Sebagian orang bijak berkata, “Barangsiapa berpegang
teguh pada akalnya, niscaya dia akan sesat. Barangsiapa mencari
kecukupan melalui harta bendanya, niscaya dia akan melarat, dan
barangsiapa mencari kemuliaan dari makhluk niscaya dia hina.”
Seringkali kita terjebak ke lubang kesesatan, kemeleratan, dan
kehinaan hidup. Penyebabnya tiada lain karena penghambaan yang
berlebihan terhadap akal, harta, dan makhluk Allah. Padahal, ketiganya
tidak lebih dari sebuah tipu daya yang setiap saat akan menjerumuskan
manusia.
Karena itu, perkataan sebagian orang bijak di atas menjadi benar.
Yaitu bahwa berpegang teguh pada akal, akan membuat seseorang sesat,
juga menghamba kepada harta dan mencari kemuliaan dari makhluk selain
Allah akan membuat pelakunya melarat dan hina.
Kesesatan Akal
Benarkah akal menyesatkan? Benar, apabila akal menyebabkan kita tidak
percaya akan eksistensi Allah dan syariat-syariat-Nya. Banyak orang
yang berusaha menjangkau nalar Tuhan dengan akalnya. Tapi, tidak satu
pun yang pernah berhasil melakukannya. Hal itu dikarenakan keterbatasan
akal dan pengetahuan yang dimiliki manusia. Apalagi, manusia selamanya
tetap berada dalam posisi sebagai makhluk bukan pencipta. Bagaimana
seorang makhluk bisa memahami kreasi Penciptanya?
Kesesatan akal terletak pada bagaimana menyikapinya, bukan pada akal
itu sendiri. Akal tidak pernah sesat, yang sesat adalah orang yang
“menuhankan” akal. Menganggap akal segala-galanya. Padahal, akal adalah
salah satu anugerah terbesar yang diberikan Allah kepada manusia. Akal
pulalah yang membedakan status antara manusia dengan binatang. Dengan
akal, manusia mampu mengidentifikasi dirinya dan lingkungan sekitarnya.
Akal yang sesat senantiasa menuntun pemiliknya untuk selalu “bersikap
ragu” dan “menggugat” semua ketetapan hukum-hukum Allah dan Rasul-Nya.
Mereka meyakini bahwa akal-lah kreator segala yang ada, bukan Tuhan.
Sikap seperti ini lahir dari perasaan superior dan kesombongan yang
berpangkal pada tiadanya iman dalam hati orang tersebut.
Apabila keraguan yang disebabkan ulah akal yang sesat terjadi pada
seorang beragama, akan menyebabkan dia mengalami kedangkalan beragama.
Nilai-nilai agama yang tertanam dalam dirinya akan tereduksi dan
terkikis dengan sendirinya, cepat maupun lambat. Ini sangat
membahayakan. Bagi seorang muslim misalnya, dia akan senantiasa
menggugat ketentuan syariat. Seperti, kenapa shalat maghrib tiga rakaat,
sedangkan shalat isya’ empat rakaat, padahal keduanya sama-sama
dilaksanakan pada malam hari? Kenapa Thawaf harus ke Ka’bah? Kenapa
Thawaf harus tujuh putaran? Dan beberapa pertanyaan menggugat lainnya.
Di sinilah keterbatasan akal. Tidak bijak memaksakan akal untuk
memahami sesuatu yang akal sendiri tidak bisa menjangkaunya. Hanya ada
satu pilihan, yaitu mengimani dan melaksanakan semua hukum Allah dengan
keimanan yang sempurna, dan kepasrahan yang mutlak sebagaimana firman
Allah,
”Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi
perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan
suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan
mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah
dia telah sesat, sesat yang nyata.”
(QS Al-Ahzâb : 36).
Tipu Daya Harta
Setiap hari kita menyaksikan orang-orang berlomba-lomba menumpuk
harta. Berbagai cara mereka lakukan bahkan dengan cara jahat sekalipun.
Tidak peduli harta itu berasal dari hasil curian atau korupsi. Mereka
meyakini dengan memiliki banyak harta secara otomatis status sosial
mereka di mata masyarakat meningkat. Prestise seperti ini biasa dipupuk
oleh mereka yang berjiwa materialistis, yang menganggap harta sebagai
panglima.
Orang yang “tamak” harta pasti selalu merasa “lapar” dan tidak pernah
merasa cukup. Sebanyak apa pun harta yang dimiliki, pasti harta itu
tidak pernah cukup baginya. Apabila saat ini sudah memiliki sepeda motor
misalnya, orang tersebut pasti berambisi untuk membeli mobil. Begitu
seterusnya. Sikap seperti ini pada gilirannya akan melahirkan
kesombongan dan persaingan tidak sehat.
Sadarilah bahwa harta-harta itu sejatinya adalah titipan Allah yang
harus dijaga dan digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat. Jangan sampai
harta-harta itu membuat pemiliknya lalai apalagi lupa mengingat Allah.
Karena itu, untuk apa pun harta itu digunakan harus diniatkan untuk
ibadah kepada Allah. Kalau tidak, kita akan dikategorikan sebagai orang
yang merugi. Firman Allah,
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan
akan-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang
berbuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang rugi.”
(QS Al-Munâfiqûn: 9)
Kenapa kita mesti bersikap waspada terhadap setiap harta yang kita
miliki? Tidak lain karena setiap harta itu mengandung tipu daya. Kalau
tidak disikapi dengan benar maka harta itu akan menjerumuskan kita.
Harta selalu membuat pemiliknya silau. Ibarat sebatang magnet, harta
senantiasa akan menarik siapa saja yang menyentuhnya. Menggantungkan
hidup hanya pada harta akan membuat kita melarat dan nestapa. Karena
harta tidak pernah memberikan kepuasaan batin, apalagi kebahagiaan.
Kisah yang menimpa Qorun pada masa Nabi Musa a.s. layak kita cermati
dan kita ambil hikmahnya. Dia adalah personifikasi orang kaya yang
durhaka kepada Allah dan orang yang sangat bakhil. Apabila ia disuruh
mengeluarkan zakat, sedekah dan sebagainya, ia malas dan enggan, bahkan
dia menyangka seolah-olah harta bendanya itu akan kekal bersamanya.
Harta itu pula yang membuatnya sombong dan berlaku kasar kepada manusia.
Sebagai balasan keangkuhannya, Allah membenamkan Qorun beserta seluruh
harta bendanya. Firman Allah,
“Kemudian Kami benamkan Qorun itu besert rumahnya ke dalam bumi. Maka
tidak ada baginya suatu golongan pun yang menolongnya terhadap azab
Allah, dan tiadalah ia termasuk orang-orang (yang dapat) membela
dirinya.”
(QS Al-Qashash: 81).
Kehinaan Seorang Makhluk
Adakah seseorang yang mampu memberi kemuliaan kepada orang lain?
Kalau ada, maka kemuliaan yang diberikan itu sesungguhnya kemuliaan
semu. Kemuliaan hanya milik Allah. Dialah yang Mahamulia. Mencari
kemulian kepada selain Allah, itu berarti mencari tuhan selain-Nya.
Karena hanya Allah yang mampu memberikan predikat mulia. Bukan manusia!
Mencari kemuliaan dari manusia sama halnya menjerumuskan kita ke lubang
kehinaan.
Kenapa kemudian banyak orang yang mencari kemuliaan kepada selain
Allah? Motifnya bisa jadi karena jabatan, kekuasaan, kekayaan atau
sekadar mencari pujian. Karena sekadar ingin mendapat jabatan tinggi
misalnya, seseorang rela membela habis-habisan atasannya padahal sang
atasan dalam kondisi salah atau sedang terlibat dalam tindak kejahatan.
Sikap seperti ini biasa disebut fanatisme buta yang mudah menjangkiti
mereka yang tidak mempunyai pengetahuan yang cukup dan kesadaran batin
terhadap hakikat sesuatu.
Bagaimana mungkin seorang makhluk mencari kemuliaan dari makhluk
lainnya. Bukankah mereka memiliki derajat sejajar sebagai makhluk Allah?
Hal inilah yang mesti disadari sejak awal bahwa sebagai makhluk kita
sejajar, kita sama. Kesejajaran ini dengan sendirinya akan menimbulkan
sikap saling pengertian dan toleransi. Tidak ada yang paling berkuasa
atas lainnya. Apalagi menyatakan paling kuat dan paling super.
Karena itu, kualitas kemuliaan itu tidak diukur dari berapa banyak
pujian dan penghargaan yang diberikan orang lain kepada kita, melainkan
kualitas ketakwaan kita kepada Allah. Kualitas ketakwaan ini diwujudkan
dalam totalitas penghambaan kepada Allah dengan melaksanakan semua
perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya. Firman Allah SWT,
“Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang
paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa
di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
(QS Al-Hujurât: 13).
Akhirnya, mudah-mudahan kita mampu mengendalikan akal kita dan bukan
dikendalikan akal, mampu menjaga harta dan memanfaatkannya di jalan
Allah bukan diperbudak harta, serta mampu memposisikan manusia lainnya
sebagai makhluk Allah bukan sebagai “tuhan” yang bisa berbuat apa saja,
apalagi memberikan kemuliaan. Amin.
Oleh : KH. Muhammad Idris Jauhari