“Sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepadamu supaya menunaikan amanah kepada orang-orang yang berhak menerima. Dan bila kamu menjatuhkan hukuman antar sesama manusia, hendaklah kamu berlaku adil. Sesungguhnya Allah memberi kamu peringatan dengan itu (adil); bahwa sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Maha Melihat. Wahai orang-orang yang mengaku beriman, taatlah kamu kepada Allah dan taati pulalah Rasul dan pemimpinmu. Jika sekiranya kamu bersengketa dalam suatu perkara, kembalikanlah kepada Allah dan Rasul sekiranya kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Akhir; demikian itu adalah cara yang paling baik dan sebaik-baik jalan.” (An-Nisa’:58-59)
Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa, ayat pertama diturunkan untuk para qiyadah (pemimpin) agar mereka senantiasa menunaikan amanah kepada siapa saja yang berhak, dan apabila menjatuhkan hukuman antara sesama manusia, agar berlaku adil. Sedangkan ayat kedua ditujukan kepada umat, rakyat, tentara dan lainnya. Mereka ini wajib menaati pemimpin yang bertindak adil dalam menjalankan amanah mereka; kecuali bila pemimpin itu memerintah kepada maksiat; karena sama sekali tidak boleh taat kepada makhluk yang durhaka kepada Allah. Dan apabila berselisih faham dalam suatu persoalan, hendaklah mereka kembali kepada Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. Seandainya pemimpin itu tidak berbuat demikian, maka taatlah kamu dalam hal-hal yang hanya dapat membawa taat kepada Allah saja, karena dengan begitu berarti kita telah menaati Allah dan Rasul-Nya, dan telah pula menunaikan kewajiban kepada pemimpin itu, sebagaimana yang diperintahkan Allah dalam firman-Nya:
“Bekerjasamalah kamu dalam hal kebaikan dan taqwa, dan jangan sekali-kali bekerjasama dalam hal dosa dan permusuhan.” (Al-Maaidah:2)
Manakala para pemimpin menjalankan perintah Al-Qur’an agar mereka menunaikan amanah dan menegakkan keadilan secara konsisten, maka niscaya akan terwujud harmoni antara politik Keadilan dengan kepemimpinan yang benar. [1]
Amanah, menurut Ibnu Taimiyah, ada dua macam, yakni:
Pertama, menempatkan seseorang dalam posisi atau jabatan tertentu berdasarkan kompetensi, bukan berdasar like and dislike (pilih kasih), atau karena kolusi, nepotisme, atau kroniisme, juga bukan berdasar ambisi atau obsesi.
Kedua, mengelola harta, mulai dari penerimaannya hingga pengeluarannya, secara transparan, auditable, accountable, serta dapat dipertanggungjawabkan secara syar’i dan konstitusi; juga jauh dari perilaku koruptif, manipulatif dan hedonis. [2]
Sumber Kekuasaan ada pada Umat
Qiyadah adalah pemegang kekuasaan dalam sebuah institusi, dalam kedudukannya sebagai pemimpin bukan sebagai pribadi, selama umat tetap menempatkan dirinya pada jabatan tertinggi ini. Jabatan ini dimaksudkan agar ia dapat mengatur umat dengan hukum Allah dan syari'at-Nya serta membimbingnya ke jalan kemashlahatan dan kebaikan, mengurus kepentingannya secara jujur dan adil dan memimpinnya ke arah kehidupan mulia dan terhormat.
Sekali pun demikian, seorang qiyadah tetap merupakan salah seorang dari warga itu sendiri, tetapi ia dipercayai untuk mengatur urusan agama dan dunia. Oleh karena itu, ia merupakan orang yang paling banyak tanggung jawab dan bebannya. Meskipun begitu, ia tidak dapat dengan semena-mena memerintah orang lain dan beranggapan tak ada lagi kekuasaan yang melebihi dirinya serta merasa sebagai sumber kekuasaan dan kekuatan.
Allah Swt telah berfirman kepada Rasul-Nya:
"Berilah peringatan! Engkau sebenarnya hanya seorang pemberi peringatan. Engkau sama sekali bukan penguasa atas diri mereka." (Al-Ghasyiyah: 21-22)
"Kami lebih mengetahui perkataan mereka dan engkau sama sekali bukanlah pemaksa terhadap mereka. Karena itu berilah peringatan dengan Al-Qur'an terhadap orang yang takut kepada ancaman."( Qaf: 45)
Umar bin Khathab pernah berkata kepada salah seorang Gubernurnya, Abu Musa Al-Asy'ari, "Wahai Abu Musa, engkau seperti halnya orang-orang lain. Akan tetapi Allah menjadikan engkau memperoleh beban lebih berat."
Umar seorang yang oleh umat terkadang dirasakan bersikap sangat keras dan ketat dalam kebenaran, berkata kepada orang banyak: "Demi Allah, aku sama sekali bukanlah seorang raja, sehingga dengan kekuasaan dan tiraninya memperbudak kalian. Aku sama seperti halnya salah seorang di antara kalian. Kedudukanku terhadap kalian adalah seperti kedudukan seorang wali anak yatim yang memelihara diri dan hartanya."
Kalau khalifah, sebagai pemimpin tertinggi negara bukan sumber kekuasaan, lalu siapakah yang menjadi sumber kekuasaan ini?
Sumber kekuasaan adalah umat itu sendiri, bukan khalifah atau qiyadah. Karena khalifah adalah wakil umat untuk menangani kepentingan agama dan dunia selaras dengan syariat Allah dan Rasul-Nya. Oleh sebab itu, kekuasaannya bersumber pada umat. Jika khalifah atau qiyadah berbuat salah, umat mempunyai hak untuk menasihati, meluruskan, dan mengoreksi, bahkan mempunyai hak untuk memecat bila terdapat alasan sah untuk bertindak demikian. Maka adalah logis kalau sumber kekuasaan tetap ada pada pemberi mandat, bukan pada pemegang mandat.
Demikianlah pendapat jumhur ahli Fikih dan ulama Fikih Siyasah dahulu maupun sekarang, sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Abdul Wahhab Khalaf: "Kepemimpinan tertinggi statusnya di dalam pemerintahan Islam sama dengan kepemimpinan tertinggi dalam suatu pemerintahan yang berundang-undang dasar. Karena khalifah, kekuasaannya bersumber pada umat yang diwakili oleh lembaga "Ahlul Halli wal Aqdi". Kekuasaan ini berlanjut selama mendapat kepercayaan mereka dan kemampuannya untuk menjalankan kepentingan umat. Karena itulah para ulama Islam menetapkan bahwa umat punya hak memecat khalifah, bila ada alasan-alasan yang sah. Bilamana pemecatan dapat menimbulkan fitnah, maka boleh mengambil langkah untuk mempertimbangkan antara dua kerugian. [3]
Demikianlah, bahkan ada yang mendasarkan umat sebagai sumber kekuasaan pada hadits sebagai berikut:
"Umatku tidak akan sepakat dalam kesesatan."
Atau seperti tersebut pada riwayat lain: Hal ini berarti bahwa apabila umat bersepakat pada suatu pendapat, berarti pendapat itu benar dan wajib dilaksanakan. Karena muncul dari pihak yang menjadi sumber kekuasaan. Begitu juga, dalam soal ini ada yang berdalil bahwa terdapat banyak ayat Al-Qur'an yang memuat titah kepada kaum muslimin mengenai masalah-masalah umum. Hal ini dimaksudkan untuk menyatakan bahwa, kaum muslimin adalah sumber kekuasaan bagi para qiyadah dan juga sebagai pengawas terhadap para qiyadah. Atau dengan kata lain, umat merupakan sumber kekuasaan dan wewenang. Di antara ayat-ayat tersebut adalah:
"Wahai orang-orang yang beriman, sempurnakanlah janji janji kamu." "Tolong-menolonglah kamu pada kebaikan dan takwa dan janganlah kamu tolong- menolong dalam dosa dan permusuhan." "Wahai orang-orang yang beriman, jadilah penegak karena Allah, yaitu saksi-saksi yang adil. Dan janganlah kebencian kepada suatu kaum menjadikan kamu durhaka, sehingga berlaku tidak adil. Berlaku adillah! Karena hal ini lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh Allah Maha Mengawasi perbuatan-perbuatan kamu." (Al-Maidah:1, 2, dan 8)
Ayat-ayat semacam ini menunjukkan dengan jelas bahwa umatlah yang memikul tanggung jawab menegakkan agama, syariat Ilahi dan memelihara kemashlahatan umum. Hal ini berarti bahwa umat menjadi sumber kekuasaan tertinggi negara dan mengawasinya serta mengawasi para pejabat negara.
Dengan demikian, sebagaimana dikatakan oleh Dr. Utsman Khalil, bahwa Fikih Islam tidak menganggap pemimpin sebagai sumber kekuasaan, tetapi sumber kekuasaan ini di tangan umat itu sendiri yang dijalankan oleh pemimpin (qiyadah) dalam statusnya sebagai pemegang mandat atau pelayan. Karena itu, umat dapat memecatnya, bila terdapat alasan-alasan sah untuk itu.
Secara keseluruhan berarti "umat sebagai sumber kekuasaan" dan hubungan antara umat dengan qiyadah adalah "kontrak politik", yang oleh kaum muslimin dinamakan "Mubaya'ah" (Bai’at). "Mubaya'ah" ini merupakan sesuatu yang hakiki, bukan bersifat simbol. Demikianlah pengertian kekuasaan yang benar pada masa modern ini.
Sekedar perbandingan, di dalam demokrasi sekular pun teori semacam ini, yaitu "kontrak politik" juga berkembang, yang kini mencapai fase paling modern, yaitu teori Jean Jacques Rousseau (1712-1778), yang merupakan teori paling baik dibanding dengan teori-teori lain masa lalu, terutama teori dua filsuf Inggris yang terkenal Thomas Hobbes (1588-1679) dan John Locke (1632-1704).
Jadi, kekuasaan itu adalah hak umat yang dilimpahkan kepada Ulil Amri sebagai pihak yang wajib ditaati berdasarkan perintah Allah dalam Al-Qur'an, atau yang dalam istilah ahli fikih disebut "Ahlul Aqdi wal Halli". Oleh karena itu, siapakah sebenarnya golongan ini?
Allah Swt berfirman:
"Wahai orang-orang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul-Nya serta Ulil Amri di antara kamu. Jika kamu berselisih mengenai sesuatu, maka kembalikanlah urusan itu kepada Allah dan Rasul-Nya, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat. Yang demikian itu adalah lebih baik dan langkah yang lebih tepat." (An-Nisa’:59)
Imam Al-Mawardi berpendapat, Ulil Amri adalah sekumpulan orang yang adil, berilmu, berwawasan dan bersikap bijak. [5]
Syaikh Rasyid Ridha menyatakan: "Pengertian Ulil Amri diperselisihkan oleh para ulama. Sebagian berpendapat, mereka adalah para amir, dengan syarat tidak menyuruh berbuat yang haram. Sedangkan ayat di atas bersifat umum. Mereka membuat batasan pengertian semacam itu berdasarkan pada dalil-dalil lain, seperti hadits:
"Tidak boleh ada ketaatan kepada makhluk bila melakukan kedurhakaan kepada Al-Khaliq."
"Ketaatan hanya pada hal-hal yang baik."
Sebagian lagi berpendapat, yang dimaksud adalah ulama. Akan tetapi para ulama ternyata berselisih. Lalu siapakah yang ditaati dan siapa yang ditinggalkan bila terjadi perbedaan-perbedaan penetapan hukum yang tidak terdapat nashnya secara tegas di dalam Kitabullah dan sunnah Rasul.
Sedangkan Syaikh Muhammad Abduh mengatakan: "Pandangan mengenai masalah ini sudah ada sejak dahulu kala, tetapi kemudian berakhir pada pengertian "Ahlul Halli wal Aqdi" dari kalangan umat Islam. Yang dimaksud ialah para amir, penguasa, ulama, komandan tentara dan semua para pemimpin yang menjadi tempat umat untuk meminta pertimbangan memenuhi kepentingan dan kebutuhan bersama. Bila orang-orang ini sepakat menetapkan suatu hal atau hukum, maka mereka wajib ditaati di dalam hal tersebut, dengan syarat mereka itu dari golongan kita sendiri dan keputusannya tidak bertentangan dengan perintah Allah dan sunnah Rasulullah saw serta menyangkut kemashlahatan bersama, di mana Ulil Amri mempunyai wewenang untuk hal itu.
Adapun masalah-masalah ibadah dan segala yang menyangkut akidah agama, maka tak ada hubungannya dengan ketetapan Ahlul Halli wal Aqdi. Bahkan diambil langsung dari Allah dan Rasul-Nya semata-mata serta tidak seorang pun mempunyai hak untuk merumuskan pendapatnya kecuali sekedar pemahaman.
Jadi, Ahlul Halli wal Aqdi adalah dari kalangan orang-orang mukmin. Bila mereka menyepakati sesuatu hal yang menyangkut kepentingan umat yang tidak ada nashnya, maka mereka mempunyai hak untuk memilih, tanpa boleh dipaksa oleh kekuasaan seseorang atau pengaruh kekuasaannya. Maka mentaati "Ulil Amri" semacam ini adalah wajib. Oleh karena itu, perintah taat kepada mereka diberikan dalam bentuk umum, tanpa sesuatu syarat, dengan catatan sesuai dengan pengertian yang dimaksud oleh ayat tersebut. Sebagai contoh adalah lembaga-lembaga yang dibentuk oleh Umar melalui musyawarah dengan tokoh-tokoh sahabat ahli pikir dan pembentukan lain-lain kepentingan yang dilakukan oleh "Ulil Amri" di kalangan sahabat yang sebelumnya tidak ada pada zaman Nabi saw dan tidak seorang pun dari kalangan sahabat menentang tindakan semacam itu. [6]
Kedudukan Qiyadah dan Hubungannya dengan Umat
Qiyadah atau imam hanyalah seseorang yang dipilih oleh umat untuk menjadi mandataris dan menangani kepentingan serta kebutuhan umat. Karena itu umat berkewajiban untuk menyampaikan nasihat bila dipandang perlu. Bahkan ia wajib memberikan kontrol maupun bimbingan. Selain itu, ia berhak memecatnya jika terdapat alasan-alasan yang sah, seperti halnya berlaku dalam hubungan seseorang terhadap orang lain yang diberinya mandat.
Oleh sebab itu, Islam tidak mengenal adanya kedudukan istimewa seorang qiyadah terhadap umatnya. Yaitu suatu kedudukan yang membuatnya tidak memerlukan nasihat, bimbingan dan bebas dari kewajiban-kewajiban tertentu yang berlaku kepada umatnya. Akan tetapi setiap orang Islam dalam pandangan Islam punya kewajiban dan hak yang sama. Dalam hal ini Rasulullah saw bersabda: “Manusia itu semuanya sama seperti gigi seri.”
Qiyadah, dalam pandangan Islam sama sekali tidak mempunyai sifat ketuhanan. Dia bukanlah manusia "kudus" dan bebas dari dosa, juga tidak memiliki wewenang tunggal untuk menjelaskan dan menafsirkan ketentuan-ketentuan agama dan tidak pula mempunyai kekuasaan terhadap diri orang lain. Akan tetapi ia hanyalah seseorang yang karena agamanya dan keadilannya memperoleh kepercayaan umat untuk menangani dan mengurus kepentingan mereka berdasarkan perintah dan syari'at Allah.
Di dalam hal ini Syaikh Muhammad Abduh berkata: "Seorang Imam dalam pandangan Islam bukanlah manusia "maksum" dan penerima wahyu serta sebagai orang yang punya wewenang tunggal untuk menafsirkan Al-Qur'an dan sunnah Rasulullah saw. Di dalam Islam tidak ada yang dinamakan "kekuasaan keagamaan", yang ada hanya "kekuasaan memberi nasihat", mengajak kepada kebaikan dan memperingatkan agar menjauhi dosa. Kekuasaan semacam ini Allah berikan kepada orang Islam paling awam, untuk menegur orang yang paling tinggi kedudukannya sekalipun. Sebagaimana kekuasaan semacam ini diberikan kepada orang Islam yang paling tinggi kedudukannya terhadap yang paling awam. [7]
Oleh sebab itu, Islam memandang qiyadah atau imam sama saja dengan orang-orang lainnya. Yang membedakannya hanyalah karena kedudukannya memerintah atas nama umat. Ia memperoleh kehormatan dan kemuliaan lebih besar tetapi dengan tanggung jawab dan beban terberat di antara umat Islam.
Karena itulah khalifah pertama ketika menerima jabatan khilafah menyampaikan pidatonya kepada umat Islam dengan kata-katanya: "Aku diangkat memerintah kalian, tetapi aku bukanlah orang yang terbaik di antara kalian. Jika aku berbuat baik, tolonglah aku. Dan jika aku salah, luruskanlah aku." Begitu juga Umar bin Khathab berpidato kepada kaum muslimin: "Bantulah aku dengan amar ma'ruf nahi munkar dan sampaikan nasihat kepadaku di dalam menangani urusan-urusan kalian yang Allah bebankan kepadaku." Sebagaimana halnya Umar mengatakan tentang dirinya dalam hubungan dengan penanganan harta kaum muslimin, katanya: "Aku dan harta kalian adalah laksana seorang wali anak yatim. Kalau aku telah cukup, aku tidak akan mengambil harta itu. Tetapi kalau aku tidak ada, maka aku akan mengambilnya sekedar memenuhi kebutuhan. [8]
Atas dasar inilah seorang khalifah tidak melihat dirinya lebih dari yang lain, atau kedudukannya lebih tinggi dari sesama warga umat. Ibnu Jauzi meriwayatkan bahwa pernah Umar ditegur seseorang laki-laki yang berkata kepadanya: “Takutlah kepada Allah, wahai Amirul Mukminin!” Kemudian ada seseorang menyahut: “Berani-beraninya engkau berkata seperti itu kepada Amirul Mukminin!” Lalu Umar berkata kepadanya: “Biarkanlah orang ini menyampaikan kata-katanya kepadaku. Sungguh baik kata-katanya itu. Tidak ada lagi kebaikan di tengah kalian kalau kalian tidak lagi menyampaikan kata-kata seperti itu kepada kami. Dan tidak ada lagi kebaikan pada diri kamu, jika kami tidak mau menerima kata-kata itu dari kalian.” [9]
Dalam penegakan hukum pidana dan "qishash" terhadap pelaku kejahatan, Islam tidak membedakan antara penguasa, sekali pun seorang khalifah atau imam dengan rakyat. Setiap orang di mata syari'at Allah dan Rasul-Nya adalah sama.
Sebagai contoh, inilah kata-kata Amirul Mukminin Umar bin Khathab yang sampai kini tetap bergaung: “Aku tidaklah mengangkat para pemimpin buat menindas kalian, merusak kehormatan kalian atau pun merampas harta kalian. Akan tetapi aku mengangkat mereka guna mengajari kalian dengan Kitab Tuhan kalian dan sunnah Nabi kalian. Maka, jika ada di antara mereka berlaku zhalim. hendaklah ia diadukan kepadaku, agar aku dapat menjatuhkan "qishash'' kepadanya.” [10]
Amr bin Ash ketika menjabat gubernur di Mesir, berkata: “Wahai Amirul Mukminin, apakah anda akan menjatuhkan "qishash" kepada seorang amir yang melakukan pemukulan kepada seseorang rakyatnya demi mendidiknya?” Jawab Umar: “Mengapa aku tidak menjatuhkan "qishash" kepadanya, sedangkan aku pernah melihat Rasulullah saw menjatuhkan "qishash" kepada diri beliau sendiri.” [11]
Ibnu Atsir meriwayatkan bahwa Nabi saw ketika di akhir masa sakitnya keluar dari kamar Sayyidah Aisyah melewati Fadhal bin Abbas dan Ali bin Abi Thalib sampai beliau tiba di mimbar lalu beliau duduk. Kemudian beliau membaca "hamdalah" dan pujian kepada Allah, lalu mengucapkan shalawat untuk sahabat-sahabat Uhud dan memintakan ampunan untuk mereka. Kemudian sabdanya: “Wahai manusia! Barangsiapa pernah kupukul punggungnya, maka inilah punggungku dan silahkan menuntut balas karenanya. Dan barangsiapa pernah aku lukai kehormatannya, maka silahkan ia menuntut balas terhadapku karenanya. Dan barangsiapa pernah kuambil hartanya, maka inilah hartaku. Silahkan ia mengambilnya. Orang yang dendam kepadaku tidaklah perlu takut, sebab aku bukanlah orang-orang pendendam. Ketahuilah, bahwa orang yang paling cinta kepadaku di antara kalian adalah orang yang bersedia mengambil haknya yang ada padaku, atau ia menghalalkannya kepadaku, agar kelak aku bertemu dengan Tuhanku dengan hati tenang.” Kemudian beliau turun dari mimbar, lalu shalat Dhuhur. Lalu beliau naik ke mimbar dan mengulangi sabdanya semula. [12]
Demikianlah, Rasulullah saw meminta untuk diqishash oleh orang-orang yang punya hak untuk berbuat demikian atas diri beliau. Bagi kita, pribadi beliau adalah teladan terbaik seperti tersebut di dalam Al-Qur'an. Begitu pula yang pernah dilakukan oleh Abubakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khathab, semua khalifah, amir dan gubernur yang mengikuti teladan mereka yang baik. Inilah yang diajarkan Islam, yaitu perlakuan sama di mata hukum atas segenap warga umat.
Para tokoh madzhab Fikih yang terkenal pun mengikuti prinsip ini dalam pendapatnya yaitu: kedudukan khalifah atau imam yang tertinggi, tidaklah bebas atau kebal dari hukuman jika ia melakukan tindak pidana, baik kejahatan atas jiwa atau pun harta benda. Ia dijatuhi hukuman "qishash" sama seperti halnya warga umat yang lain. [13]
Ketaatan Kepada Qiyadah Tidak Absolut
Ketika mewajibkan kepada umat agar menaati pemimpin, Islam tidak menjadikan ketaatan ini bersifat absolut. Sebab, ketaatan yang absolut itu mengakibatkan kekuasaan individualistis, tiranik dan diktator. Di samping itu, ketaatan seperti itu akan merusak kepribadian dan karakter umat, dan hal ini ditentang keras oleh Islam. Karenanya, Islam mewajibkan ketaatan kepada pemimpin dalam batas-batas, ikatan dan syarat-syarat yang telah ditentukan.
Muhammad Abduh berpendapat bahwa, seorang imam atau qiyadah ditaati selama ia berpegang kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah saw, sedangkan kaum muslimin melakukan kontrol terhadapnya. Jika ia keliru, maka dia diluruskan. Dan jika ia tersesat, ia diberi nasihat dan diberi peringatan. Karena tidak boleh ada ketaatan kepada makhluk dalam perbuatan mendurhakai Allah. Akan tetapi jika ia telah meninggalkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya di dalam tindakan-tindakannya, maka umat wajib menggantinya dengan orang lain, selama usaha penggantiannya tidak menimbulkan bahaya lebih besar.
Umat atau wakilnya yang mengangkat qiyadah (ahlul halli wal ‘aqdi), yang berhak melakukan pengawasan dan memecatnya bila dipandang perlu demi kemashlahatan. [14]
Ibnu Hajar mengatakan dalam kitabnya:
Di antara jawaban yang indah adalah perkataan sebagian tabi’in kepada umara’ keturunan bani Umayyah, ketika dikatakan: “Bukankah Allah telah memerintahkan kalian untuk menaati kami di dalam firman-Nya: “… dan ulil amri di antara kalian?” Tabi’in balas bertanya, “Bukankah ketaatan itu telah dicabut dari kalian apabila kalian menyalahi kebenaran berdasar firman-Nya: “…Apabila kalian berselisih faham tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan rasul-Nya, jika kalian memang benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Akhir?” [16]
Ath-Thaibi berpendapat, “Diulangnya fi’il dalam firman Allah: “dan taatilah rasul-Nya” menunjuk pada kewajiban menaati Rasulullah secara tersendiri (tidak dihubungkan dengan Allah). Sedangkan tidak diulangnya fi’il itu dalam menaati ulil amri menunjukkan, bahwa di antara mereka ada yang tidak wajib ditaati.
Kemudian hal ini diterangkan dengan firman-Nya: “…Apabila kalian berselisih faham tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan rasul-Nya…” Di sini seolah dikatakan: Jika Ulil Amri tidak menjalankan kebenaran, maka janganlah kalian menaati mereka, dan kembalikanlah apa yang kalian perselisihkan kepada hukum Allah dan Rasul-Nya.” [17]
Jadi, berdasar nash-nash tersebut di atas, umat wajib menaati pemimpinnya sebatas apabila mereka menerapkan syari’at Allah, menegakkan keadilan secara konsekuen dan konsisten, tidak melakukan maksiat kepada Allah serta tidak mengajak umat untuk bermaksiat kepada Allah Swt.
Pemakzulan Imam atau Qiyadah
Ketika seorang imam atau qiyadah yang tidak lagi dapat memenuhi syarat yang penting untuk menduduki jabatannya, seperti: tidak amanah dan tidak mampu menegakkan keadilan, maka ia semestinya diganti oleh orang lain. Tetapi untuk jabatan tertinggi dalam institusi Negara, tidaklah semudah itu menyelesaikannya. Sebab hal semacam itu dapat menimbulkan banyak fitnah terhadap umat, dan dapat merusak persatuan umat. Sesuai dengan kaidah ushul Fikih: "Bahwa bahaya yang lebih besar wajib dihilangkan dengan resiko yang sekecil-kecilnya”. Sehingga dalam hal ini patut dipertimbangkan mana resiko yang lebih kecil untuk ditempuh, guna menyelesaikan persoalannya.
Sebelum memecahkan permasalahan ini, kita harus lebih dahulu memperoleh kejelasan masalah dan mencari solusinya sesuai dengan Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah saw. Kita harus selalu ingat bahwa Al-Qur'an mewajibkan taat kepada "Ulil Amri" atau imam. Rasulullah pun menegaskan, menjelaskan dan menyatakan seberapa jauh kewajiban umat untuk tetap taat kepada imam dan bersabar dalam menghadapi kebijakan qiyadah yang tidak menyenangkan umat. Banyak hadits menerangkan hal semacam itu. Namun di sini akan dikemukakan beberapa saja, diantaranya:
“Barangsiapa melihat sesuatu yang tidak disukainya dari seorang pemimpin, maka bersabarlah; karena barangsiapa yang membelot dari jama’ah sejengkal saja kemudian ia mati, maka matinya adalah mati jahiliyah.” (HR. Bukhari dan Muslim) [17]
“Mendengar dan menaati (pemimpin) adalah wajib bagi seorang muslim, dalam hal yang ia sukai maupun yang tidak disukai, selama ia tidak diperintah dalam konteks maksiat. Apabila diperintah dalam konteks kemaksiatan, maka tidak wajib mendengar atau menaati.” (HR. Bukhari, Muslim, Ibnu Majah, Tirmidzi) [18]
“Barangsiapa melanggar janji setianya kepada Imam dan mati dalam keadaan demikian, maka pada Hari Kiamat ia akan menemui Allah tanpa mempunyai hujjah (argumentasi).” (HR. Ahmad) [19]
“Wajiblah engkau mendengar dan taat, dalam keadaan engkau sulit maupun mudah, dalam keadaan kau senang maupun terpaksa, dan engkau mengutamakan lebih dari dirimu.” (HR. Muslim) [20]
Disebutkan, bahwa Ubadah bin Shamit berkata: "Nabi saw mengundang kami, lalu kami membaiat beliau untuk mendengar dan menaatinya, baik ketika kami senang maupun terpaksa, ketika kami dalam kesulitan atau pun kemudahan, dan kami mengutamakan beliau lebih dari kami. Kami tidak boleh menentang perintah yang dikeluarkan oleh yang berwenang, kecuali bila “kalian melihat kekufuran yang nyata, dan ada bukti-bukti dari Kitabullah yang dapat kalian pegang.” (HR. Bukhari) [21]
Kita wajib memahami dan meneliti hadits-hadits tersebut dengan seksama, sehingga kita dapat menangkap makna yang semestinya, sebagaimana patut juga kita pertimbangkan hal-hal di bawah ini:
a. Kewajiban menjaga persatuan umat, menjauhi fitnah dan kekacauan, kecuali kalau keadaan sudah sangat memaksa.
b. Resiko yang lebih kecil wajib ditempuh untuk menghindari timbulnya bahaya yang lebih besar.
c. Pemberontakan terhadap khalifah Utsman dan penolakan beliau terhadap tuntutan para pemberontak untuk mengundurkan diri dari jabatan khilafah, kemudian tindakan orang-orang yang ingin menolong beliau dari usaha pembunuhan.
d. Beberapa sahabat yang menjauhkan diri dari kemelut peperangan antara Sayyidina Ali dan Mu'awiyah.
e. Sayyidina Husain keluar dari ketaatan kepada Yazid bin Mu'awiyah, khalifah kedua Bani Ummaiyyah. Kemudian disusul oleh Abdullah bin Zubair.
Hal-hal semacam ini, dan terutama sekali kejadian-kejadian sejarah masa lalu yang kita kenal dan kita ketahui, merupakan "rambu-rambu" dan petunjuk kepada kita dalam melakukan kajian yang benar. Oleh karena itu, kita wajib memahami, memperhatikan dan mengambil hikmah terhadap peristiwa-peristiwa yang kita ketahui.
Selanjutnya, jika Al-Qur'an mewajibkan taat kepada "Ulil Amri" dan Rasulullah menyuruh mentaati mereka selama tidak menyuruh berbuat dosa, serta menyuruh bersabar dan tidak melawan mereka, kecuali mereka berbuat kufur dengan terang-terangan; jika semacam ini keadaannya, maka kita harus memperhatikan secara cermat dan seksama, sehingga di dalam hal ini tidak ada seorang pun atau sekelompok orang yang berwenang untuk mengambil keputusan, bahwa khalifah atau qiyadah sesungguhnya telah durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya di dalam salah satu tindakannya, sehingga dia tidak lagi wajib ditaati. Atau dengan kata lain, qiyadah telah melakukan kekufuran yang nyata, sehingga ia berhak untuk dilawan dan mengajak orang lain menarik diri dari menaatinya.
Persoalan ini telah dibicarakan oleh ulama-ulama Fiqih Siyasah. Juga dibicarakan oleh ulama-ulama ilmu Kalam. Di sini akan penulis ketengahkan pandangan Imam Mawardi ketika ia membicarakan persoalan pertama, yaitu apa syarat seorang imam dapat dipecat atau dimakzulkan, dan umat boleh keluar dari kepemimpinannya. [22]
Apabila imam telah melaksanakan kewajiban-kewajibannya terhadap umat seperti telah kita sebutkan di atas, maka berarti ia telah melaksanakan kewajiban terhadap umat dan hak Allah yang telah diberikan kepada mereka. Oleh sebab itu, umat mempunyai dua kewajiban terhadap imam; taat dan membelanya, selama imam tidak berbuat melanggar. Pelanggaran imam yang dapat dijadikan alasan ia kehilangan hak imamah ada dua, yaitu tidak menegakkan keadilan dan mengalami cacat fisik.
Adapun perbuatan-perbuatan yang dikategorikan "tidak menegakkan keadilan" yaitu berbuat fasik. Hal ini dapat dibagi dua, yaitu mengikuti hawa nafsunya dan yang kedua, menyangkut hal yang "syubhat". Adapun yang berkaitan dengan jenis pertama yaitu melakukan perbuatan-perbuatan yang jelas terlarang dan berani melanggar yang munkar, karena menurutkan syahwat dan hawa nafsu. Perbuatan semacam ini adalah fasik, sehingga yang bersangkutan kehilangan wewenang keimamahan dan dilarang melanjutkan kepemimpinannya.
Qiyadah yang telah kehilangan wewenang keimamahannya, berarti telah lepas dari jabatannya. Dan sekiranya ia tidak bertaubat dari kefasikannya, maka tidak dengan otomatis keimamahannya kembali kepadanya, sebelum ada baiat baru. Akan tetapi menurut sebagian ulama ilmu Kalam keimamahannya otomatis kembali, tanpa perlu akad dan baiat baru bila ia taubat dari kefasikannya. Alasannya, karena mengadakan baiat baru sulit, dan adanya sifat umum pada pengertian kepemimpinan.
Adapun jenis kedua bertalian dengan akidah yang tak dapat ditafsirkan dengan cara-cara yang samar. Karena, jika diadakan penafsiran terhadap masalah akidah yang jelas, menyalahi kebenaran. Para ulama berpendapat, jika qiyadah melanggar hal semacam ini, maka ia dapat dilepas dan kehilangan hak meneruskan kepemimpinannya serta ia turun dari jabatannya. Karena, bila ia terbukti melakukan kekufuran, baik yang masih diperselisihkan atau pun sudah jelas, harus dipandang sama dengan berlaku fasik, baik yang masih diperselisihkan atau pun sudah jelas.
Selanjutnya, Mawardi dengan panjang lebar membahas syarat kedua yang dapat menyebabkan pemimpin turun dari jabatannya, yaitu karena cacat fisik. Cacat fisik ini boleh jadi akan mempengaruhi kemampuannya untuk bertindak.
Hal yang terakhir itu bisa karena yang bersangkutan dikuasai, dibisiki oleh orang-orang di sekelilingnya hingga tidak dapat menangani tugasnya dengan mandiri dan objektif, sehingga dalam mengatur kebijaksanaan dan pengendalian umat, menyimpang dari keadilan dan hukum "syara'". Begitu pula kalau ia di bawah tekanan orang lain, seperti terikat oleh “perjanjian bawah tangan”, atau menjadi sandera pihak lawan, tanpa sanggup melepaskan diri dari mereka, baik musuhnya muslim maupun non-muslim.
Demikianlah, bila imam Mawardi membicarakan masalah pertama secara rinci, kapan imam kehilangan hak keimamahannya, akan tetapi dia sama sekali diam terhadap masalah kedua, yaitu kapan seharusnya umat berlaku sabar, dan kapan boleh melawannya dengan kekerasan, bila imam telah terbukti dia berhak untuk dipecat.
Dalam masalah ini kita akan mulai dengan pembicaraan bahwa para ulama, baik ahli Fikih maupun ahli Kalam dan lain-lain sepakat, bahwa imam yang karena sesuatu sebab patut untuk dipecat, maka ia harus dipecat, jika pelaksanaannya memungkinkan. Pendapat semacam ini setahu penulis tak ada yang menyanggah.
Bahkan dari pendapat-pendapat mereka yang kuat di dalam tulisan mereka tentang imamah menyatakan, bahwa orang yang berhasil merebut kedudukan khilafah dari khalifah yang berkuasa dipandang sah dan ia wajib diakui. Selain itu, ia wajib ditaati secara hukum, kalau ia memenuhi syarat-syarat sebagai imam. Tetapi jika ternyata tidak memenuhi syarat-syaratnya, maka ia wajib ditaati sampai terpilihnya orang yang memenuhi syarat sebagai imam.
Jika semua ulama di dalam masalah ini bersepakat, namun mereka ternyata berselisih di dalam hal kewajiban berlaku sabar, menasihati dan meluruskan khalifah yang telah patut dipecat atau kewajiban menentangnya dengan kekuatan dan menggantinya dengan orang lain.
Menurut pendapat penulis, perselisihan di dalam masalah yang sangat penting ini, jika kita lakukan kajian pada nash dan fakta-fakta, maka hal ini timbul karena tiga sebab:
1. Adanya hadits-hadits Rasulullah yang menyuruh bersabar dan tidak membenarkan melawan para imam, sebelum mereka terbukti melakukan kekafiran terang-terangan.
2. Peristiwa-peristiwa sejarah pada masa Sahabat dan Tabi'in, yang ternyata dapat kita lihat bahwa terdapat beberapa Sahabat yang menentang sebagian khalifah Bani Ummaiyyah, karena mereka pandang melakukan kefasikan dan kedurhakaan kepada Allah dan Rasul-Nya didalam sikap dan perilakunya.
3. Begitu juga di dalam peristiwa-peristiwa sejarah tersebut kita melihat banyak Sahabat dan Tabi'in yang tidak mau menentang para imam semacam itu, tetapi mereka menjauhkan diri dari fitnah dan tidak mau membantu kaum penentang.
Demikianlah, sebab-sebab yang menjadikan ulama dan ahli Fikih berselisih pendapat di dalam masalah ini. Sebagian membenarkan perlawanan, tetapi sebagian lagi mengharuskan bersabar. Tokoh yang berpendapat boleh menentang dan melawan khalifah dengan kekerasan jika ia menyimpang, adalah golongan Khawarij, Mu'tazilah dan Zaidiyyah. Sedangkan jumhur ahli hadits mengharuskan bersabar.
Imam Abul Hasan Al Asy'ari dalam masalah ini menyatakan: “Para ulama terbagi dalam empat pendapat mengenai perlawanan dengan senjata terhadap khalifah yang telah menyimpang. Golongan Mu'tazilah, Zaidiyyah, Khawarij dan mayoritas Murji'ah menyatakan wajib, jika kita dapat menyingkirkan penguasa durhaka dan menegakkan kebenaran dengan pedang (senjata).”
Mereka beralasan dengan firman Allah berikut:
“Tolong-menolonglah kamu dalam kebaikan dan takwa.” (Al-Maaidah:2)
“Maka perangilah orang-orang yang durhaka sampai mereka kembali kepada agama Allah.” (Al-Hujurat:9)
“Janji-Ku tidak berlaku bagi orang-orang zhalim.” (Al-Baqarah:124)
Abubakar Al-Asham (seorang Mu'tazili) dan orang-orang yang sepaham dengannya berkata: "Menyingkirkan imam yang durhaka dengan kekuatan bersenjata itu wajib, bila telah ditemukan imam yang adil sebagai penggantinya."
Akan tetapi beberapa ulama berpendapat: “Mengangkat senjata terhadap imam tidak sah. Sebab imam itu adakalanya adil dan adakalanya tidak adil. Kita tidak punya hak untuk memecatnya, sekali pun ia fasik. Mereka menolak gerakan melawan Imam dan tidak membenarkannya. Pendapat ini dikemukakan oleh ahli-ahli hadits.” [23]
Asy'ari menyebutkan pada tulisan-tulisannya yang lain, bahwa seluruh golongan Zaidiyyah berpendapat, boleh mengangkat senjata terhadap para imam yang durhaka, untuk menghilangkan perbuatan zhalim dan menegakkan kebenaran. Mereka juga berpendapat, bahwa shalat di belakang orang yang durhaka tidak sah. Dan hanya shalat di belakang orang yang tidak fasiklah yang sah. [24]
Masalah ini dibahas oleh Ibnu Hazm ketika membicarakan “amr ma'ruf nahi munkar”. Ia dengan panjang lebar menjelaskan pendapatnya yang mengatakan: wajib menentang imam yang menyimpang. Bahkan orang yang bersikap sabar terhadap imam semacam ini telah berbuat dosa, dan dinilai sama dengan membantu kezhalimannya. Begitu juga beliau mengulas hadits-hadits yang memerintahkan bersabar terhadap imam yang dzalim. [25]
Pertama, ia menyebutkan, bahwa telah menjadi “ijma’”, bila umat wajib melakukan “amar ma'ruf nahi munkar”. Tetapi bagaimana caranya melaksanakan kewajiban ini, para ulama berbeda pendapat. Para sahabat dahulu dan orang-orang yang datang kemudian dari kalangan Ahlus Sunnah, seperti Ahmad bin Hambal, Sa'ad bin Abi Waqash, Usamah bin Zaid, Ibnu Umar, Muhammad bin Maslamah dan lain-lain berpendapat, pada dasarnya tidak dibenarkan dengan cara kekuatan atau dengan cara menghunus pedang. Sunnah di dalam hal ini mengikuti jejak Utsman bin Affan dan kalangan sahabat yang tidak membenarkan penggunaan kekerasan.
Tetapi segolongan kecil Ahlus Sunnah, seluruh Mu'tazilah, Khawarij, dan Zaidiyyah menyatakan wajib menggunakan pedang di dalam melakukan "amar ma'ruf nahi munkar", bila tak ada jalan lain. Mereka berkata: “Bila penegak kebenaran dapat melakukan serangan dan diperhitungkan tidak akan kalah, maka mereka diwajibkan bertindak demikian. Tetapi jika jumlah mereka kecil dan diperhitungkan tidak akan menang, maka dibenarkan untuk tidak menggunakan kekerasan.”
Pendapat ini juga dikemukakan Ali bin Abi Thalib dan para sahabat yang menjadi pendukung beliau. Juga pendapat Aisyah, Thalhah, Zubair, dan para sahabat yang menjadi pendukungnya, Mu'awiyah, Amr bin Ash, Nu'man bin Basyir dan para sahabat yang menjadi pendukung mereka.
Begitu pula pendapat golongan yang telah melakukan perlawanan terhadap khalifah Bani Ummaiyyah dan Abbasiyyah dan semua golongan yang mendukung mereka untuk menggunakan kekerasan melawan khalifah yang durhaka. Misalnya, Imam Husain bin Ali yang melawan Yazid bin Mu'awiyah dan Abdullah bin Zubair yang memberontak Abdul Malik bin Marwan.
Selanjutnya, Ibnu Hazm mengakhiri keterangannya dengan pendapat dari orang-orang yang menyatakan sebagai berikut: Sebagaimana ditunjukkan oleh pendapat-pendapat ahli Fikih, seperti; Abu Hanifah, Syuraik, Malik, Syafi'i, Dawud bin Ali Al-Asfahani [26] dan para murid mereka, bahwa masing-masing pihak yang kami sebutkan, baik dari golongan lama maupun baru, apakah mereka nyatakan dengan fatwa atau dengan kekuatan bersenjata, sepakat melawan perbuatan yang mereka pandang sebagai munkar.
Ibnu Hazm tidak puas sekedar mengetengahkan kedua kelompok yang saling berbeda pendapat dan kelompok yang membenarkan memberontak. Tetapi ia lebih jauh melakukan ulasan terhadap pandangan kedua kelompok sebagai berikut:
Golongan tersebut ini, pertama berdalil dengan hadits-hadits, antara lain:
"Wahai Rasulullah, apakah kami bolehi memerangi mereka (para imam)?"
Jawabnya: “tidak, selama mereka shalat.”
“...kecuali kalau kamu melihat kekufuran yang jelas, yang kamu mempunyai bukti-bukti dari Kitabullah.”
“Jadilah hamba Allah yang terbunuh, jangan menjadi hamba Allah yang pembunuh.”
“Jika kamu khawatir kilatan pedang membinasakan kamu, maka tutupkanlah bajumu pada wajahmu dan katakanlah aku ingin karena dosaku dan dosamu engkau menyediakan tempat kembali, sehingga kamu menjadi ahli neraka.”
Selanjutnya, ia menjelaskan bahwa golongan tersebut tidak memiliki dalil yang kuat sebagai dasar pendapat-pendapatnya. Karena Rasulullah saw tidak mungkin menyuruh bersabar menghadapi perbuatan yang merugikan itu menimpa harta atau diri seorang muslim. Begitu juga suatu hal yang mustahil sabda beliau bertentangan dengan firman Allah. Padahal Allah berfirman pada QS. 5 : 2:
“Tolong-menolonglah kamu dalam kebaikan dan takwa dan jangan tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan.”
Bila permasalahannya jelas seperti ini, yaitu setiap muslim yang mengetahui bahwa mengambil harta seorang muslim dengan cara dosa dan permusuhan tidak benar, maka perbuatan-perbuatan tersebut haram dan orang yang melakukannya wajib dilawan. Kalau begitu, seseorang yang diambil hartanya secara zhalim atau dipukul dirinya secara zhalim, padahal dia mampu melawannya dengan cara apa pun yang mungkin, tetapi tidak melawan, berarti ia menolong pelaku kezhaliman dalam berbuat dosa dan permusuhan. Sikap semacam ini adalah haram berdasarkan nash Al-Qur'an dan sunnah Rasulullah.
Rasulullah saw telah bersabda:
“Barangsiapa di antara kamu melihat kemungkaran, hendaklah ia merubahnya dengan tangannya. Jika ia tidak sanggup, dengan lisannya, jika ia tidak sanggup, dengan hatinya. Dan hal semacam ini adalah iman yang paling lemah.”
”Tidak ada ketaatan pada perbuatan dosa.”
“Barangsiapa terbunuh karena membela hartanya, maka dia syahid. Dan orang yang terbunuh karena membela agamanya, maka dia syahid. Dan orang yang terbunuh karena melawan penganiayaan, adalah syahid.”
Dalam menyikapi dalil-dalil tersebut di atas yang “seolah saling bertentangan”, Ibnu Hazm ber pendapat:
“Hadits-hadits tersebut pada zhahirnya bertentangan satu lama lain. Sehingga benarlah jika dikatakan bahwa salah satu dari dua kelompok hadits tersebut sebagai "penasakh", tidak ada cara lain. Tetapi yang perlu diperhatikan mana di antara dua kelompok hadits tersebut yang menjadi penasakh. Hadits-hadits yang berisikan larangan berperang sejalan dengan keadaan pokok ketika pertama kali Islam muncul di Makkah. Tetapi hadits-hadits kelompok lain telah datang dengan syariat baru yaitu perang. Dan hal ini tidak diragukan kebenarannya.
Hadits-hadits tersebut maknanya sah, tetapi ketika Nabi menyabdakan hadits-hadits yang lain, tidak diragukan lagi, maka hukum hadits-hadits yang pertama terhapus. Adalah suatu hal yang mustahil menggunakan ketentuan yang "mansukh" dan meninggalkan keyakinan. Barangsiapa yang beranggapan bahwa hadits-hadits yang telah menjadi penasakh bisa berubah menjadi yang dimansukh, berarti anggapannya batil, mengikuti sesuatu tanpa ilmu dan melakukan kebodohan atas nama agama serta berbuat tidak halal.
Sekiranya hal semacam ini benar, niscaya Allah memberikan dalil dan keterangan yang menjelaskan kebenaran pemakaian "mansukh" menjadi "nasikh". Karena dalam firman-Nya: QS. 16:89 dinyatakan:
“...Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu....”
Dalil lain yaitu firman Allah QS. 49:9 yang menyatakan: Tak seorang muslim pun memperselisihkan ayat yang mewajibkan memerangi kelompok yang zhalim sebagai ayat "muhkamat" yang tak dapat dimansukhkan. Maka jelaslah bahwa ayat ini menjadi penguat hadits-hadits semakna dengan ayat ini, sehingga hadits-hadits tersebut menjadi penasakh yang kuat. Sedangkan hadits-hadits yang bertentangan dengan ayat ini yang merupakan ketentuan yang dimansukh."Rasulullah saw bersabda:Hadits ini sah. Kami riwayatkan dengan sanad-sanad yang kuat, dari Anas bin Malik dari Abubakar Ash-Shiddiq dari Rasulullah saw.Hadits ini membatalkan penafsiran orang-orang yang menafsirkan hadits-hadits yang menyatakan berperang membela harta hanya dimaksudkan melawan pencuri. Oleh karena itu, seandainya para pembela kebenaran bersatu, niscaya pendukung kebatilan tidak punya kekuatan. []Mengenai ciri umat ini, Allah telah menyebutkan dengan firman-Nya:Yaitu umat Allah yang jadikan sebagai tolok ukur kebenaran dan ditempatkan pada kedudukan sebagai pimpinan dan teladan bagi seluruh manusia. Tidak ada umat yang punya posisi semacam ini patut menerima perlakuan rendah dalam segala urusannya dan berdiam diri terhadap qiyadah yang merampas martabatnya dan melanggar perintah Allah dan Rasul-Nya, sedangkan ia sanggup untuk memecatnya dan menggantinya dengan orang lain.Walaupun memilih pendapat ini, namun penulis harus membatasinya dengan suatu syarat, yaitu bahwa pendapat yang membenarkan melakukan perlawanan bersenjata kepada imam yang patut dipecat, harus punya kemampuan penuh dan menjaga persatuan umat dengan sekuat-kuatnya serta wajib menjauhkan tindakan yang menimbulkan fitnah dan pertumpahan darah yang tidak perlu.Yang jelas Rasulullah saw telah mengingatkan:Dengan demikian kita dapat mengambil kesimpulan dari isi hadits-hadits yang bertalian dengan obyek kajian ini. Ada empat prinsip yang jelas, yaitu:, bahwa imam atau qiyadah sebagai mandataris umat, mempunyai hak untuk ditaati oleh semua umatnya., apabila qiyadah mengeluarkan peraturan atau kebijakan yang dengan jelas menurut syara' memuat hal-hal berbau maksiat dan menyusahkan umat, maka umat tidak ada kewajiban taat dan mendengarkan peraturan atau kebijakan semacam itu., apabila qiyadah bersikap terang-terangan melawan nilai-nilai Al-Qur'an dan As-Sunnah, maka sikap semacam ini dinilai sebagai kekufuran terang-terangan. Dan perbuatan semacam ini merupakan alasan pencabutan kekuasaan dari tangannya serta pemecatannya., pencabutan kekuasaan dari tangan imam tidak dapat dilakukan dengan revolusi bersenjata. Karena Rasulullah saw mengingatkan kita agar menghindarkan penggunaan senjata semacam ini, sebagaimana beliau sabdakan: Dan sabdanya pula: Dengan demikian jelaslah, bahwa Rasulullah saw menyuruh kaum muslimin menolak mematuhi perintah-perintah qiyadah yang bertentangan dengan ketentuan syari'at, dan bila tindakan qiyadah telah mencapai tingkat kekufuran, mereka diperintah memecat qiyadah.
“Aku memohon kepada Tuhanku supaya umatku jangan bersepakat dalam kesesatan dan diperkenankan permohonanku"
"Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak keadilan, saksi karena Allah walaupun terhadap dirimu sendiri atau ibu-bapak kamu atau para kerabat kamu. Jika ia seorang kaya atau miskin, maka Allah lebih utama daripada mereka. Karena itu janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, sehingga kamu berlaku tidak adil." (An-Nisa': 35)
“Dan jika dua golongan orang-orang beriman saling membunuh, maka damaikanlah keduanya. Tetapi bila yang satu melewati batas terhadap lainnya, maka perangilah pihak yang melewati batas sampai kembali kepada kebenaran.”
“Seorang muslim saudara bagi muslim lainnya, tidak boleh menyerahkannya kepada musuh dan tidak boleh menzhaliminya.”
“Kalian adalah umat terbaik yang ditampilkan kepada umat manusia, karena kalian menyuruh perbuatan ma'ruf dan mencegah perbuatan munkar serta beriman kepada Allah.” (Ali Imran:110)
“Pemimpin kalian yang baik adalah pemimpin yang kalian cintai dan mencintai kalian, kalian mendoakan mereka dan mereka mendoakan kalian. Sedangkan pemimpin kalian yang jahat adalah pemimpin yang kalian benci dan mereka membenci kalian, yang kalian laknat dan mereka melaknat kalian.” Kami bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah kami boleh melawan mereka dengan pedang?” Jawab beliau: “Tidak, selama mereka masih menegakkan shalat di tengah-tengah kalian. Dan apabila kalian melihat sesuatu yang kalian benci dari pemimpin kalian, maka bencilah perbuatannya.” (HR. Muslim) [28]
Pertama
Kedua
Ketiga
Keempat“Barangsiapa mengacungkan senjatanya kepada kami, maka dia bukan golongan kami.” “Barangsiapa menghunuskan pedangnya kepada kami, maka dia bukan dari golongan kami.”
Wallahu a’lam bish-shawwab.
1. bnu Taimiah, As-SiyasahAsy-Syar 'iyyah (edisi Dar al-Sha'b),hlm.2.
2. Ibid, hlm 3-31.
3. Abdul Wahhab Khalaf, As-Siyasah Asy-Syar'iyyah, hal. 58.
4. Hadits ini terdapat dalam MusnadAhmad bin Hambal dan lain-lain dalam kitab-kitab hadits.
5. Al-Mawardi, Al-Ahkamus-Sulthaniyyah,hal. 4. Baca juga: Tafsir AI-Manar,5:180 dan seterusnya.
6. Muhammad Abduh, Al-Islam wan-Nashraniyyah, hal. 63-65.
7. Ibid hal. 66
8. Baca: Qadhi Abi Yusuf , Kitabul Kharraj , hal 140-141
9. Sirah Umar bin Khatab, hal.135
10. Ibnu Sa'ad, 3 : 281 dan 293.
11. Sirah Umar bin Khathab, hal.135.
12. Tarikhul Kamil, 2:121.
13. Matan AI-Kanzu, dan syarahnya, Zaila'iy, 3 : 187.
14. Muhammad Abduh, Al-Islam wan-Nashraniyyah, hal. 63-65.
15. Fathul Baari bi Syarh Shahih Al-Bukhari, 16/228.
16. Ibid.
17. Shahih Bukhari, dalam kitab “Al-Fitan”; ShahihMuslim, dalam kitab “Al-Fitan”.
18. Shahih Bukhari, 5/23; Muslim, 3/1466; Ibnu Majah,2/956; Tirmidzi, 4/209.
19. Ahmad di dalam Musnad, 3/445.
20. Shahih Muslim bi Syarh An-nawawi,12/223.
21. Imam lbnu Hajar di dalam "Syarh Shahih Bukhari"menjelaskan "kekafiran" yang dimaksud dalam hadits ini,y aitu bilamana khalifah atau imam jelas-jelas melakukan tindakan kekafiran yang tak dapat disalahtafsirkan, maka imam yang semacam ini dapat dipecat atau dilawan.
Juga ada yang mengartikan "kekafiran" dalam hadits ini dengan arti "berbuat maksiat", seperti tersebut pada beberap ariwayat, yang dilakukan di luar urusan kekhilafahan. Maksudnya apabila khalifah terlihat melakukan dosa, maka ia boleh ditentang dan diluruskan dengan cara tanpa kekerasan.
Imam Nawawi di dalam "Syarh Shahih Muslim" menyebutkan,"Para amir boleh ditentang dan ditolak perintahnya, jika ia terlihat jelas-jelas berbuat munkar. Jika kalian melihat mereka berbuat semacam ini, maka kalian berhak menentangnya dan menyatakan teguran dimana saja kalian berada."
Adapun memberontak dan membunuh mereka adalah haram, sekalipun mereka berbuat fasik dan dhalim. Diharamkan tindakan semacam itu, karena,dapat menimbulkan fitnah dan pertumpahan darah. Demikianlah pendapa jumhur ulama. Bahkan Abu bakar bin Mujahid mengklaim, bahwa pendapat ini merupakan "ijma'". Tetapi pengakuan ini terbantah oleh fakta perlawanan Husain, Ibnu Zubair dan penduduk Madinah terhadap Bani Ummaiyyah dan kelompok mayoritas 'Tabi'in" dan angkatan pertama sahabat bersama Ibnul-Asy'ats terhadap Gubernur AI-Hajjaj.
22. Al-Mawardi, Al-Ahkamus-Sulthaniyyah, hal. 16 dan seterusnya.
23. Maqalatul-Islamiyyin, 2 : 450 - 452.
24. Ibid, 1 : 47.
25. Al-Fashl, 4:171-174.
26. Wafat tahun 270 H. Pendiri madzhab Dhahiri. Tokoh madzhab inisetelah pendirinya adalah All bin Sa'id bin Hazm Al-Andalusia, wafat456 H.
27. Al-Fashl, 4 : 173 - 174.
28. Shahih Muslim, kitab “Imarah”, bab :”wajibhukumnya mengingkari perintah pemimpin yang menyalahi ajaran agama.”
http://ibnumushab.blogspot.com