Kehidupan bermasyarakat yang diliputi
rasa aman, tentram, dan kebersamaan adalah impian semua orang. Betapa
indahnya sebuah kehidupan yang tegak di atas persaudaraan, saling
memiliki, saling menghormati dan saling menghargai.
Kehidupan indah di atas merupakan cermin kehidupan yang dihadirkan
oleh Islam di muka bumi ini, melalui kitab suci Al-Qur`an dan
petuah-petuah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, Nabi akhir zaman serta bimbingan para sahabatnya para pembawa panji kebenaran.
Allah subhaanahu wa ta’aalaa berfirman:
“Dan berpegang teguhlah kalian semua dengan tali agama Allah dan janganlah kalian berpecah-belah…” (Ali ‘Imran: 103)
Al-Imam al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Allah
memerintahkan kepada mereka (umat Islam, red) agar bersatu dan melarang
mereka dari perpecahan. Dalam banyak hadits juga terdapat larangan dari
perpecahan dan perintah untuk bersatu dan berkumpul.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/367)
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Seorang mukmin dengan mukmin lainnya ibarat bangunan yang saling mengokohkan antara satu dengan yang lainnya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
“Seorang muslim itu adalah saudara bagi muslim lainnya. Dia tidak akan menzaliminya, dan tidak pula membiarkannya jatuh dalam kebinasaan…” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Namun, demikianlah manusia. Keinginannya untuk memperturutkan hawa
nafsu sangat besar. Kecondongannya untuk saling berbangga diri dan
menonjolkan kelompok dan golongannya pun amat kuat. Tak heran bila Allah
l menegur mereka dengan firman-Nya subhaanahu wa ta’aalaa:
“Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang mempersekutukan
Allah. Yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka
menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa
yang ada pada golongan mereka.” (Ar-Rum: 31-32)
Di antara sebab menonjol terjadinya perpecahan dan saling berbangga
diri dalam kehidupan bermasyarakat adalah fanatisme golongan. Yaitu
sikap fanatik terhadap suatu golongan dengan mengajak orang lain agar
membela golongannya dan bergabung bersamanya dalam rangka memusuhi
lawannya baik dalam kondisi terzalimi atau menzalimi. (Lihat Lisanul ‘Arab)
Dalam bahasa Arab, fanatisme golongan disebut dengan العَصَبِيَّةُ (‘ashabiyah) dan التَّعَصُّبُ (ta’ashshub).
Dari sini kita fahami bahwa fanatisme adalah sikap memposisikan diri
pada sebuah golongan, membelanya secara membabi-buta tanpa memperhatikan
nilai-nilai kebenaran yang ada, dan mengajak orang lain agar bergabung
bersamanya.
Dalam topik kehidupan bermasyarakat, fanatisme tidak hanya terbatas
pada golongan saja. Terkadang fanatisme juga terjadi terhadap mazhab,
tokoh, kabilah/suku, ataupun yang lainnya.
Bagaimanakah sikap Islam terhadap fanatisme itu? Dalam agama Islam
yang dibawa oleh Rasululllah, sikap fanatik terhadap golongan, mazhab,
tokoh, kabilah/suku, ataupun yang lainnya itu merupakan penyakit kronis
yang berbahaya. Sungguh penyakit kronis ini telah menimpa umat
terdahulu, bahkan umat Islam yang kita berada padanya hingga memecah
belah persatuan mereka.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Umat Yahudi terpecah belah menjadi 71 golongan, umat Nashrani
terpecah belah menjadi 72 golongan, dan umatku akan terpecah belah
menjadi 73 golongan, semuanya masuk ke dalam neraka, kecuali satu
golongan. Beliau ditanya: ‘Siapa dia wahai Rasulullah?’. Beliau
menjawab: (golongan) yang berada di atas apa yang aku dan para sahabatku
berada.” (HR. at Tirmidzi)
Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali hafizhahullaah
berkata, “Sesungguhnya sikap fanatik adalah penyakit kronis yang telah
membinasakan umat terdahulu dan sekarang. Penyakit inilah yang pertama
kali terjadi dalam sejarah makhluk-makhluk yang Allah subhaanahu wa ta’aalaa ciptakan, yaitu saat menimpa iblis terlaknat. Dengan sebab itulah ia menjadi makhluk pertama yang bermaksiat kepada Allah subhaanahu wa ta’aalaa. Kefanatikannya terhadap bahan asal penciptaannya (yakni, api) menyebabkannya kufur dan menolak perintah Allah subhaanahu wa ta’aalaa untuk sujud penghormatan kepada Nabi Adam ‘alaihis salaam. Sebagaimana firman Allah subhaanahu wa ta’aalaa dalam Al-Qur`an:
“Engkau (Allah) menciptakan aku dari api sementara Engkau menciptakan dia (Adam) dari tanah liat.” (Al-A’raf: 12)
(Lihat at-Ta’ashshub adz-Dzamim wa Atsaruhu hlm. 20)
Mengapa Fanatisme itu Terjadi?
Muncul satu pertanyaan, bukankah fanatisme itu merupakan penyakit
kronis yang berbahaya bagi suatu umat, lalu mengapa sampai menimpa
mereka?
Ketahuilah bahwa terserangnya suatu umat oleh penyakit kronis ini
karena tingginya rasa ego pada diri mereka dengan merasa lebih dari
selain mereka. Baik yang sifatnya sangat pribadi, seperti yang terjadi
pada iblis, atau pun yang berkaitan dengan pihak lain seperti nenek
moyang, mazhab, tokoh dll. Sehingga menjadilah ia sebagai penghalang
bagi mereka untuk menerima kebenaran dari pihak lain.
Kasus-kasus fanatisme di tengah masyarakat tentunya beragam. Akan
tetapi yang paling banyak terjadi di setiap umat dari masa ke masa
adalah fanatik terhadap nenek moyang/pendahulu dan ajaran mereka. Tanpa
peduli apakah pendahulu mereka di atas Al-Haq (kebenaran) atau tidak.
Sebagaimana yang Allah jelaskan dalam beberapa ayat Al-Qur`an saat
mereka menolak dakwah para rasul. Di antaranya adalah firman Allah subhaanahu wa ta’aalaa:
“Dan sungguh telah Kami utus Nuh kepada kaumnya dan ia berkata,
‘Wahai kaumku, beribadahlah kepada Allah tidak ada bagi kalian
sesembahan selain Dia (Allah), tidakkah kalian bertakwa? Maka sebagian
orang-orang kafir dari kaumnya menjawab, ‘Tidaklah ia (Nuh) kecuali
manusia biasa seperti kalian, seandainya Allah kehendaki pasti Dia akan
mengutus malaikat, kami belum pernah mendengar ajakan (dakwah) seperti
ini pada nenek moyang kami dahulu.” (Ghafir: 5)
Demikian pula yang terjadi pada dua tokoh kafir Quraisy Abu Jahl dan
Abdullah bin Abi Umayyah, dengan alasan yang sama mereka menolak dakwah
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan mengajak Abu Thalib paman Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam di akhir-akhir kehidupannya kepada ajaran nenek moyang tersebut.
Tatkala Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Abu Thalib di akhir-akhir kehidupannya itu, “Wahai pamanku, ucapkanlah Laa ilaaha illallah
sebuah kalimat yang aku akan membela engkau dengannya di hadapan
Allah!” Maka Abu Jahl segera menimpali, “Wahai Abu Thalib, apakah engkau
membenci agama ‘Abdul Muththalib (ayah Abu Thalib)?” Setiap kali
Rasulullah mengulangi ucapannya maka ditimpali oleh Abu Jahl dengan
perkataan yang sama, “Apakah engkau membenci agama ‘Abdul Muththalib?”
Akhirnya Abu Thalib meninggal dunia dalam keadaan kafir karena terpedaya
ucapan Abu Jahl untuk tetap berpegang dengan agama kekafiran yang
dianut oleh nenek moyangnya. (Lihat kisah ini dalam Shahih Muslim, Kitabul Iman)
Apakah Boleh Fanatik terhadap Salah Satu dari Empat Mazhab yang Ada?
Merupakan sesuatu yang maklum dalam kehidupan beragama, bolehnya
mengikuti mazhab imam yang empat yang tersebar di kalangan umat Islam;
hanafi, maliki, syafi’i dan hanbali, dengan memahami dalil-dalilnya dan
tidak mempertahankan pendapat mazhabnya saat bertentangan dengan
Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Adapun sikap fanatik terhadap salah satu dari empat mazhab tersebut,
dan meyakini salahnya mazhab selainnya, serta tidak mengindahkan
kebenaran yang ada, merupakan sebab rusaknya persatuan umat. Terlebih
jika fanatik dan taklid tersebut dilandasi ketidakpahaman terhadap
mazhab yang dianut.
Para imam mazhab pun tidak menganjurkan atau bahkan melarang umat
Islam bersikap fanatik dan taklid kepada mereka. Sebagaimana pernyataan
mereka berikut ini:
1. Al-Imam Abu Hanifah rahimahullah berkata, “Haram bagi
siapa saja yang tidak mengetahui dalil mazhabku/pendapatku untuk
berfatwa dengan ucapanku. Karena kami manusia biasa, berpendapat dengan
sebuah pendapat di hari ini, dan terkadang berpendapat yang lain darinya
esok hari.”
2. Al-Imam Malik rahimahullah berkata, “Sesungguhnya saya
hanyalah manusia biasa, bisa salah dan bisa benar. Maka lihatlah
pendapatku jika sesuai dengan Al-Qur`an dan As-Sunnah maka ambillah
(pendapatku tersebut). Namun jika menyelisihi Al-Qur`an dan As-Sunnah
maka tinggalkanlah pendapatku.”
3. Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Jika kalian
mendapati dalam kitabku sesuatu yang menyelisihi sunnah Rasulullah maka
berpeganglah dengan sunnah Rasulullah dan tinggalkanlah ucapanku.”
4. Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata, “Janganlah
kalian taklid kepadaku, kepada Malik, kepada asy-Syafi’i, atau
al-Auza’i. Ambillah (pendapat) dari mana mereka mengambil.”
Pembaca yang dirahmati Allah, dari sini menjadi jelaslah bagi kita
bahwa sikap fanatik dan taklid buta terhadap para imam mazhab yang ada
tidak diperbolehkan bagi siapapun. Bahkan, fanatik dan taklid buta
terhadap para imam mazhab dapat menimbulkan mafsadah (efek negatif) dalam kehidupan beragama. Di antaranya adalah sebagaimana disebutkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah:
1. Fanatik terhadap mazhab menjadi sebab ditolaknya nash-nash dari
Al-Qur`an dan As-Sunnah yang shahih ketika tidak sesuai dengan mazhab
yang ia pegangi.
2. Memperbanyak munculnya hadits-hadits lemah bahkan palsu dalam rangka membela mazhab.
3. Membatasi diri dengan salah satu mazhab tanpa melihat mazhab yang lain apalagi mengambil pelajaran ilmiah darinya.
4. Tersebarnya sikap taklid dan jumud serta menutup rapat-rapat pintu ijtihad.
Oleh karena itu, wajib bagi kita semua umat Islam untuk meninggalkan
sikap fanatik dan taklid buta. Kemudian berupaya berpegang-teguh dengan
Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
serta bimbingan para sahabatnya yang mulia. Semoga dengan itu kita
diselamatkan dari penyakit fanatisme yang dapat mengantarkan kepada
perpecahan umat. Amin.
Wallahu a’lamu bish shawab.
Penulis: Al-Ustadz Abu Habib hafizhahullaah