Diriwayatkan dari Jabr bin Abdillah ra dari Nabi saw sesungguhnya beliau bersabda kepada Ka'ab bin Ajrah, "Semoga Alah menjauhkan kamu dari pemimpin yang bodoh."
Ka'ab bertanya, "Siapakah pemimpin yang tolol/bodoh itu, ya Rasulullah?" Rasulullah menjawab: "Yaitu para pemimpin sesudahku yang tidak mau memberi petunjuk seperti petunjukku, tidak pula mau menerapkan syariat (peraturan, undang-undang) seperti ajaranku. Barangsiapa membenarkan perilaku pemimpin tersebut dengan segala kebohongannya dan membantu segala perilaku zhalimnya, maka mereka bukan termasuk ummatku dan aku terbebas dari mereka. Mereka tidak akan pernah mencicipi telagaku (di surga). Sebaliknya, barangsiapa tidak membenarkan segala kebohongan yang diperbuat pemimpin tersebut dan tidak pula membantu perilaku zhalimnya, maka mereka termasuk ummatku dan akupun meridhainya. Mereka akan minum air telagaku (di surga)".
"Ya Ka'ab, puasa itu pemisah api neraka, shadaqah adalah penghapus dosa, dan shalat itu adalah petunjuk."
"Wahai Ka'ab bin Ajrah, manusia itu terbagi dua golongan. Golongan pertama adalah mereka yang menjual dirinya (ke jalan Allah) maka ia akan selamat dari amuk api neraka. Sedang golongan kedua adalah mereka yang menjual dirinya (kepada hawa nafsu) maka nerakalah tempat tinggal mereka." (HR Ahmad)
Bodoh karena buta syariat agama
Pertanyaan Ka'ab tentu saja sama dengan pertanyaan kita, siapakah pemimpin yang bodoh itu? Dengan tegas Rasulullah menyampaikan bahwa pemimpin yang bodoh adalah mereka yang tidak menggunakan petunjuk dan aturan sebagaimana petunjuk dan aturan yang dipraktekkan Rasulullah(Al-Qur'an dan Hadist). Tegasnya, semua pemimpin yang tidak menerapkan syariat Islam dalam praktek kepemimpinannya, maka mereka termasuk pemimpin yang bodoh.
Ukuran yang dipakai Rasulullah cukup sederhana sehingga memungkinkan siapapun melakukan klarifikasi, apakah pemimpinnya termasuk jahil atau tidak. Sehebat apapun kepemimpinan seseorang jika ia tidak menerapkan syariat Islam, maka pemimpin tersebut di hadapan Allah dan Rasul-Nya tetap dinilai jahil alias bodoh.
Kebodohan dalam terminologi kepemimpinan Islam itu tidak bisa dilepaskan dari aspek ideologis. Artinya, seseorang yang secara ideologis menolak Islam dan syariatnya, maka ia termasuk jahil. Ketika memimpin, maka ia menjadi pemimpin yang jahil. Ketika penolakan itu dilakukan oleh suatu masyarakat, maka masyarakat itu disebut jahiliyah. Masyarakat Quraisy disebut jahiliyah bukan semata-mata karena kebodohan (intelektual)-nya, tapi justru karena mereka menolak syariat yang dibawa Rasulullah.
Dalam Islam, aturan, hukum, dan undang-undang yang tidak mengikut pada Islam adalah jahiliyah. Karena semua produk hukum yang meninggalkan syariat disebut jahiliyah, maka selayaknya jika ditinggalkan. Para pemimpinnya dijauhi agar menjadi jelas yang haq adalah haq, sedangkan yang bathil adalah bathil.
Tentang hal ini Allah menegaskan:
"Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, padahal (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?" (QS. al-Ma-idah: 50)
Sikap kaum muslimin sangat jelas dalam hal kepemimpinan. Baik kepemimpinan bangsa maupun kepemimpinan organisasi, termasuk kepemimpinan partai politik. Jika kepemimpinan itu menolak syariat Islam, maka tidak ada hubungan apa-apa dengan kita. Artinya, kita tidak mengakui kepemimpinannya, tidak membenarkan perintahnya, juga tidak memberikan partisipasi apapun bentuknya.
Sebaliknya, jika suatu kepemimpinan itu menerima syariat atau setidak-tidaknya mendesakkan diberlakukannya syariat Islam dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, maka siapapun orangnya, dari manapun asal-usulnya, harus dibantu dan didukung. Taat kepadanya merupakan kewajiban agama...
Semoga Allah SWT Melindungi kita semua dari kejahilan dan kejahatan para pemimpin bodoh yang tidak mau tunduk atau mendaulahkan Syariat-Islam di Bumi Allah SWT(negara) dimana dia berkuasa atau memerintah ,Aamiin !!!
Sumber : taraknama.tblog.com