Pemimpin adalah imam yang patut diteladani. Seorang pemimpin atau imam harus mampu menjalankan amanah yang diembannya. Ia harus mampu dan mau menjadi pelayan masyarakat, karena pemimpin itu adalah pelayan masyarakat, bukan masyarakat melayani pemimpin . Di dalam sebuah hadist menjelaskan dalam kitab Al-lu’lu wa al Marjan yang berbunyi :
حَدِيْثُ مَعْقَلِ بْنِ يَسَارٍ عَنِ الْحَسَنِ أَنَّ عُبَيْدَ اللهِ بْنِ زِيَادٍ عَادَ مَعْقَلَ بْنَ يَسَارٍ فِى مَرَضِهِ الَّذِيْ مَاتَ فِيْهِ، فَقَالَ لَهُ مَعْقَلٌ: إِنِّيْ مُحَدِّثُكَ حَدِيْثًا سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: مَنْ مِنْ عَبْدٍ اِسْتَرْعَاهُ اللهُ رَعِيَّةً فَلَمْ يَحُطْهَا بِنَصِيْحَةٍ إِلاَّ لَمْ يَجِدْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ. (أخرجه البخاري فى 92-كتاب الأحكام: باب من استرعى رعية فلم ينصح)
“Al-Hasan berkata, Ubaidillah bin Ziyad menjenguk Ma’qal bin Yasar ra., ketika ia sakit yang menyebabkan kematiannya, maka Ma’qal berkata kepada Ubaidillah bin Ziyad, “Aku akan menyampaikan kepadamu sebuah hadits yang telah dengar dari Rasulullah saw., aku telah mendengar Nabi saw. bersabda, “Tiada seorang hamba yang diberi amanat rakyat oleh Allah lalu ia tidak memeliharanya dengan baik, melainkan Allah tidak akan merasakan padanya harumnya surga (melainkan tidak mendapat bau surga)”.
(Dikeluarkan oleh Imam Bukhari dalam kitab “Hukum-hukum” bab “Orang yang diberi amanat kepemimpinan).
Bografi Perawi ialah Ma’qal bi Yasar nama lengkapnya adalah Ma’qal Ibn Mu;ir al-Mujni Abu Ali. Dikatakan bahwa dia adalah Abu Ali, ada yang mengatakannya sebagai Abu Yasar; serta ada pula yang mengatakan bahwa dia adalah Abdullah al-Bashry.
Ia meriwayatkan hadits dari Rasulullah saw. dan termasuk salah seorang sahabat yang hadir pada bai’at di bawah pohon (bai’ah al-ridwan). Ia juga meriwayatkan hadits dari Nu’man Ibn Maqran.
Hadist yang disampaikan Ma’qil bin Yasir ini menginformasikan pada kita bahwa Nabi SAW telah menegaskan orang yang memegang suatu jabatan, berarti jadi pelayan masyarakat. Bila dalam tugas melayani masyarakat yang berhubungan dengan jabatan tersebut tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya (tidak profesional), sehingga masyarakat merasa dirugikan, atau dizhalimi, berarti zalim/khianat sesama manusia. Oleh karena itu, hukuman bagi orang tersebut menurut Rasulullah adalah penghuni neraka. Bahwa setiap seorang pemipin yang sehat akalnya, otomatis pemimpin/pengembala/pemelihara. Justru itu wajib menyelamatkan diri sendiri, keluarga , dan masyarakat. Melaksanakan pelayanan baik terhadap apa yang telah dipimpinnya merupakan tuntunan ajaran Islam, sebab jika tidak dilaksanakan akan mendapatkan ancaman dan siksaan Allah SWT.
Dalam pandangan Islam , seorang pemipin yang diberi amanat oleh Allah SWT untuk memimpin rakyat, yang diakhirat kelak akan dimintai pertanggung jawaban oleh Allah SWT.
Dengan demikian, meskipun seorang pemimpin dapat meloloskan dari tuntutan rakyatnya selama di dunia, ia tidak akan mampu meloloskan diri dari tuntutan Allah di akhirat kelak. Oleh karena itu, seorang pemimpin hendaknya tidak memposisikan diri sebagai orang yang paling berkuasa diantara rakyat yang dipimpinnya sehingga bertindak sewenang-wenang terhadap rakyatnya. Namun sebaliknya , ia harus mampu menempatkan diri sebagai pelayan masyarakat atau komunitas yang dipimpinnya, dalam hadist lain disampaikan hal yang sama “Pemimpin adalah Pengabdi (pelayan) mereka”. (HR.Abu Naím). Agar kaum muslim memiliki pemimpin yang adil, yang mampu memelihara dan menjaga mereka yang betul-betul didasarkan pada kualitas, integrasi, loyalitas dan yang paling penting adalah perilaku dan ketaatan dalam keagamaannya. Jangan memilih pemimpin karena didasarkan rasa emosional, baik dari ras, suku, bangsa , atau keturunan.
Dari cerita Umar bin Khattab r.a pada tahun ke-17 H pernah terjadi bencana kelaparan yang mengerikan. Penyebabnya, diseluruh semenanjung arab (Hijaz) tidak turun hujan selama 9 bulan dan hujan abu dari gunung berapi. Tanah menjadi hitam gersang penuh abu dan mematikan segala tanaman diatasnya. Tahun tersebut dinamai “tahun abu (amat-ramaadah). Hewan-hewan yang ada kurus kering, tetapi karena lapar mereka sembelih dengan rasa jijik saking begitu buruknya. Penduduk di pedalaman ramai-ramai mengungsi ke madinah. Umar sendiri ikut mengurus makanan.
Penduduk madinah dan para pengungsi, ia turut mengolah roti dengan zaitun untuk dijadikan roti kuah. Suatu waktu, Kahlifah Umar bin Khattab disuguhi roti yang diremukan dengan samin (lemak), ia lantas memanggil seorang badui dan roti itu dimakan bersama-sama. Setiap kali menyuap, orang badui tersebut mulutnya belepotan.”tampaknya kamu tak pernah mengenyam lemak?”tanya umar.”ya”. orang badui itu mengakui tak pernah makan dengan samin atau minyak zaitun, dan ia juga tak melihat orang memakannya sejak sekian lama sampai saat itu. Mendengar pengakuan tersebut, sejak itu umar bersumpah untuk tidak lagi makan daging atau samin sampai orang hidup seperti biasa. Ia tetap bertahan dengan sumpahnya, sampai dengan izin Allah SWT musim paceklik berakhir. Ia melayani dan menyertai mereka semua untuk memberi ketenangan. Banyak orang mengatakan, andai kata paceklik tersebut berjalan lebih lama lagi.
Umar-lah yang paling menderita dan mati dalam kesedihan memikirkan kaum muslimin. Kisah khalifah Umar bin Khattab sarat dengan pelajaran. Di tangannya kekuasaan politik menjadi jaminan keselamatan bagi seluruh warganya. Sebagaimana kata Nabi SAW, pemimipin suatu kaum adalah pelayan bagi kaumnya, memberi solusi atas masalah yang dihadapi warganya. Pemimpin itu bukan berada di singasana tertentu yang sulit ditemui kecuali yang dialami rakyatnya.
حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الدِّمَشْقِيُّ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ حَمْزَةَ حَدَّثَنِي ابْنُ أَبِي مَرْيَمَ أَنَّ الْقَاسِمَ بْنَ مُخَيْمِرَةَ أَخْبَرَهُ أَنَّ أَبَا مَرْيَمَ الْأَزْدِيَّ أَخْبَرَهُ قَالَ دَخَلْتُ عَلَى مُعَاوِيَةَ فَقَالَ مَا أَنْعَمَنَا بِكَ أَبَا فُلَانٍ وَهِيَ كَلِمَةٌ تَقُولُهَا الْعَرَبُ فَقُلْتُ حَدِيثًا سَمِعْتُهُ أُخْبِرُكَ بِهِ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ وَلَّاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ شَيْئًا مِنْ أَمْرِ الْمُسْلِمِينَ فَاحْتَجَبَ دُونَ حَاجَتِهِمْ وَخَلَّتِهِمْ وَفَقْرِهِمْ احْتَجَبَ اللَّهُ عَنْهُ دُونَ حَاجَتِهِ وَخَلَّتِهِ وَفَقْرِهِ قَالَ فَجَعَلَ رَجُلًا عَلَى حَوَائِجِ النَّاسِ
Abu maryam al’ azdy r.a berkata kepada muawiyah: saya telah mendengar rasulullah saw bersabda: siapa yang diserahi oleh allah mengatur kepentingan kaum muslimin, yang kemdian ia sembunyi dari hajat kepentingan mereka, maka allah akan menolak hajat kepentingan dan kebutuhannya pada hari qiyamat. Maka kemudian muawiyah mengangkat seorang untuk melayani segala hajat kebutuhan orang-orang (rakyat). (abu dawud, attirmidzy)
Penjelasan:
Pemimpin sebagai pelayan dan rakyat sebagai tuan. Itulah kira-kira yang hendak disampaikan oleh hadis di atas. Meski tidak secara terang-terangan hadis di atas menyebutkan rakyat sebagai tuan dan pemimpin sebagai pelayan, namun setidaknya hadis ini hendak menegaskan bahwa islam memandang seorang pemimpin tidak lebih tinggi statusnya dari rakyat, karena hakekat pemimpin ialah melayani kepentingan rakyat. Sebagai seorang pelayan, ia tentu tidak beda dengan pelayan-pelayan lainnya yang bertugas melayani kebutuhan-kebutuhan majikannya. Seorang pelayan rumah tangga, misalkan, harus bertanggung jawab untuk melayani kebutuhan majikannya. Demikian juga seorang pelayan kepentingan rakyat harus bertanggung jawab untuk melayani seluruh kepentingan rakyatnya.
Ajaran Islam secara tegas menyatakan bahwa kepemimipinan merupakan variabel yang tidak boleh diabaikan dalam pembangunan masyarakat, bangsa, dan bernegara di dalam Al-Qurán dan Hadist telah banyak memberikan gambaran tentang adanya hubungan positif antara pemimpin yang baik dengan tingkat kesejahteraan masyarakat.
Pemimpin adalah pelaku atau seseorang yang melakukan kegiatan kepemimpinan, yaitu seseorang yang melakukan suatu proses yang berisi rangkaian kegiatan saling pengaruh-mempengaruhi, berkesinambungan dan terarah pada suatu tujuan., dan Pemimpin adalah imam yang patut diteladani. Seorang pemimpin atau imam harus mampu menjalankan amanah yang diembannya. Ia harus mampu dan mau menjadi pelayan masyarakat, karena pemimpin itu adalah pelayan masyarakat, bukan masyarakat melayani pemimpin, dan pemimpin itu bukan berada di singasana tertentu yang sulit ditemui kecuali yang dialami rakyatnya.
Wallahu a'lam bishawab
(Dari berbagai sumber)