Allah berfirman: ”Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyebah-Ku” (QS. Adz-Dzariyat [51]: 56).
Ayat tersebut memberi pengertian bahwa, satu-satunya tujuan diciptakan jin maupun manusia adalah beribadah kepada Allah. Ibadah yang dimaksud di sini adalah ibadah dalam pengertian yang seluas-luasnya. Coba bayangkan jika ibadah hanya di artikan sempit hanya semacam ritual shalat, sujud, rukuk, dzikir, doa dan seterusnya. Berapa jam dalam sehari kita melakukan ritual-ritual itu?? Adakah dalam 1×24 jam kita melakukan shalat,dzikir,doa,dan lainya terus menerus?? Kalau tidak lalu kemana sisa waktu selepas kita melakukan ritual itu, sedangkan Allah menciptakan kita hanya untuk ibadah kepadanya. Apakah kita gunakan untuk main-main, atau untuk apa??
Karena itulah, orang yang meginginkan keselamatan dari siksa neraka, dan menginginkan masuk ke dalam sorga, ia wajib memahami maknanya, macam-macamnhya, agar mereka dapat mentauhidkan ibadah, semuanya hanya untuk Allah. Karena ibadah itu adalah hak khusus Allah, itulah hak Allah atas hambaNya, yang jika hal itu dipalingkan kepada selain Allah adalah kemusyrikan.
Ibadah kadang-kadang berarti tanasuk dan ta’alluh, seperti sujud, ruku’ dan shalat. Do’a juga termasuk ke dalam ibadah. sebagaiman firmanNya ta’ala : “Berdo’alah kepadaKu, tentu akan Kukabulkan permohonan kalian, sesungguhnya orang-orang yang menolak beribadah kepadaKu, maka mereka akan masuk nereka Jahannam dalam keadaan hina” (Al Mukmin : 60)
Rosulullah bersabda:
الدُّعَاءُ مُخُّ الْعِبَادَةِ
“Doa adalah inti ibadah.”{HR.tirmidzi}
Dan juga termasuk ke dalam apa yang dinamakan do’a adalah istighatsah kepada makhluk yang tidak memiliki kemampuan apa-apa melainkan Allah semata. Itu termasuk ke dalam makna ibadah yang tak boleh dipersembahkan kepada selain Allah. Ketika hal ini dipalingkan kepada selain Allah itulah syirik lagi bathil.
Demikian juga dengan menyebelih, nadzar dan yang lainnya, semuanya adalah ibadah yang harus dipersembahkan kepada Allah semata, tidak boleh diberikan kepada yang lain. Allah ta’ala berfirman :“Katakanlah, Sesunggunya shalatku, sembelihanku, hidup dan matiku adalah bagi Allah Rabbul ‘alamin, tiada satu sekutupun bagiNya” (Al An’am : 162-163)
Taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah dengan cara bersedekah makanan adalah ibadah, sedangkan taqarrub kepada jin dan syaitan dengan sesajen adalah syirik lagi bathil. Allah berfirman tentang syiriknya orang-orang Arab dahulu : “Dan mereka menjadikan bagi Allah satu bahagian dari apa yang telah Allah ciptakan berupa tanaman dan binatang ternak. Mereka mengatakan sesuai dengan persangkaan mereka : “Ini bagi Allah dan ini bagi berhala-berhala kami” (Al An’am : 136)
Termasuk Wewenang (menentukan/membuat) hukum/undang-undang/aturan adalah ibadah yang merupakan hak khusus Allah. Hukum dan perundang-undangan adalah salah satu karakteristik uluhiyyah yang paling khusus, Penyandaran hukum kepada Allah adalah bentuk ibadah kepadaNya, sedangkan bila wewenang itu disandarkan kepada makhluk maka itu adalah syirik dan merupakan suatu bentuk ibadah kepada makhluk tersebut. Allah ta’ala berfirman : “(Hak) hukum itu tidak lain adalah milik Allah. Dia memerintahkan agar kalian tidak beribadah kecuali kepadaNya. Itulah dien yang lurus” (Yusuf : 40)
Dalam ayat ini Allah memerintahkan menusia agar tidak menyandarkan hukum kecuali kepada Allah, dan Allah namakan penyandaran hukum itu sebagai ibadah, sehingga apabila disandarkan kepada makhluk maka hal itu adalah perbuatan syirik, sebagaimana firmanNya :
“Dan janganlah kalian memakan dari (sembelihan) yang tidak disebutkan nama Allah padanya, sesungguhnya hal itu adalah fisq. Dan sesungguhnya syaitan mewahyukan kepada wali-walinya untuk mendebat kalian, dan bila kalian menta’ati mereka maka sungguh kalian ini adalah orang-orang musyrik” (Al An’am : 121)
Kita mengetahui dalam ajaran Islam bahwa sembelihan yang tidak memakai nama Allah adalah bangkai dan itu haram, sedangkan dalam ajaran kaum musyrikin adalah halal. Syaitan membisikan kepada wali-walinya, “Hai Muhammad, ada kambing mati dipagi hari, siapakan yang membunuhnya?” maka Rasulullah menjawab, “Allah yang telah mematikannya” Mereka berkata, “Kambing yang telah Allah sembelih (maksudnya bangkai) dengan tanganNya Yang Mulia kalian haramkan, sedangkan yang kalian sembelih dengan tangan-tangan kalian, kalian katakan halal, berarti sembelihan kalian lebih baik daripada sembelihan Allah” (HR. Hakim)
Ucapan tersebut adalah wahyu syaitan untuk mendebat kaum muslimin agar setuju dengan aturan yang menyelisihi aturan Allah, dan agar setuju dengan penyandaran hukum kepada mereka, maka Allah tegaskan, bahwa apabila mereka (kaum muslimin) setuju dengan hal itu berarti mereka telah musyrik.
Dalam ayat lain Allah ta’ala berfirman : “Mereka (orang-orang Nashrani) telah telah menjadikan para Harb (ahli ilmu/ulama) dan para Rahib (ahli ibadah) sebagai Arbaab (tuhan-tuhan) selain Allah. Juga Al Masih putera Maryam, padahal mereka tidak diperintahkan kecuali untuk beribadah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tidak ada Tuhan Yang Haq kecuali Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan” (At Taubah : 31)
Didalam atsar yang hasan dari Ady Ibnu Hatim (dia asalnya Nashrani kemudian masuk Islam) RasulullahShalallahu ‘alaihi wassalam membacakan ayat itu dihadapan Ady Ibnu Hatim, maka dia berkata : “Wahai Rasulullah, kami dahulu tidak pernah ibadah dan sujud kepada mereka (ahli ilmu dan para rahib)” maka Rasulullah berkata, “Bukankah mereka itu menghalalkan apa yang telah Allah haramkan dan kalian ikut-ikutan menghalalkannya? Bukankah mereka mengharamkan apa yang telah Allah halalkan lalu kalian ikut-ikutan mengharamkannya?” lalu Addiy Ibnu Hatim berkata, “Ya, betul” lalu Rasulullah berkata lagi, “Itulah bentuk peribadatan orang-orang Nashrani kepada mereka itu” (HR. At Tirmidzi)
Karena itulah, sesungguhnya ketaatan kepada ulama’, pemimpin, atau pemerintah, dalam masalah mengharamkan apa-apa yang dihalalkan oleh Allah, atau menghalalkan apa-apa yang diharamkan oleh Allah di dalam fatwa-fatwanya, atau dalam perundang-undangan yang dibuatnya untuk mengatur manusia, maka itu berarti mengangkat mereka sebagai tuhan-tuhan (rabb) selain dari Allah. Dan dengan begitu menjadikan seseorang sebagai musyrik. Jadi orang Nashrani divonis musyrik karena mereka setuju dengan penyandaran hukum kepada ahli ilmu dan para rahib, meskipun itu menyelisihi aturan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Maka waspadalah terhadap persoalan-persoalan seperti itu dengan sebaik-baiknya, semoga Allah memberi rahmat kepada kita. Sebab banyak umat manusia saat ini hancur karena persoalan seperti ini.
Wallahu A’lam bishawab