal bara’ (lunturnya sikap loyalitas terhadap
al-haq dan ahlul haq, serta berlepas diri dari kebatilan dan
pengusungnya). (Lihat Tanwir Azh-Zhulumat hal. 49)
Seorang kafir akan dijadikan teman seiring dalam perjuangan karena
menunjukkan sikap loyalitas terhadap partai. Sedangkan seorang muslim
yang taat, karena ketaatannya kepada syariat Allah l, ia tidak
dihiraukannya. Bahkan, bisa jadi seorang muslim tadi disikapi sebagai
lawan dengan tingkat permusuhan yang tajam lantaran mengkritisi cara
perjuangan berpartai. Padahal Allah l berfirman:
“Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan
orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat,
seraya mereka tunduk (kepada Allah). Dan barangsiapa mengambil Allah,
Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka
sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang.”
(Al-Ma’idah: 55-56)
Firman-Nya:
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama
dengannya adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih
sayang sesama mereka.” (Al-Fath: 29)
Selain itu, seseorang, partai atau jamaah yang terjerembab ke dalam
kubangan lumpur demokrasi, maka jerat-jerat aturan perundangan akan
mengikatnya. Dia harus tunduk dengan segala perundangan yang ada walau
perundangan tersebut menyelisihi syariat. Peraturan yang mengharuskan
setiap partai mengajukan calon legislatif dengan komposisi
(keterwakilan) 30% harus wanita, tentu bukan semata aturan untuk partai
peserta pemilu. Peraturan ini harus dilihat pula sebagai bentuk
kemenangan para pejuang emansipasi wanita. Sedangkan agenda tersembunyi
dari program emansipasi yaitu merobek hijab muslimah dan mengeluarkan
kaum muslimah dari tradisi Islam. Bila kaum muslimah sudah duduk di
kursi legislatif, maka koyaklah hijab mereka. Mereka akan bercampur
dengan laki-laki yang bukan mahram, mendedahkan aurat, bebas
berpandangan antarlawan jenis dan keluar rumah dengan sebab yang bukan
darurat. Tak cuma itu, akibat mengikuti sistem demokrasi, maka saat
kampanye berlangsung, para wanita turut membaur di antara peserta
kampanye laki-laki. Di manakah letak pengamalan terhadap syariat?
Padahal Allah l telah berfirman:
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan
bertingkah laku seperti orang-orang jahiliah yang dahulu.” (Al-Ahzab:
33)
Allah l berfirman:
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan
pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka
menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya’.”
(An-Nur: 31)
Pemilihan terhadap wanita untuk menduduki jabatan yang memiliki
tanggung jawab dalam kepemimpinan umat, masuk dalam kategori hadits Abu
Bakrah z:
لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً
“Tidak akan beruntung satu kaum (bangsa) yang menyerahkan kepemimpinannya kepada seorang wanita.” (HR. Al-Bukhari no. 4425)
Apa yang dilakukan partai-partai “Islam” kala Megawati dari Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) maju mencalonkan diri menjadi
Presiden? Partai-partai “Islam” nyaring menyuarakan penentangannya.
Menjelang Pemilu 1999 kala itu diwarnai persaingan antara kalangan Islam
dengan nasionalis sekuler. Partai-partai “Islam” berupaya menjegal
Megawati untuk duduk di kursi RI-1. Mereka menggunakan banyak cara,
termasuk mencari justifikasi (pembenaran) dari agama bahwa Islam
melarang wanita menjadi kepala negara.
Setelah melebur dalam ‘poros tengah’, partai-partai “Islam”
mengusung nama Gus Dur untuk dicalonkan menjadi Presiden. Upaya ‘poros
tengah’ berhasil. Gus Dur menduduki kursi presiden. Namun, kala kinerja
Gus Dur morat-marit, ‘poros tengah’ yang didukung partai-partai “Islam”
menarik dukungannya kepada Gus Dur. Akhirnya, Gus Dur makzul, lengser
dari kursi presiden. Penggantinya adalah Megawati. Posisi Megawati
menguat karena mendapat dukungan partai-partai “Islam”.
Dulu, partai-partai “Islam” sekuat tenaga menjegal Megawati jadi
presiden, tapi setelah itu berbalik mendukungnya. Dalil agama yang
melarang wanita jadi kepala negara pun sirna. Tak terdengar lagi
gaungnya. Nyata, pernyataan boleh tidaknya wanita jadi kepala negara
hanya retorika politik. Para politisi, termasuk dari partai-partai
“Islam”, telah melakukan politisasi agama guna memperoleh dukungan
kalangan Islam. Agama akan dijunjung sedemikian rupa manakala
menguntungkan para politisi atau partai. Namun ketika agama tidak bisa
atau menghambat perolehan suara atau kedudukan partai dan politisi, maka
agama itu pun dicampakkan.
Kasus yang nyaris sama terjadi pada sebuah partai “Islam”. Partai
satu ini pernah dituding sebagai partai anti tahlilan dan yasinan.
Melihat latar belakang pendidikan keagamaan para kader partai “Islam”
ini, tudingan seperti itu tidak bisa secara mutlak disalahkan. Artinya,
kalau para kader partai “Islam” ini mau jujur, praktik acara tahlilan
dan yasinan bukan merupakan tradisi keagamaan yang dianut dan diyakini
para kader partai “Islam” ini sebagai sesuatu yang benar. Tahlilan dan
yasinan bukan materi yang diajarkan kepada kader-kader partai “Islam”
ini di halaqah-halaqah tarbiyah mereka. Bahkan, kalau mereka mau jujur,
justru ritual tahlilan dan yasinan dinilai (oleh para kader partai
“Islam” ini) sebagai bid’ah.
Masalahnya, mengapa tudingan sebagai partai anti tahlilan dan
yasinan dibantah? Jawaban untuk pertanyaan ini harus kembali kepada
kebijakan petinggi partai. Sebagaimana seruan Dewan Syariah Partai, yang
terpenting dilakukan kader adalah mengajak orang pilih partai “Islam”
ini. Adapun dakwah, bisa dilakukan setelah itu. Target untuk menggapai
perolehan suara sebanyak-banyaknya telah melunturkan idealisme
keagamaan. Orientasi kekuasaan telah menjadikan lidah para kader kelu
untuk menyuarakan kebenaran yang telah diyakininya. Bahkan yang ekstrem,
untuk memupus partai “Islam” ini sebagai partai anti tahlilan dan
yasinan, Ketua Majelis Syura sering memimpin tahlilan, yasinan, dan
menghadiri peringatan Maulid Nabi. Ini disampaikan di hadapan para kader
partai yang salah satu unsur lambangnya dua bulan sabit mengapit padi
tersebut saat Mukernas 2008 di Makassar.
Allah l menyebut karakteristik umat yang kelak memperoleh
kemenangan dan kejayaan, di antaranya menegakkan amar ma’ruf dan
mencegah kemungkaran. Firman-Nya:
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru
kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang
munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (Ali ‘Imran: 104)
Rasulullah n memerintahkan pula untuk menghapus kemungkaran. Kata
Abu Sa’id Al-Khudri z, “Saya telah mendengar Rasulullah n bersabda:
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإْنْ لَمْ
يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ
أَضْعَفُ الْإِيْمَانِ
“Barangsiapa melihat kemungkaran maka ubahlah dengan tangannya.
Bila tidak mampu, (ubahlah) dengan lisannya. Bila tidak mampu, dengan
hatinya. Yang demikian itu selemah-lemah iman.” (HR. Muslim no. 49)
Rasulullah n memerintahkan pula untuk berkata yang baik. Bila tak
bisa, diam. Bukan lantas membuat pernyataan-pernyataan politis yang
menghasung umat terjatuh pada praktik-praktik bid’ah. Diriwayatkan dari
Abu Hurairah z, dari Rasulullah n, beliau bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka berbicaralah yang baik atau diam.” (HR. Muslim no. 34)
Demokrasi telah menggiring umat untuk terpaku pada perolehan suara,
sementara ketentuan syariat ditanggalkan. Patutkah yang demikian ini
dikategorikan memperjuangkan Islam dan kaum muslimin? Wallahu a’lam.
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abulfaruq Ayip Syafruddin)
http://asysyariah.com