Jihad terhadap orang kafir yang melakukan penyerangan terhadap umat Islam hukumnya adalah fardlu ‘ain, dan ini adalah merupakan ijma’ para ulama’ sepanjang masa. Dalam hal ini ada dua bentuk permusuhan yang di sebutkannya para ulama’:
1.Mereka menyerang atau menguasai sebuah negeri dari negeri-negeri umat Islam.
2.Mereka menawan seorang atau lebih dari umat Islam.
Imam Ibnul Juzi berkata,” Jihad menjadi fardhu ‘ain dengan tiga sebab: Perintah Imam. Siapa saja ditunjuk oleh imam wajib berangkat.
a.Musuh menyerang sebagian wilayah kaum muslimin. Penduduk wilayah yang diserang wajib melawan. Jika mereka tidak mampu mengatasinya, maka wajib atas kaum muslimin yang terdekat dengan mereka untuk membantu. Jika ternyata juga tidak teratasi, maka wajib bagi segenap kaum muslimin memberikan bantuan hingga musuh dapat diatasi.
b.Membebaskan tawanan-tawanan muslim dari tangan orang-orang kafir.[1]
Ibnu Qudamah berkata: Hukum jihad menjadi fardhu ‘ain dengan tiga sebab :
Pertama: Pada waktu pasukan kaum muslimin bertemu dengan pasukan orang-orang kafir dan berhadapan di medan pertempuran. Bagi yang berada di tempat ketika itu diharamkan melarikan diri. Ia wajib bertempur menghadapi musuh. Dalilnya adalah firman Alloh
“Sebagaimana Rabbmu menyuruhmu pergi dari rumahmu dengan kebenaran, padahal sesungguhnya sebagian dari orang-orang yang beriman itu tidak menyukainya.” (QS. Al Anfal: 5).
“Hai orang-orang yang beriman apabila kalian bertemu dengan orang-orang kafir yang sedang menyerang kalian, maka janganlah kalian mudur membelakangi mereka. Barangsiapa yang mundur membelakangi mereka ketika itu, kecuali berbelok untuk mengatur siasat atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan lain, maka sesungguhnya orang itu kembali dengan membawa kemurkaan Alloh dan tempat kembalinya adalah neraka Jahannam. Dan amat buruklah tempat kembalinya”. (QS. Al-Anfal: 15-16).
Kedua: Bila musuh datang menyerbu negri kaum muslimin, wajib bagi penduduk negri itu untuk berperang menghadapi musuh guna mempertahankan daerah mereka.
Ketiga: Bila imam (kholifah) memerintahkan kaum muslimin untuk keluar berperang. Maka bagi yang di tunjuk oleh kholifah wajib untuk memenuhi seruan. Berdasarkan firman Allah [QS. At Taubah :38-39]. Serta berdasarkan sabda Rasululloh shollallahu ‘alaihi wasallam , ”Jika kamu diminta untuk berangkat (berjihad fi sabilillah) hendaklah kamu segera berangkat”. (HR Muslim dan Ahmad ).[2]
Ibrohim bin Abdur Rohim Al-Hudzri berkata: Jihad akan menjadi fardlu ‘ain pada situasi dan kondisi sebagai berikut:
a.Bila musuh menyerang negeri kaum muslimin sebagaimana yang banyak terjadi pada hari ini.
b.Saat Imam menyerukan seruan jihad secara umum.
c.Sewaktu berhadapan dengan musuh, maka ketika itu tidak boleh meninggalkan medan perang.
- Wajib bagi orang yang telah ditunjuk oleh Imam.
- Wajib bagi tentara sebuah negri.
- Ketika mulai pertempuran.
- Ketika orang kafir menawan beberapa kaum muslimin dan menjadikannya tebusan.[3]
Dan beberapa penjelasan lain yang cukup banyak. Terakhir dkutipkan pendapat Syekhul Jihad, Syekh Abdullah Azzam, yang mengatakan:
“Para ulama’ salaf dan kholaf dari kalangan ahli hadits, ahli tafsir, ahli fiqih dan ahli ushul fiqih telah menyatakan apabila musuh menyerang sejengkal tanah saja dari negeri kaum muslimin, maka jihad hukumnya menjadi fardlu ‘ain atas penduduk daerah tersebut, seorang perempuan tidak perlu ijin kepada suaminya (dengan mahrom), seorang yang mempunyai tanggungan hutang tidak perlu ijin kepada yang menghutanginya, seorang anak tidak perlu ijin kepada orang tuanya”. [4]
Wallahu’alam bis showab!
M Fachry
[1]. Qawaninul Ahkam Asy Syar’iyah hal. 163, dinukil dari Hukmul Jihad hal: 16-17, karya Ibrohim bin Abdur Rohim Al-Hudzri.
[3]. Hukmul Jihad hal: 13
[4] – Ilhaq bil Qafilah. Hal. 53.
http://al-mustaqbal.net