Al-Hamdulillah, segala puji milik Allah
yang kita senantiasa memuji-Nya, memohon pertolongan dan ampunan
kepada-Nya. Shalawat dan salam atas hamba dan utusan-Nya, Nabi Muhammad
–Shallallahu 'Alaihi Wasallam-, keluarga dan papa sahabatnya.
Merasa aman dari makar Allah adalah
salah satu perusak akidah dan mengurangi kesempurnaan tauhid. Yakni
merasa sok tahu tentang rahasia Allah terhadap dirinya. Sehingga ia
menjamin keselamatan dirinya di akhirat; semua amalnya diterima, semua
dosanya diampuni, dan mati di atas husnul khatimah. Ini bisa terjadi
disebabkan karena kejahilan atau tertipu oleh amal-amal baik yang telah
dikerjakannya.
Makar adalah rencana buruk tersembunyi
yang ditimpakan kepada seseorang yang menjadi objek tanpa
sepengetahuannya. Maka makar Allah adalah rencana buruk yang Allah
jalankan terhadap manusia tanpa mereka sadari. Makar ini sebagai
realisasi terhadap kekuasaan-Nya di alam raya dan kesempurnaan
hikmah-Nya. Hakikatnya ini baik dan terpuji bagi Allah sebagai
kesempurnaan kekuasaan dan keadilan-Nya, walaupun buruk atas orang yang
tertimpa.
Ibnul Qayyim dalam al-Fawaid (hal. 160)
berkata: Adapun makar yang Allah sifatkan pada diri-Nya adalah balasan
dari-nya kepada orang-orang yang berbuat jahat kepada para wali dan
utusan-Nya, lalu Allah membalas makar mereka yang buruk dengan Makar-Nya
yang bagus. Sehingga makar mereka adalah seburuk-buruknya makar,
sedangkan makar dari Allah adalah sebagus-bagusnya makar, karena ia
bentuk keadilan dan balasan."
Beliau menambahkan, bahwa para wali
Allah harus takut terhadap makar-Nya. Mereka takut kalau Allah
meninggalkan mereka karena sebab dosa dan kesalahan yang diperbuat
sehingga mereka akan binasa. Mereka takut terhadap doa-dosa mereka dan
berharap terhadap rahmat-Nya.
Syaikh Ibnu Bazz berkata, "Merasa aman
dari makar Allah bentuknya seseorang hatinya tenang-tenang saja dan
tidak takut kepada hukuman Allah. Bahkan saat ia bermaksiat dan berbuat
buruk merasa aman dari hukuman Allah dengan cuek dan tidak takut hukuman
Allah, ini bisa terjadi disebabkan kejahilannya atau tertipu karena
merasa dirinya muwahhid (seorang ahli tauhid) sementara maksiat tidak
berpengaruh sedikitpun padanya; atau karena sebab lain yang
memperdayakannya (berbuat durhaka) terhadap Allah sehingga gampang
sekali berbuat maksiat dan merasa aman dari hukuman Allah, tidak takut
kepada hukuman terebut."
Jika dirinci ada empat macam bentuk merasa aman dari makar Allah ini:
Pertama,
tenang-tenang saja dalam menjalani hidup dan tidak takut terhadap
hukuman Allah. Jika tidak mau shalat maka ringan ia tinggalkan, jika mau
maksiat gampang ia jalankan tanpa beban. Ini biasanya disebabkan
kejahilan.
Kedua,
tertipu; merasa dirinya orang yang akidahnya kuat, ibadahnya benar, dan
manhajnya lurus sehingga ia merasa semua ibadahnya diterima dan
dosa-dosanya terampuni sehingga saat ia bermaksiat tak terlalu
mengganggu keimanannya.
Ketiga, menggampangkan Allah Subhanahu wa Ta'ala; ia bermaksiat dengan niatan untuk taubat sesudahnya. Sehingga ringan berbuat durhaka dan menggampangkan taubatnya.
Ismail bin Rafi' berkata, "Termasuk
merasa aman dari makar Allah adalah seorang hamba mengerjakan dosa
dengan berharap ampunan kepada Allah." (Riwayat Ibnu Abi Hatim)
Keempat,
istidraj; seseorang mendapat dunia yang melimpah dengan bermaksiat
kepada Allah dan jauh dari ajaran agama-Nya. Ia merasa sebagai orang
yang baik dan berada di atas kebenaran dengan banyaknya dunia tersebut.
Sehingga enggan menyambut seruan dakwah Islam dan menerapkan syariatnya.
Hukum Merasa Aman dari Makar Allah
Merasa aman dari makar Allah termasuk
dosa besar yang akan merusak kesempurnaan tauhid. Terdapat ancaman cukup
keras terhadap perbuatan ini, karena dampaknya sangat hebat, yaitu
seseorang akan terus menerus dalam kesesatan dan maksiatnya. Atau
terlalu berbangga dengan amalnya sehingga ia lupa kepada Allah
(kuasa-Nya) dan tidak bersandar kepada-Nya. Akibatnya, ia yang sombong
dan tidak sopan kepada Allah serta tidak merendahkan diri kepada-Nya.
Allah Ta'ala berfirman,
أَفَأَمِنُوا مَكْرَ اللَّهِ فَلا يَأْمَنُ مَكْرَ اللَّهِ إِلاَّ الْقَوْمُ الْخَاسِرُونَ
"Maka apakah mereka merasa aman dari
azab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiadalah yang merasa aman dari
azab Allah kecuali orang-orang yang merugi." (QS. Al-A'raf: 99)
Disebutkannya ayat ini sesudah ayat yang
menerangkan kaum yang mendustakan Allah menunjukkan bahwa yang
mendorong mereka untuk melakukan itu adalah merasa aman dari makar Allah
Subhanahu wa Ta'ala dan tidak takut kepada-Nya. "Maka
apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan
Kami kepada mereka di malam hari di waktu mereka sedang tidur? Atau
apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan
Kami kepada mereka di waktu matahari sepenggalahan naik ketika mereka
sedang bermain?Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang
tidak terduga-duga)? Tiadalah yang merasa aman dari azab Allah kecuali
orang-orang yang merugi." (QS. Al-A'raf: 97-99)
Syaikh Abdurrahman bin Nashir al-Sa'di
dalam tafsirnya berkata, "Di dalam ayat yang mulia ini terdapat takhwif
(ancaman) yang sangat atas hamba bahwa ia tak pantas untuk merasa aman
dengan iman yang sekarang ada padanya. Tetapi ia harus senantiasa takut
dan khawatir kalau Allah mengujinya dengan satu ujian yang merampas iman
dari dirinya. Ia harus terus berdoa dengan ucapan,
يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوْبِ، ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِيْنِكَ
"Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, teguhkan hati kami di atas agama-Mu."
Juga beramal dan melakukan sebab yang menyelamatkannya dari keburukan
saat terjadi fitnah. Karena sesungguhnya seorang hamba –setinggi apapun
keadaannya- tidak yakin (memastikan) selamat."
Diriwayatkan dari Ibnu 'Abbas Radhiyallahu 'Anhuma, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam pernah ditanya tentang dosa-dosa besar, lalu beliau menjawab,
اَلشِّرْكُ بِاللهِ، وَالْيَأْسُ مِنْ رَوْحِ اللهِ ، وَالْأَمْنُ مِنْ مَكْرِ اللهِ
"Menyekutukan Allah (Syirik), berputus asa dari rahmat Allah, dan merasa aman dari makar (tipu daya) Allah." (HR. Ibnu Abi Hatim dalam Tafsirnya dan al-Bazzar)
Di antara ulama yang menyebutkannya
sebagai dosa besar adalah Imam al-Dzahabi dalam kitabnya "Al-Kabair",
pada urutas dosa besar yang ke 68, begitu juga Ibnu Taimiyah dan Ibnul
Qayyaim serta ulama-ulama lainnya.
Sifat Kaum Mukminin
Orang-orang mukmin yang kenal Rabb-nya
akan bersegera kepada ketaatan dan kebaikan. Kemudian mereka barengi
semua itu dengan rasa takut kepada Allah dan rencana tersembunyi-Nya;
kalau ternyata ada syarat amal yang masih kurang sehingga tidak akan
diterima oleh Allah. Allah Subhanahu wa Ta'ala sebutkan tentang mereka,
وَالَّذِينَ
يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ
رَاجِعُونَ أُولَئِكَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَهُمْ لَهَا
سَابِقُونَ
"Dan orang-orang yang memberikan apa
yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu
bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka, mereka itu
bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang
yang segera memperolehnya." (QS. Al-Mukminun: 60-61)
'Aisyah Radliyallaahu 'Anha berkata, “Aku telah bertanya kepada Rasulullah Shallallaahu 'Alaihi Wasallam tentang ayat ini, apakah mereka orang-orang yang minum khamer, pezina, dan pencuri? Beliau menjawab, “Tidak,
wahai putri al-Shiddiq. Mereka adalah orang-orang yang berpuasa,
menunaikan shalat dan shadaqah namun mereka takut kalau amalnya tidak
diterima.” (HR. al-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad. Dishahihkan Syaikh al-Albani)
Al-Hasan al-Bashri berkata, "Orang
beriman adalah orang mengerjakan ketaatan dengan disertai rasa takut dan
khawatir. Sedangkan orang fajir (pendosa) adalah orang yang mengerjakan
maksiat dengan disertai rasa aman (dari siksa Allah)."
Dalam berkataan beliau yang lain, "orang
beriman menggabungkan antara berbuat baik dan takut; sedangkan orang
kafir menggabungkan perbuatan buruk dan merasa aman."
Ibnu Mas'ud berkata: Sesungguhnya orang
mukmin melihat dosa-dosanya seperti ia berada di bawah gunung yang takut
akan tertimpa olehnya. Dan sesungguhnya seorang fajir (pendosa) melihat
dosa-dosanya seperti lalat yang hinggap di hidungnya lalu ia lakukan
seperti ini –mengibaskan tangannya di hidungnya- lalu lalat itupun
terbang." (HR. Al-Bukhari dan al-Tirmidzi)
Al-Subki dalam Thabaqaat al-Syaafi'iyyah al-Kubra berkata: Para Nabi 'Alaihimus Salam
mengetahui bahwa mereka telah aman dari siksa Allah bersamaan dengan
hal itu mereka adalah orang-orang yang paling besar rasa takutnya;
begitu juga sepuluh orang yang dipersaksikan masuk surga. Umar Radhiyallahu 'Anhu
berkata: kalau saja satu kakiku sudah berada di dalam surga sedangkan
kaki yang lain masih berada di luarnya maka aku tidak merasa aman dari
makar Allah."
Merasa aman dari makar Allah adalah
salah satu sebab utama seseorang menjadi manusia merugi. Ia ringan
mengerjakan maksiat dan dosa tanpa merasa akan ada perhitungan terhadap
tindakannya itu. Sehingga ia santi saja dalam meninggalkan perintah atau
menerjang larangan tanpa pernah takut kepada Allah dan siksa-Nya.
Merasa aman dari makar Allah juga bisa
menimpa ahli ibadah dan orang shalih. Ia yakin semua itu benar-benar
diterima dan terlalu bersandar kepada amalnya tersebut. Sehingga ia
lalai untuk berdoa dan minta ampun. Ini juga bisa menimbulkan sikap
tidak sopan kepada Tuhan-nya, seolah-olah ia telah menunaikan hak-hak
Allah dengan sempurna dan layak menuntut pahala dari Allah. Padahal,
diterimanya amal hamba itu semata-mata karena kemurahan Allah Ta'ala.
Hamba Allah yang baik adalah mereka yang
benyak amal shalih dan ketaatannya, namun ia iringi semua itu dengan
perasaan takut dan rendah diri di hadapan Allah. Karena ia tak pernah
yakin pasti bahwa amalnya diterima –bahkan memandang amalnya tak layak
diterima-, dosa-dosanya belum terampuni, dan tidak ada jaminan atasnya
meninggal di atas iman. Wallahu Ta'ala A'lam.
Oleh: Badrul Tamam