Pertama:
Sinkretisme, mencampurkan antara Hindu, Budha dan Islam Aliran Kebatinan
atau Kejawen tidak menganggap salah ajaran Hindu dan Budha, bahkan
mereka mencampurnya dengan Islam hingga menjadi suatu ajaran tersendiri.
Adapun dalam Islam, barangsiapa yang membenarkan agama selain Islam,
berarti dia telah kafir kepada Allah Ta’ala dan mendustakan Al-Qur’an.
Allah Jalla wa ‘Ala berfirman: ﺇِﻥَّ ﺍﻟﺪِّﻳﻦَ ﻋِﻨْﺪَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ُﻡَﻼْﺳِﻹﺍ
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (Ali
‘Imran: 19) Juga firman Allah Tabaraka wa Ta’ala: ﻭَﻣَﻦْ ﻳَﺒْﺘَﻎِ ﻏَﻴْﺮَ
ﺍﻹِﺳْﻼَﻡِ ﺩِﻳﻨًﺎ ﻓَﻠَﻦْ ﻳُﻘْﺒَﻞَ ﻣِﻨْﻪُ ﻭَﻫُﻮَ ﻓِﻲ ﺍﻵﺧِﺮَﺓِ ﻣِﻦَ
َﻦﻳِﺮِﺳﺎَﺨْﻟﺍ “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka
sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya dan dia di
akhirat termasuk orang-orang yang merugi.” (Ali ‘Imran: 85)
Kedua: Mereka tidak meyakini Allah Ta’ala sebagai
satu-satunya sesembahan yang benar Padahal inilah inti dari kalimat
]syahadat [ﻻﺇﻟﻪ ﺇﻻﺍﻟﻠﻪ, yang terdapat padanya dua rukun. Pertama:
An-Nafyu (penafikan), yang tedapat dalam kalimat ][ﻻﺇﻟﻪ, maknanya adalah
menafikan atau menganggap salah semua sesembahan selain Allah Ta’ala.
Kedua: Al-Itsbat (penetapan) , yang terdapat dalam kalimat ][ﺇﻻﺍﻟﻠﻪ,
yaitu menetapkan atau meyakini bahwa hanya Allah Ta’ala satu- satunya
sesembahan yang benar. Sehingga makna kalimat [ﻻﺇﻟﻪ ]ﺇﻻﺍﻟﻠﻪ adalah,
“Tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah Ta’ala”. Makna ini
terdapat dalam banyak ayat, diantaranya firman Allah Ta’ala: ﺫَٰﻟِﻚَ
ﺑِﺄَﻥَّ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻫُﻮَ ﺍﻟْﺤَﻖُّ ﻭَﺃَﻥَّ ﻣَﺎ ﻳَﺪْﻋُﻮﻥَ ﻣِﻦ ﺩُﻭﻧِﻪِ ﻫُﻮَ
ﺍﻟْﺒَﺎﻃِﻞُ ﻭَﺃَﻥَّ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻫُﻮَ ﺍﻟْﻌَﻠِﻲُّ ُﺮﻴِﺒَﻜْﻟﺍ “Yang demikian itu
karena Allah Dialah yang haq (untuk disembah) dan apa saja yang mereka
sembah selain Allah maka itu adalah sembahan yang batil dan Allah Maha
Tinggi lagi Maha Besar.” (Al- Hajj: 62) Dan telah dimaklumi bersama
bahwa syahadat [ﻻﺇﻟﻪ ]ﺇﻻﺍﻟﻠﻪ adalah pintu masuk ke dalam Islam,
barangsiapa yang belum merealisasikannya berarti dia belum masuk ke
dalam Islam. Demikian pula orang yang telah memasukinya, jika dia
melanggarnya berarti dia telah keluar dari Islam.
Ketiga dan Keempat: Kesyirikan dalam rububiyyah dan
uluhiyyah Keyakinan mereka bahwa setan- setan Merapi dan Pantai Selatan,
seperti Kyai Sapu Jagat, Petruk dan Nyai Roro Kidul adalah pelindung-
pelindung mereka, yang bisa memberikan manfaat dan juga menimpakan
mudharat, adalah kesyirikan dalam rububiyyah. Mereka juga mendekatkan
diri (taqorrub) kepada setan-setan itu dengan berbagai upacara dan
mempersembahkan berbagai macam bentuk ibadah, maka ini adalah kesyirikan
dalam uluhiyyah, sebagaimana telah kami jelaskan secara singkat pada
artikel sebelumnya yang berjudul, Renungan Musibah Merapi.
Kelima: Tidak melaksanakan shalat Aliran Kebatinan
atau Kejawen tidak mementingkan masalah shalat lima waktu, bagi mereka
yang penting sudah eling maka itu cukup sebagai bentuk ibadah kepada
Allah Ta’ala. Ini adalah bentuk kekafiran kepada Allah Ta’ala,
sebagaimana ditegaskan oleh Nabi shallallahu’alaihi wa sallam: ﺇﻥ ﺑﻴﻦ
ﺍﻟﺮﺟﻞ ﻭﺑﻴﻦ ﺓﻼﺼﻟﺍ ﻙﺮﺗ ،ﺮﻔﻜﻟﺍﻭ ،ﻙﺮﺸﻟﺍ “Sesungguhnya (batas) antara
seseorang dengan kesyirikan dan kekafiran adalah meninggalkan sholat.”
(HR. Muslim dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu‘anhuma) Permasalahan
ini juga telah kami singgung dalam artikel yang berjudul, Keagungan
Sholat dalam Islam. Jika telah jelas bahwa ajaran Kejawen bukanlah
ajaran Islam dan penganutnya bukan muslim, maka wajib bagi setiap muslim
untuk berlepas diri (bara’) dari ajaran sesat ini dan penganutnya.
Yaitu meyakini bahwa ajaran Kejawen adalah kekafiran kepada Allah Ta’ala
dan menganggap bahwa penganutnya adalah orang-orang kafir. Barangsiapa
yang tidak mengkafirkan mereka atau malah membenarkan ajaran mereka atau
sekedar ragu dengan kekafiran mereka maka dia juga kafir seperti
mereka. Permasalahan ini telah kami bahas dalam ceramah yang berjudul,
(Pembatal-pembatal Keislaman/klik disini). Demikianlah
ulasan ringkas tentang kekafiran ajaran Kebatinan atau Kejawen yang
masih dianut oleh sebagian orang Jawa dan menganggapnya sebagai ajaran
Islam. Semoga bermanfaat bagi kaum muslimin. Wallahu A’lam
Sumber : metafisis.wordpress.com