Akibat keberhasilan dipandang hanya dari ukuran kecerdasan
intelektual (IQ), banyak orang yang bangga menunjukkan berbagai titel
akademik di depan dan belakang namanya. Padahal, Robert Steinberg,
psikolog dari Yale University, berkata, “IQ bukanlah yang terpenting,
namun orang-orang masih menghitung IQ.”
Banyak juga orang yang berhasil mengasah kecerdasan emosioal (EQ)
sehingga hubungan muamalahnya dengan orang lain begitu harmonis. Lantas,
apakah bila Anda memiliki kecerdasan akademik dan emosional tinggi,
karir Anda menanjak, dan materi Anda bertambah, Anda telah mencapai
sukses yang sebenarnya? Sudah cukupkah semua itu?
Renungkanlah sebuah kenyataan yang pasti akan menimpa setiap orang,
yaitu kematian. Bayangkan bila berbagai impian duniawi telah Anda raih
dan ketika Anda berada di puncak kesuksesan tiba-tiba Anda meninggal.
Tenteramkah hati Anda membayangkan kemungkinan itu?
Lupa Mati
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (SAW) bersabda,
“Secerdas-cerdasnya manusia adalah yang terbanyak mengingat kematian
serta yang terbanyak persiapan menghadapinya,” (Riwayat Ibnu Majah).
Banyak orang lupa dengan kematian. Mereka seolah-olah akan hidup
selamanya dan menjadikan dunia ini segala-galanya. Karena itu,
direbutlah harta dunia dengan tidak memedulikan halal dan haram. Maka
muncullah budaya korupsi di negeri ini. Sudah banyak pula koruptor yang
hidupnya berakhir di penjara. Meski begitu banyak juga yang belum jera.
Hal itu disebabkan kecerdasan intelektual yang ia miliki bukan untuk
pencerahan tapi justru mencari pembenaran atas penyimpangan yang ia
lakukan. Kecerdasan bukan untuk menolong sesama, tetapi untuk membalut
kejahatan. Mereka tampil seolah-olah menjadi orang yang peduli nasib
rakyat agar kejahatannya tak terungkap.
Lupa akan kematian sering membuat orang memanfaatkan kecerdasan untuk
memuaskan keserakahannya. Sehingga terjadilah berbagai kerusakan di
darat dan di laut karena eksploitasi yang berlebihan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, Telah nampak kerusakan di darat dan
di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah
merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar
mereka kembali (ke jalan yang benar). (Ar Ruum [30]: 41)
Orang yang kecerdasannya belum bisa mengantarkannya untuk berbuat
baik, pada hakikatnya belum dikatakan cerdas. Dia masih bodoh secara
spiritual karena hawa nafsu masih menguasainya.
Peradaban materi saat ini banyak melahirkan manusia demikian.
Sebagaimana diakui Jean Jaques Rousseau, “Semakin banyak orang pandai,
semakin sulit dicari orang jujur.” Itulah sebabnya Rasulullah SAW selalu
mewanti-wanti, “Perbanyaklah mengingat mati.”
Nasehat Final
Kita telah saksikan sendiri orang-orang yang dulu bersama kita; teman,
tetangga, bahkan keluarga kita sendiri, saat ini telah tiada. Mereka
telah meninggalkan kita selama-lamanya.
Sudahkah kita menjadikan peristiwa kematian sebagai nasehat sebagaimana
dikatakan Fudhail bin Iyadh, “Cukuplah kematian itu menjadi nasehat.”
Jika selama ini kita pernah mengantarkan jenazah ke pemakaman,
ingatlah bahwa kelak giliran kita yang akan diantarkan oleh orang lain.
Lalu, bekal apa yang akan kita bawa menghadap Ilahi? Sudah merasa
cukupkah kita dengan kecerdasan intelektual dan emosional yang kita
punya? Terpikirkah oleh kita bagaimana nasib di akhirat kelak?
Allah Ta’ala berfirmanKatakanlah, “Sesungguhnya kematian yang kamu
lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu,
kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang
gaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu
kerjakan.” (Al-Jumu’ah [62]:
Saat kematian datang merenggut, lepaslah sudah semua kesuksesan dan
kebanggaan dunia yang kita raih dengan susah payah itu. Hanya dengan
berbungkus kafan putih, manusia kembali ke tanah.
Agar kita tidak terlena, ada kecerdasan lain yang mutlak harus kita
miliki di samping kecerdasan intelektual dan emosional. Sejak awal
Rasulullah SAW telah memberikan defenisi kecerdasan yang lebih hakiki.
Mereka yang banyak mengingat mati dan lebih siap dengan bekal menghadap
Ilahi, itulah orang yang cerdas. Mereka yang cerdas secara intelektual,
emosional, tetapi lupa menyiapkan bekal setelah mati, pasti akan gagal
dan menyesal selamanya di akhirat kelak.
Kenali Allah
Sudah semestinya kita menggunakan kecerdasan yang kita miliki untuk
semakin mengenal Allah Ta’ala. Inilah kewajiban pertama kita dalam
beragama: Awwaluddin ma’rifatullah (awalnya agama adalah mengenal
Allah).
Instrumen penglihatan, pendengaran, dan hati, hanya akan memiliki
makna jika telah digunakan untuk membaca tanda-tanda kebesaran- Nya.
Dengan mengenal-Nya, kita akan terdorong mencintai-Nya dan menaati-Nya.
Tidak sebagaimana asumsi John Locke dengan teori tabularasa yang
menyatakan manusia itu kosong seperti kertas putih, Islam meyakini bahwa
jiwa manusia telah terekam kesadaran tauhid.
Bahkan, setiap jiwa ini telah bersaksi di hadapan Tuhan dan mengakui Dia
sebagai Tuhan. Inilah kecerdasan dasar yang musti dikembangkan untuk
persiapan menghadapi kematian.
Itu sebabnya, pendengaran, penglihatan, akal, dan hati, harus
digunakan untuk semakin mempertajam kecerdasan fitrah ini. Allah Ta’ala
secara gamblang menjelaskan hal ini dalam al-Qur`an surat al-A’raf [7]
ayat 172 bahwa Dia telah mengambil kesaksian anak-anak Adam sebelum
mereka dilahirkan. Ketika itu Allah Ta’ala berkata, ”Bukankah Aku ini
Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi
saksi.”
Alam semesta ini sejatinya adalah ‘kitab besar’ yang memuat ayat-
ayat tentang kebesaran Allah Ta’ala. Tapi, seberapa banyak orang yang
bisa membacanya?
Masyarakat modern memang telah meneliti alam semesta ini sehingga
ilmu pengetahuan mengalami kemajuan luar biasa. Tetapi sayangnya,
kemajuan itu belum mengantarkan manusia mengenal Allah Ta’ala.
Orang demikian ini ibarat melihat buku yang besar namun tidak memahami
isiya. Ia sibuk memikirkan apa bahan kertasnya, berapa ukuran lebarnya,
dan berapa jumlah halamannya.
Masyarakat modern mungkin canggih menerangkan bagaimana alam semesta
ini bergerak demikian teratur, tetapi sebenarnya belum membaca sama
sekali hakekat di balik keteraturan itu.
Betapa pun cerdasnya seseorang, jika ia belum menggunakannya untuk
mengenal Allah Ta’ala, ia tidak lebih dari binatang ternak. Bahkan lebih
sesat lagi.
Allah Ta’ala menjelaskan dalam al-Qur`an surat Al A’raaf [7] ayat 179
bahwa mereka mempunyai hati tetapi tidak digunakan untuk memahami ayat-
ayat Allah, mempunyai mata tetapi tidak digunakan untuk melihat tanda-
tanda kekuasaan Allah, dan mempunyai telinga tetapi tidak digunakan
untuk mendengar ayat- ayat Allah.
Mereka ini, kata Allah Ta’ala, seperti binatang ternak, bahkan lebih
sesat lagi. Mereka kelak akan menjadi isi neraka Jahannam karena
kelalaian mereka.
Al-Qur`an sejak awal mengorientasikan kecerdasan untuk mengenal Allah
Ta’ala. Wahyu pertama yang turun adalah iqra`! Perintah iqra` tidak
berdiri sendiri, tetapi dengan bismirabbikalladzi khalaq. Membaca yang
disertai dengan asma Yang Maha Pencipta akan mengantarkan pada kesadaran
tauhid.
Jika manusia benar-benar memikirkan alam semesta dengan kerendahan
hati, pasti akan muncul kecerdasan fitrahnya untuk mengakui secara sadar
tentang kebesaran-Nya. Subhanallah, Maha Suci Allah. Dengan cara
seperti inilah manusia akan mulia di sisi Allah.
Jadi, jangan puas dengan kecerdasan intelektual dan emosional saja.
Milikilah kecerdasan yang kaffah (sempurna). Lengkapi diri dengan
mengasah hati untuk cerdas secara spiritual.
Hanya dengan mengenal Allah Ta’ala, banyak mengingat kematian dan
sadar untuk mengumpulkan bekal setelah mati, kecerdasan intelektual dan
emosional akan memberi manfaat besar dalam hidup dan peradaban manusia.
Wallahu a’lamu bish shawab.
(SUARA HIDAYATULLAH)