Mengembalikan uang yang dipinjam dengan jumlah lebih banyak,
inilah bentuk riba yang sering kita lihat di sekitar kita. Ternyata
tidak hanya ini bentuk riba. Ada beberapa macam lagi bentuk riba dan
bisa terjadi dalam beberapa transaksi. Apa saja itu?
Untuk memperjelas pembahasan riba, perlu disebutkan secara detail
tentang pembagian riba, masalah-masalah yang terkait dengannya, dan
perbedaan pendapat para ulama dalam masalah ini.
Riba ada beberapa macam:
Riba Dain (Riba dalam Hutang Piutang)
Riba ini disebut juga dengan riba jahiliyah, sebab riba jenis inilah yang terjadi pada jaman jahiliyah.
Riba ini ada dua bentuk:
a. Penambahan harta sebagai denda dari penambahan tempo (bayar hutangnya atau tambah nominalnya dengan mundur-nya tempo).
Misal: Si A hutang Rp 1 juta kepada si B dengan tempo 1 bulan. Saat
jatuh tempo si B berkata: “Bayar hutangmu.” Si A menjawab: “Aku tidak
punya uang. Beri saya tempo 1 bulan lagi dan hutang saya menjadi Rp
1.100.000.” Demikian seterusnya.
Sistem ini disebut dengan riba mudha’afah (melipatgandakan uang). Allah I berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda.” (Ali ‘Imran: 130)
b. Pinjaman dengan bunga yang dipersyaratkan di awal akad
Misalnya: Si A hendak berhutang kepada si B. Maka si B berkata di awal
akad: “Saya hutangi kamu Rp 1 juta dengan tempo satu bulan, dengan
pembayaran Rp 1.100.000.”
Riba jahiliyah jenis ini adalah riba yang paling besar dosanya dan
sangat tampak kerusakannya. Riba jenis ini yang sering terjadi pada
bank-bank dengan sistem konvensional yang terkenal di kalangan
masyarakat dengan istilah “menganakkan uang.” Wallahul musta’an.
Faedah penting:
Termasuk riba dalam jenis ini adalah riba qardh (riba dalam pinjam
meminjam). Gambarannya, seseorang meminjamkan sesuatu kepada orang lain
dengan syarat mengembalikan dengan yang lebih baik atau lebih banyak
jumlahnya.
Misal: Seseorang meminjamkan pena seharga Rp. 1000 dengan syarat akan
mengembalikan dengan pena yang seharga Rp. 5000. Atau meminjamkan uang
seharga Rp 100.000 dan akan dikembalikan Rp 110.000 saat jatuh tempo.
Ringkasnya, setiap pinjam meminjam yang mendatangkan keuntungan adalah riba, dengan argumentasi sebagai berikut:
1. Hadits ‘Ali bin Abi Thalib z:
“Setiap pinjaman yang membawa keuntungan adalah riba.”
Hadits ini dha’if. Dalam sanadnya ada Sawwar bin Mush’ab, dia ini matruk
(ditinggalkan haditsnya). Lihat Irwa`ul Ghalil (5/235-236 no. 1398).
Namun para ulama sepakat sebagai-mana yang dinukil oleh Ibnu Hazm, Ibnu
Abdil Barr dan para ulama lain, bahwa setiap pinjam meminjam yang di
dalamnya dipersyaratkan sebuah keuntungan atau penambahan kriteria
(kualitas) atau penam-bahan nominal (kuantitas) termasuk riba.
2. Tindakan tersebut termasuk riba jahiliyah yang telah lewat
penyebutannya dan termasuk riba yang diharamkan berdasarkan Al-Qur`an,
As-Sunnah, dan ijma’ ulama.
3. Pinjaman yang dipersyaratkan adanya keuntungan sangat bertentangan
dengan maksud dan tujuan mulia dari pinjam meminjam yang Islami yaitu
membantu, mengasihi, dan berbuat baik kepada saudaranya yang membutuhkan
pertolongan. Pinjaman itu berubah menjadi jual beli yang mencekik orang
lain. Meminjami orang lain Rp. 10.000 dibayar Rp. 11.000 sama dengan
membeli Rp. 10.000 dibayar Rp. 11.000.
Ada beberapa kasus yang masuk pada kaidah ini, di antaranya:
a. Misalkan seseorang berhutang kepada syirkah (koperasi) Rp
10.000.000 dengan bunga 0% (tanpa bunga) dengan tempo 1 tahun. Namun
pihak syirkah mengatakan: “Bila jatuh tempo namun hutang belum
terlunasi, maka setiap bulannya akan dikenai denda 5%.”
Akad ini adalah riba jahiliyah yang telah lewat penyebutannya. Dan cukup
banyak syirkah (koperasi) atau yayasan yang menerapkan praktik semacam
ini.
b. Meminjami seseorang sejumlah uang tanpa bunga untuk modal usaha
dengan syarat pihak yang meminjami mendapat prosentase dari laba usaha
dan hutang tetap dikembalikan secara utuh.
Modus lain yang mirip adalah membe-rikan sejumlah uang kepada seseorang
untuk modal usaha dengan syarat setiap bulannya dia (yang punya uang)
mendapatkan –misalnya– Rp 1 juta, baik usahanya untung atau rugi.
Sistem ini yang banyak terjadi pada koperasi, BMT, bahkan bank-bank
syariah pun menerapkan sistem ini dengan istilah mudharabah (bagi
hasil).
Mudharabah yang syar’i adalah: Misalkan seseorang memberikan modal Rp.
10 juta untuk modal usaha dengan ketentuan pemodal mendapatkan 50% atau
40% atau 30% (sesuai kesepakatan) dari laba hasil usaha. Bila
menghasilkan laba maka dia mendapatkannya, dan bila ternyata rugi maka
kerugian itu ditanggung bersama (loss and profit sharing). Hal ini
sebagaimana yang dilakukan Rasulullah n dengan orang Yahudi Khaibar.
Wallahul muwaffiq.
Adapun transaksi yang dilakukan oleh mereka, pada hakekatnya adalah riba
dain/qardh ala jahiliyah yang dikemas dengan baju indah nan Islami
bernama mudharabah. Wallahul musta’an.
c. Mengambil keuntungan dari barang yang digadaikan
Misal: Si A meminjam uang Rp 10 juta kepada si B (pegadaian) dengan
mengga-daikan sawahnya seluas 0,5 ha. Lalu pihak pegadaian memanfaatkan
sawah tersebut, mengambil hasilnya, dan apa yang ada di dalamnya sampai
si A bisa mengembalikan hutangnya. Tindakan tersebut termasuk riba,
namun dikecualikan dalam dua hal:
1. Bila barang yang digadaikan itu perlu pemeliharaan atau biaya, maka
barang tersebut bisa dimanfaatkan sebagai ganti pembiayaan. Misalnya
yang digadaikan adalah seekor sapi dan pihak pegadaian harus
mengeluarkan biaya untuk pemeliha-raan. Maka pihak pegadaian boleh
meme-rah susu dari sapi tersebut sebagai ganti biaya perawatan. Dalilnya
hadits riwayat Al-Bukhari dalam Shahih-nya dari Abu Hurairah z,
Rasulullah n bersabda:
“Kendaraan yang tergadai boleh dinaiki (sebagai ganti) nafkahnya, dan
susu hewan yang tergadai dapat diminum (sebagai ganti) nafkahnya.”
2. Tanah sawah yang digadai akan mengalami kerusakan bila tidak
ditanami, maka pihak pegadaian bisa melakukan sistem mudharabah syar’i
dengan pemilik tanah sesuai kesepakatan yang umum berlaku di kalangan
masyarakat setempat tanpa ada rasa sungkan. Misalnya yang biasa berlaku
adalah 50%. Bila sawah yang ditanami pihak pegadaian tadi menghasil-kan,
maka pemilik tanah dapat 50%. Namun bila si pemilik tanah merasa tidak
enak karena dihutangi lalu dia hanya mengambil 25% saja, maka ini tidak
diperbolehkan. Wallahu a’lam bish-shawab.
Riba Fadhl
Definisinya adalah adanya tafadhul (selisih timbangan) pada dua perkara
yang diwajibkan secara syar’i adanya tamatsul (kesamaan
timbangan/ukuran) padanya.
Riba jenis ini diistilahkan oleh Ibnul Qayyim dengan riba khafi (samar), sebab riba ini merupakan pintu menuju riba nasi`ah.
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum riba fadhl. Yang rajih tanpa
keraguan lagi adalah pendapat jumhur ulama bahwa riba fadhl adalah haram
dengan dalil yang sangat banyak. Di antaranya:
1. Hadits ‘Utsman bin ‘Affan z riwayat Muslim:
“Jangan kalian menjual satu dinar dengan dua dinar, jangan pula satu dirham dengan dua dirham.”
Juga hadits-hadits yang semakna dengan itu, di antaranya:
a. Hadits Abu Sa’id z yang muttafaq ‘alaih.
b. Hadits ‘Ubadah bin Ash-Shamit z riwayat Muslim.
Juga hadits yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar, Abu Hurairah, Sa’d bin
Abi Waqqash, Abu Bakrah, Ma’mar bin Abdillah dan lain-lain, yang
menjelaskan tentang keharaman riba fadhl, tersebut dalam Ash-Shahihain
atau salah satunya.
Adapun dalil pihak yang membolehkan adalah hadits Usamah bin Zaid z:
“Sesungguhnya riba itu hanya pada nasi`ah (tempo).”
Maka ada beberapa jawaban, di antaranya:
a. Makna hadits ini adalah tidak ada riba yang lebih keras
keharamannya dan diancam dengan hukuman keras kecuali riba nasi`ah.
Sehingga yang ditiadakan adalah kesempurnaan, bukan wajud asal riba.
b. Hadits tersebut dibawa kepada pengertian: Bila jenisnya berbeda,
maka diperbolehkan tafadhul (selisih timbangan) dan diharamkan adanya
nasi`ah.
Ini adalah jawaban Al-Imam Asy-Syafi’i, disebutkan oleh Al-Imam
Al-Bukhari dari gurunya, Sulaiman bin Harb. Jawaban ini pula yang
dirajihkan oleh Al-Imam Ath-Thabari, Al-Imam Al-Baihaqi, Ibnu Abdil
Barr, Ibnu Qudamah, dan sejumlah ulama besar lainnya.
Jawaban inilah yang mengompromi-kan antara hadits yang dzahirnya berten-tangan. Wallahul muwaffiq.
Riba Nasi`ah (Tempo)
Yaitu adanya tempo pada perkara yang diwajibkan secara syar’i adanya taqabudh (serah terima di tempat).
Riba ini diistilahkan oleh Ibnul Qayyim dengan riba jali (jelas) dan
para ulama sepakat tentang keharaman riba jenis ini dengan dasar hadits
Usamah bin Zaid di atas. Banyak ulama yang membawakan adanya kesepakatan
akan haramnya riba jenis ini.
Riba fadhl dan riba nasi`ah diistilahkan oleh para fuqaha dengan riba bai’ (riba jual beli).
Kaidah Seputar Dua Jenis Riba
1. Perkara yang diwajibkan secara syar’i adanya tamatsul, maka tidak
boleh ada unsur tafadhul padanya, sebab bisa terjatuh pada riba fadhl.
Misal: Tidak boleh menjual 1 dinar dengan 2 dinar, atau 1 kg kurma
dengan 1,5 kg kurma.
2. Perkara yang diwajibkan adanya tamatsul maka diharamkan adanya
nasi`ah (tempo), sebab bisa terjatuh pada riba nasi`ah dan fadhl, bila
barangnya satu jenis. Misal: Tidak boleh menjual emas dengan emas secara
tafadhul, demikian pula tidak boleh ada unsur nasi`ah.
3. Bila barangnya dari jenis yang berbeda maka disyaratkan taqabudh
(serah terima di tempat) saja, yakni boleh tafadhul namun tidak boleh
nasi`ah. Misalnya, menjual emas dengan perak, atau kurma dengan garam.
Transaksi ini boleh tafadhul namun tidak boleh nasi`ah.
Ringkasnya:
a. Beli emas dengan emas secara tafadhul berarti terjadi riba fadhl.
b. Beli emas dengan emas secara tamatsul namun dengan nasi`ah (tempo), maka terjadi riba nasi`ah.
c. Beli emas dengan emas secara tafadhul dan nasi`ah, maka terjadi kedua jenis riba yaitu fadhl dan nasi`ah.
Hal ini berlaku pada barang yang sejenis. Adapun yang berbeda jenis
hanya terjadi riba nasi`ah saja, sebab tidak disyaratkan tamatsul namun
hanya disyaratkan taqabudh. Wallahu a’lam.
Untuk lebih memahami masalah ini, kita perlu menglasifikasikan
barang-barang yang terkena riba yaitu emas, perak (masuk di sini mata
uang), kurma, burr (gandum), sya’ir dan garam menjadi dua bagian:
Bagian pertama: emas, perak (dan mata uang masuk di sini).
Bagian kedua: kurma, burr, sya’ir, dan garam.
Keterangannya:
1. Masing-masing dari keenam barang di atas disebut satu jenis; jenis
emas, jenis perak, jenis mata uang, jenis kurma, demikian seterusnya.
Kaidahnya: bila jual beli barang sejenis, misal emas dengan emas, kurma
dengan kurma dst, maka diwajibkan adanya dua hal: tamatsul dan taqabudh.
2. Jual beli lain jenis pada bagian pertama atau bagian kedua, hanya disyaratkan taqabudh dan boleh tafadhul.
Misalnya, emas dengan perak atau sebaliknya, emas dengan mata uang atau
sebaliknya, perak dengan mata uang atau sebaliknya. Ini untuk bagian
pertama.
Misal untuk bagian kedua: Kurma dengan burr atau sebaliknya, sya’ir
dengan garam atau sebaliknya, kurma dengan sya’ir, kurma dengan garam
atau sebaliknya.
Dalil dua keterangan ini adalah hadits ‘Ubadah bin Ash-Shamit z, yang
diriwayatkan oleh Muslim (no. 1587). Rasulullah n bersabda:
“Emas dengan emas, perak dengan perak, burr dengan burr, sya’ir
dengan sya’ir, kurma dengan kurma, garam dengan garam, harus semisal
dengan semisal (tamatsul), tangan dengan tangan (taqabudh). Namun bila
jenis-jenis ini berbeda, maka juallah terserah kalian (dengan syarat)
bila tangan dengan tangan (kontan).”
3. Jual beli bagian pertama dengan bagian kedua atau sebaliknya, diperbo-lehkan tafadhul dan nasi`ah (tempo).
Misalnya membeli garam dengan uang, kurma dengan uang, dan seterusnya.
Hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama yang dinukil oleh Ibnul
Mundzir, Ibnu Hazm, Ibnu Qudamah, Nashr Al-Maqdisi, Al-Imam An-Nawawi,
dan sejumlah ulama lain. Dalil mereka adalah sistem salam, yaitu
menye-rahkan uang di awal akad untuk barang tertentu, dengan sifat
tertentu, dengan timbangan tertentu dan diserahkan pada tempo tertentu.
Telah maklum bahwa alat bayar masa itu adalah dinar (mata uang emas) dan
dirham (mata uang perak), dan barang yang sering diminta adalah kurma
atau sya’ir atau burr (jenis barang yang terkena hukum riba).
Di antara dalilnya juga adalah hadits ‘Aisyah x:
“Bahwasanya Nabi n membeli makanan dari seorang Yahudi dan mengga-daikan baju perang dari besi kepadanya.” (Muttafaqun ‘alaih)
Makanan yang Nabi n beli di sini adalah sya’ir (termasuk jenis yang
terkena hukum riba) seba-gaimana lafadz lain dari riwayat di atas, dalam
keadaan beliau tidak punya uang (yang waktu itu berupa emas atau
perak). Beliau mengambil barang itu secara tempo dengan menggadaikan
baju besinya. Wallahu a’lam.
Ash-Sharf (Money Changer)
Ash-sharf secara bahasa berarti memindah dan mengembalikan. Sedangkan
secara istilah fuqaha, definisi ash-sharf adalah jual beli alat bayar
(emas, perak dan mata uang) dengan alat bayar sejenis atau beda jenis.
Ulama Syafi’iyyah dan yang lainnya membedakan: bila sejenis (emas dengan
emas, perak dengan perak) disebut murathalah dan bila beda jenis (emas
dengan perak atau sebaliknya) disebut ash-sharf.
Adapun mata uang dengan mata uang lebih dominan disebut ash-sharf.
Telah dijelaskan di atas bahwa naqd (alat bayar) adalah salah satu
bagian dari dua bagian hasil klasifikasi barang-barang jenis riba. Telah
dijelaskan pula bahwa bila terjadi jual beli sesama jenis maka harus
tamatsul dan taqabudh, dan bila lain jenis harus taqabudh boleh
tafadhul.
Yang perlu dipahami adalah bahwa masing-masing mata uang yang beredar di
dunia ini adalah jenis tersendiri (rupiah jenis tersendiri, real jenis
tersendiri, dst.). Sehingga bila terjadi tukar-menukar uang sejenis
haruslah taqabudh dan tamatsul. Misal-nya, uang Rp. 100.000,00 ditukar
dengan pecahan Rp. 10.000,00, maka nominalnya harus sama. Bila tidak,
berarti terjatuh dalam riba fadhl. Selain itu juga harus serah terima di
tempat. Bila tidak, berarti terjatuh dalam riba nasi`ah. Bila tidak
tamatsul dan tidak taqabudh, berarti terjatuh dalam riba fadhl dan riba
nasi`ah sekaligus.
Namun bila mata uangnya berlainan jenis (misal dolar ditukar dengan
rupiah), maka harus taqabudh dan boleh tafadhul. Misalnya, 1 dolar
bernilai Rp. 10.000,00, bisa ditukar Rp. 9.500,00 atau Rp. 10.500,00,
namun harus serah terima di tempat. Wallahu a’lam.
Masalah 1: Taqabudh (serah terima di tempat) dalam bab ash-sharf adalah syarat sah.
Ini adalah pendapat mayoritas besar ulama, bahkan dinukilkan adanya
ijma’. Namun Ibnu ‘Ulayyah berpendapat boleh berpisah tanpa taqabudh,
sebagaimana dinukil oleh Al-Imam An-Nawawi.
Dalil jumhur ulama adalah:
1. Hadits Al-Bara` bin ‘Azib dan Zaid bin Arqam g:
“Rasulullah n melarang jual beli emas dengan perak secara hutang.” (Muttafaqun ‘alaih)
2. Hadits Abu Bakrah z, dia berkata:
“Rasulullah n memerintahkan kami untuk membeli perak dengan emas
sekehen-dak kami dan membeli emas dengan perak sekehendak kami, bila
tangan dengan tangan (taqabudh/serah terima di tempat).” (Muttafaqun
‘alaih)
Dengan dasar di atas, maka tidak boleh jual-beli emas dengan perak
dengan sistem tempo bila alat bayarnya adalah mata uang. Begitu pula
tidak boleh jual-beli mata uang secara tempo bila alat bayarnya adalah
emas atau perak. Ini adalah fatwa para ulama kontemporer. Wallahul
muwaffiq.
Masalah 2: Apakah taqabudh harus segera ataukah boleh ada masa jeda?
Yang rajih dari pendapat para ulama adalah pendapat jumhur bahwa
taqabudh itu boleh tarakhi (ada masa jeda setelah akad), walaupun
sehari, dua hari, atau tiga hari, ataupun berpindah tempat, selama kedua
pihak masih belum berpisah. Dalilnya adalah sebagai berikut:
1. Disebutkan dalam Ash-Shahihain bahwa Malik bin Aus bin Hadatsan z
datang sambil berkata: “Siapa yang mau menukar dirham?” Maka Thalhah bin
Ubaidillah z berkata –dan ‘Umar z berada di sisinya–: “Tunjukkan
kepadaku emasmu, kemudian nanti engkau datang lagi setelah pembantuku
datang, lalu aku berikan perak kepadamu.” ‘Umar z pun menimpali: “Tidak
boleh. Demi Allah, engkau berikan perak kepadanya atau engkau kembalikan
emasnya.”
Dalam lafadz Al-Bukhari disebutkan: Thalhah pun mengambil emas tersebut,
lalu dia bolak-balikkan di telapak tangannya dan berkata: “Nanti hingga
pembantuku datang dari hutan.” ‘Umar lalu berkata: “Demi Allah, engkau
tidak boleh berpisah dengan-nya sampai engkau mengambil (perak dari
pembantumu).” ‘Umar kemudian menyebut-kan hadits:
“Emas dengan emas adalah riba, kecuali ha` (berikan) dengan ha` (ambil).”
2. Ucapan ‘Umar dengan sanad yang shahih: “Bila salah seorang dari
kalian melakukan ash-sharf dengan temannya, maka janganlah berpisah
dengannya hingga dia mengambilnya. Bila dia meminta tunggu hingga masuk
rumahnya, jangan beri dia masa tunggu tadi. Sebab saya khawatir engkau
terkena riba.”
Pendapat ini dirajihkan oleh Al-Imam Asy-Syaukani dalam An-Nail. Wallahu a’lam.
Yang dimaksud dengan majelis akad adalah tempat jual beli, baik keduanya
berjalan, berdiri, duduk atau dalam kendaraan. Sementara yang dimaksud
dengan berpisah di sini adalah pisah badan, dan hal itu kembali kepada
kebiasaan masyarakat setempat (‘urf).
Bila pihak money changer tidak punya sisa uang dan harus pergi ke tempat
lain, maka pihak penukar/pembeli wajib mengiringinya ke mana dia pergi
hingga terjadi taqabudh (serah terima) di tempat yang dituju dan
menyempurnakan sisa keku-rangannya. Wallahul muwaffiq.
Masalah 3: Bila sebagian uang telah diterima dan sisanya tertunda, apakah sah akad tukar-menukarnya/ akad ash-sharfnya?
Pendapat Al-Imam Malik, Al-Imam Asy-Syafi’i dan kalangan Azh-Zhahiriyyah
menyatakan: Bila sharf tidak dapat diserahterimakan seluruhnya, maka
akadpun harus batal seluruhnya.
Sementara Abu Hanifah dan dua muridnya, serta satu sisi pendapat yang
dikuatkan dalam madzhab Hanbali menyatakan: Yang sudah diterima akadnya
sah, sementara yang belum diterima, akadnya tidak sah.
Yang rajih insya Allah adalah pendapat kedua, dan ini yang dikuatkan
An-Nawawi serta Ar-Ruyani dari kalangan Syafi’iyyah. Sebab, hukum itu
berjalan bersama dengan ‘illat (sebab-sebabnya). Bila terpenuhi
persyaratan sahnya maka akadnya pun sah, wallahu a’lam. Pendapat ini
juga dirajihkan Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin t.
Masalah 4: Apakah ada khiyar dalam bab ash-sharf?
Adapun khiyar majlis, jum-hur ulama berpen-dapat bahwa khiyar majlis
dalam bab ash-sharf itu ada. Selama dalam majlis akad, kedua belah pihak
dapat menggagalkan akad hingga kedua-nya saling berpisah.
Mereka berhujjah dengan hadits Hakim bin Hizam z:
“Penjual dan pembeli (punya) khiyar selama keduanya belum berpisah.” (Muttafaqun ‘alaih)
Pendapat ini dirajihkan oleh Ibnu Qudamah Al-Maqdisi t.
Adapun tentang khiyar syarat, misalnya menukar dolar dengan rupiah lalu
sang penukar mengatakan: “Dengan syarat, saya punya hak khiyar selama
tiga hari. Bila tidak cocok maka saya kembalikan lagi,” maka jumhur
berpendapat bahwa bila dalam perkara yang dipersyaratkan adanya taqabudh
seperti bab ash-sharf, maka tidak boleh. Pendapat ini dikuatkan oleh
Ibnu Qudamah t.
Masalah ini perlu perincian:
1. Bila dia sudah melakukan akad jual-beli dengan sempurna lalu minta
syarat, maka lebih baik dia tinggalkan walaupun secara dalil tidak ada
yang melarang karena sudah ada taqabudh dalam akad.
2. Bila dia bawa barangnya terlebih dahulu sebelum terjadinya akad,
lalu bermusyawarah dengan keluarga atau yang lainnya, setelah itu dia
melakukan transaksi dengan taqabudh, maka tidak mengapa.
Ini adalah solusi terbaik yang disampaikan oleh Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin t. Wallahu a’lam.
Masalah 5: Akad ash-sharf via te-lepon dan yang semisalnya.
Masalah ini perlu perincian:
1. Bila yang dimaukan hanya memesan barang atau sema-cam janji untuk
membeli barang, tanpa akad yang sempurna, maka diper-bolehkan. Karena
‘pesan’ atau ‘janji’ tidaklah termasuk akad jual beli. Sang penjual
punya hak menjualnya kepada orang lain dan sang pembeli punya hak untuk
membatalkan ‘janji’ itu. Demikian pendapat Ibnu Hazm, Ibnu Rusyd, dan
fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah, dan inilah pendapat yang shahih. Sementara
Al-Imam Malik memakruhkannya.
2. Bila yang dimaksud adalah akad jual-beli secara sempurna, maka
hukumnya haram, sebab tidak ada unsur taqabudh. Dan ini merupakan riba
nasi`ah. Demikian fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah.
Masalah 6: Uang muka dalam bab ash-sharf.
Bila yang diinginkan dengan uang muka/downpayment (DP) adalah transaksi
secara sempurna maka hukumnya haram karena tidak ada unsur taqabudh.
Sedangkan bila yang diinginkan adalah amanah atau simpanan, lalu
penyerahan pembayaran total dilakukan pada saat akad serah terima
barang, maka hal ini tidak mengapa. Wallahu a’lam.
Masalah 7: Apakah disyaratkan adanya barang di tempat dalam bab ash-sharf?
Pendapat yang rajih adalah pendapat jumhur ulama yang menyatakan bahwa
diperbolehkan akad ash-sharf walaupun tidak ada barang di tempat, atau
barang dikirimkan setelah itu, atau dengan meminjam kepada orang lain,
dan kemudian diserahkan. Yang penting adalah adanya taqabudh dalam
majelis akad sebelum berpisah.
Hujjah mereka adalah bahwa yang dipersyaratkan dalam bab ash-sharf
adalah taqabudh, dan hal itu telah terjadi dalam transaksi di atas.
Wallahu a’lam.
Hiwalah Mashrafiyyah (Transfer Valas)
Gambarannya, seseorang datang ke money changer ingin mengirim sejumlah
uang ke Yaman –misalnya–. Masalah ini mempunyai dua keadaan:
1. Orang yang dikirimi menerima mata uang yang sama. Misalnya, dari
Indonesia mengirimkan uang 1000 dolar ke Yaman. Pihak penerima di Yaman
menerimanya dengan mata uang yang sama.
Para ulama memasukkan keadaan ini ke dalam salah satu masalah berikut:
a. Masalah hiwalah secara fiqih
b. Masalah ijarah (sewa jasa)
c. Sesuatu yang dahulu dikenal dengan istilah saftajah.
Keadaan ini diperbolehkan.
2. Pihak yang dikirimi menerima dalam bentuk mata uang yang berbeda.
Misalnya, dari Indonesia mengirim uang Rp. 10 juta ke Yaman. Sedangkan
pihak penerima di Yaman menerimanya dalam bentuk uang 900 dolar
(misalnya).
Masalah ini diperselisihkan oleh para ulama kontemporer:
q Sebagian mereka melarangnya, karena keadaan ini mengandung unsur
hiwalah dan ash-sharf, padahal dalam ash-sharf disyaratkan adanya
taqabudh. Sedangkan pada keadaan di atas tidak ada unsur taqabudh.
Ini adalah fatwa Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, dan dzahir fatwa
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin t. Ini juga fatwa Syaikhuna Yahya Al-Hajuri
hafizhahullah.
q Mayoritas ulama kontemporer berfatwa tentang kebolehannya, karena kebutuhan dan keadaan darurat.
Namun tidak diragukan lagi bahwa yang lebih selamat bagi agama seseorang
dan sebagai upaya menghindari pintu riba adalah dia tidak melakukan
transaksi seperti ini.
Para ulama memberikan beberapa solusi, di antaranya:
1. Mensyaratkan kepada pihak penyelenggara jasa transfer untuk
mengirimkan mata uang yang sama ke tempat yang dituju. Dan ini mungkin
dilakukan dengan cara memberikan uang jasa kepada mereka.
2. Menukar mata uangnya terlebih dahulu, baru dia kirim dengan mata uang yang diinginkan.
Misalnya seseorang mempunyai uang Rp. 10 juta hendak dikirim ke Arab
Saudi dalam bentuk real. Maka dia tukar terlebih dahulu uang rupiahnya
itu dengan real Saudi, baru dia minta pihak penyelenggara jasa (misal
Western Union) mengirimkannya dalam bentuk real Saudi. Bila dia telah
yakin akan sampai di Arab Saudi dalam bentuk real, namun ternyata sampai
dalam bentuk rupiah, maka tidak mengapa bagi penerima untuk mengambil
rupiah itu karena keadan darurat. Wallahu a’lam.
Masalah 8: Bagaimana bila sebuah mata uang tidak bisa keluar dari
negerinya karena larangan pemerintah setempat, atau karena tidak ada
nilainya di luar negeri?
Misalnya, seseorang mempunyai sejumlah uang real Saudi dan hendak
mengirimkannya ke Indonesia dalam bentuk rupiah. Dia ingin menukar real
Saudi dengan rupiah, namun karena rupiah jatuh, tidak ada satupun money
changer yang mau. Solusinya adalah:
1. Dia langsung mengirim dalam bentuk real Saudi ke Indonesia.
Penerima di Indonesia menerima real tersebut, kemudian ditukar dengan
rupiah di Indonesia.
2. Atau, bila real Saudi tidak bisa keluar, maka dia tukar real
dengan dolar –misalnya– lalu dia kirimkan dolar ke Indonesia. Penerima
di Indonesia meneri-manya dalam bentuk dolar, kemudian ditukar dengan
rupiah di Indonesia.
Wallahul muwaffiq.
Penggunaan Cek dalam Ash-Sharf
Dari permasalahan hiwalah mashra-fiyyah di atas, muncul masalah
kontemporer yang sangat masyhur, yaitu menggunakan kertas cek dalam bab
ash-sharf, baik dalam jual beli emas dan perak, maupun tukar-menukar
mata uang dengan cek.
Permasalahan ini dibahas oleh para ulama, khusus dalam hal cek resmi
yang diakui atau dikeluarkan oleh pihak bank. Adapun cek palsu atau yang
tidak diakui pihak bank, maka jelas larangannya.
Para ulama berbeda pandangan dalam masalah ini. Jumhur ulama berpendapat
bahwa dalam masalah ash-sharf atau yang dipersyaratkan adanya taqabudh,
tidak boleh ada hiwalah (kiriman barang dari satu pihak kepada pihak
kedua).
Dalam masalah cek, apakah sudah terjadi taqabudh (serah terima) yang hakiki ataukah tidak?
Sebagian ulama masa kini semisal Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin t
berpen-dapat bahwa muamalah jual beli emas dan perak atau mata uang
menggunakan cek adalah tidak boleh. Karena, cek bukanlah taqabudh
hakiki, melainkan hanya bukti hiwalah saja. Terbukti, bila cek tersebut
hilang, dia bisa minta lagi cek dengan nominal yang sama. Namun beliau
menge-cualikan cek yang resmi dari bank maka tidak mengapa, asalkan sang
penjual yang menerima cek dari pembeli langsung menghubungi bank dan
mengatakan: “Biarkan uang itu sebagai simpanan di situ.”
Ulama yang melarang beralasan dengan beberapa hal sebagai berikut:
1. Bila cek itu rusak atau hilang sebelum uang dengan nominal yang
tercan-tum itu diambil, maka sang pemegang cek akan kembali kepada yang
memberi cek. Bila cek tersebut adalah serah terima hakiki layaknya mata
uang, niscaya dia tidak akan kembali ketika hilang atau rusak.
2. Terkadang cek tersebut ditarik tanpa nominal (cek kosong), maka jelas tidak ada serah terima yang hakiki.
3. Terkadang pula orang yang menukar cek ditolak, sehingga juga tidak ada serah terima yang hakiki.
4. Cek tidak termasuk kertas alat bayar layaknya mata uang, namun hanya kertas yang berisikan nominal mata uang.
Sementara itu, mayoritas ulama dan fuqaha zaman ini serta para pakar
ekonomi berpendapat bahwa cek mengandung qabdh (serah terima) yang
sempurna lagi hakiki, sehingga dapat bertransaksi menggunakan cek dalam
bab ash-sharf. Alasan mereka adalah sebagai berikut:
1. Sesungguhnya dalam syariat disebutkan masalah qabdh (serah
terima), namun tidak ditentukan batasannya. Tidak pula diikat dengan
kriteria tertentu. Rujukan hukum-hukum yang bersifat umum seperti ini
adalah kebiasaan setempat. Sementara secara kebiasaan yang terjadi di
kalangan pebisnis, cek adalah serah terima yang sempurna terhadap apa
yang terkandung di dalamnya.
2. Cek yang resmi dan diakui tidaklah akan dikeluarkan kecuali
setelah diyakini adanya debet-kredit pemilik cek pada sebuah bank. Dan
ini yang dimaksud dengan hiwalah dalam fiqih Islami.
3. Keadaan darurat membuat cek tersebut dijadikan sebagai serah
terima yang hakiki. Kaidah ini ada dalam syariat, yaitu: “Keadaan
darurat membolehkan perkara yang haram”, “Kebutuhan yang umum memiliki
hukum darurat”, “Kesulitan mendatangkan kemudahan”, “Bila perkara-nya
menjadi sempit maka datanglah keluasan.” Kaidah-kaidah seperti ini
diambil dari kemudahan-kemudahan Islam yang tertuang dalam banyak dalil,
di antaranya:
“Sesungguhnya bersama kesusahan ada kemudahan.” (Al-Insyirah: 6)
Juga ayat:
“Allah menghendaki untuk kemudahan bagi kalian dan tidak menghendaki kesukaran bagi kalian.” (Al-Baqarah: 185)
4. Memudahkan perjalanan bisnis dan mengurangi resiko serta penjagaan
terhadap harta benda yang dapat memotivasi para pebisnis untuk
melangsungkan bisnisnya dan menunjukkan kemudahan-kemudahan Islam.
Pendapat ini adalah kesepakatan Majma’ Al-Fiqh Al-Islami pada Rabithah
‘Alam Islami, yang dipimpin oleh Asy-Syaikh Ibnu Baz. Juga pada fatwa
Al-Lajnah Ad-Da`imah yang diketuai Asy-Syaikh Ibnu Baz, yang
beranggotakan Asy-Syaikh Abdurrazzaq ‘Afifi, Asy-Syaikh Ibnu Qu’ud, dan
Asy-Syaikh Al-Ghudayyan. Mereka beralasan karena kebutuhan umum.
Bila menilik kepada dalil-dalil syar’i, maka yang rajih adalah pendapat
yang melarang. Namun dari sisi kebutuhan dan keadaan yang darurat maka
diperbolehkan. Oleh karena itu, hendaknya seorang muslim tidak
bermuamalah dengan cara ini kecuali dalam keadaan darurat saja. Wallahul
muwaffiq.
Jual-beli Valas (Valuta Asing)
Dari uraian-uraian di atas, kita dapat memahami hukum jual-beli valas secara syar’i dengan penjabaran sebagai berikut:
1. Bila jual-beli valas dari mata uang sejenis, misalnya dolar dengan dolar, maka disyaratkan adanya tamatsul dan taqabudh.
2. Bila dari jenis mata uang yang berbeda, misalnya rupiah dengan
dolar, atau dolar dengan poundsterling, hanya disyaratkan adanya
taqabudh.
Dengan dasar kaidah di atas, maka:
a. Tidak mengapa menanti naik-turunnya kurs sebuah mata uang yang
dikehendaki, bila terpenuhi persyaratannya secara syar’i di atas ketika
transaksi.
b. Tidak diperbolehkan transaksi via transfer ATM atau sejenisnya, sebab tidak terjadi taqabudh yang disyaratkan.
c. Tidak boleh terjadi pertaruhan berbau judi dalam jual beli valas.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Demikian penjelasan ringkas seputar masalah riba. Sebenarnya masih
banyak permasalahan yang perlu diangkat, namun karena keterbatasan
lembar majalah ini maka kami cukupkan sampai di sini. Selebihnya dapat
merujuk karya-karya para ulama dalam masalah ini. Semoga bermanfaat.
Wallahul muwaffiq.
Maraji’:
1. Syarhul Buyu’, hal. 124 dst
2. Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah, juz 13, 14 dan 15
3. Hasyiyah As-Sindi ‘ala Sunan An-Nasa`i
4. As-Sunnah karya Al-Marwazi
Catatan Kaki:
1 Namun jumhur ulama melarang adanya hiwalah dalam bab ash-sharf (pen).
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Afifuddin)(asysyariah)