Berbekal pengetahuan tentang Islam yang tipis, tak sedikit kalangan
yang dengan lancangnya menghakimi agama ini, untuk kemudian menelorkan
kesimpulan-kesimpulan tak berdasar yang menyudutkan Islam. Salah
satunya, Islam dianggap merendahkan wanita atau dalam ungkapan sekarang
‘bias jender’. Benarkah?
Sudah kita maklumi keberadaan wanita dalam Islam demikian dimuliakan,
terlalu banyak bukti yang menunjukkan kenyataan ini. Sampai-sampai ada
satu surah dalam Al-Qur`anul Karim dinamakan surah An-Nisa`, artinya
wanita-wanita, karena hukum-hukum yang berkaitan dengan wanita lebih
banyak disebutkan dalam surah ini daripada dalam surah yang lain.
(Mahasinut Ta`wil, 3/6)
Untuk lebih jelasnya kita lihat beberapa ayat dalam surah An-Nisa` yang berbicara tentang wanita.
1.
Wanita diciptakan dari tulang rusuk laki-laki.
Surah An-Nisa` dibuka dengan ayat:
“Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Rabb kalian yang telah
menciptakan kalian dari jiwa yang satu dan dari jiwa yang satu itu Dia
menciptakan pasangannya, dan dari keduanya Dia memperkembangbiakkan
laki-laki dan perempuan yang banyak.” (An-Nisa`: 1)
Ayat ini merupakan bagian dari khutbatul hajah yang dijadikan oleh
Rasulullah n sebagai pembuka khutbah-khutbah beliau. Dalam ayat ini
dinyatakan bahwa dari jiwa yang satu, Allah k menciptakan pasangannya.
Qatadah dan Mujahid rahimahumallah mengatakan bahwa yang dimaksud jiwa
yang satu adalah Nabi Adam q. Sedangkan pasangannya adalah Hawa. Qatadah
mengatakan Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. (Tafsir Ath-Thabari,
3/565, 566)
Dalam hadits shahih disebutkan:
إِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلْعٍ، وَِإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي
الضِّلْعِ أَعْلاَهُ، فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيْمُهُ كَسَرْتَهَا، وَإِنِ
اسْتَمْتَعْتَ بِهَا اسْتَمْتَعْتَ وَفِيْهَا عِوَجٌ
“Sesungguhnya wanita diciptakan dari tulang rusuk. Dan sungguh bagian
yang paling bengkok dari tulang rusuk adalah yang paling atasnya. Bila
engkau ingin meluruskannya, engkau akan mematahkannya. Dan jika engkau
ingin bersenang-senang dengannya, engkau bisa bersenang-senang namun
padanya ada kebengkokan.” (HR. Al-Bukhari no. 3331 dan Muslim no. 3632)
Al-Imam An-Nawawi t berkata, “Dalam hadits ini ada dalil dari ucapan
fuqaha atau sebagian mereka bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk
Adam. Allah k berfirman: dan Nabi n menerangkan bahwa wanita diciptakan
dari tulang rusuk. Hadits ini menunjukkan keharusan berlaku lembut
kepada wanita, bersikap baik terhadap mereka, bersabar atas kebengkokan
akhlak dan lemahnya akal mereka. Di samping juga menunjukkan dibencinya
mentalak mereka tanpa sebab dan juga tidak bisa seseorang berambisi agar
si wanita terus lurus. Wallahu a’lam.”(Al-Minhaj, 9/299)
2.
Dijaganya hak perempuan yatim.
Allah k berfirman:
“Dan jika kalian khawatir tidak akan dapat berlaku adil terhadap
hak-hak perempuan yatim (bilamana kalian menikahinya), maka nikahilah
wanita-wanita lain yang kalian senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian
jika kalian khawatir tidak dapat berlaku adil maka nikahilah seorang
wanita saja atau budak-budak perempuan yang kalian miliki. Yang demikian
itu lebih dekat untuk kalian tidak berlaku aniaya.” (An-Nisa`: 3)
Urwah bin Az-Zubair pernah bertanya kepada Aisyah x tentang firman
Allah k: maka Aisyah menjawab, “Wahai anak saudariku1. Perempuan yatim
tersebut berada dalam asuhan walinya yang turut berserikat dalam harta
walinya, dan si wali ini ternyata tertarik dengan kecantikan si yatim
berikut hartanya. Maka si wali ingin menikahinya tanpa berlaku adil
dalam pemberian maharnya sebagaimana mahar yang diberikannya kepada
wanita lain yang ingin dinikahinya. Para wali pun dilarang menikahi
perempuan-perempuan yatim terkecuali bila mereka mau berlaku adil
terhadap perempuan-perempuan yatim serta memberinya mahar yang sesuai
dengan yang biasa diberikan kepada wanita lain. Para wali kemudian
diperintah untuk menikahi wanita-wanita lain yang mereka senangi.” Urwah
berkata, “Aisyah menyatakan, ‘Setelah turunnya ayat ini, orang-orang
meminta fatwa kepada Rasulullah n tentang perkara wanita, maka Allah l
menurunkan ayat:
“Dan mereka meminta fatwa kepadamu tentang wanita.” (An-Nisa`: 127)
Aisyah x berkata, “Dan firman Allah l dalam ayat yang lain:
“Sementara kalian ingin menikahi mereka (perempuan yatim).” (An-Nisa`: 127)
Salah seorang dari kalian (yang menjadi wali/pengasuh perempuan
yatim) tidak suka menikahi perempuan yatim tersebut karena si perempuan
tidak cantik dan hartanya sedikit. Maka mereka (para wali) dilarang
menikahi perempuan-perempuan yatim yang mereka sukai harta dan
kecantikannya kecuali bila mereka mau berbuat adil (dalam masalah mahar,
pent.). Karena keadaan jadi terbalik bila si yatim sedikit hartanya dan
tidak cantik, walinya enggan/tidak ingin menikahinya.” (Diriwayatkan
oleh Al-Bukhari no. 4574 dan Muslim no. 7444)
Masih dalam hadits Aisyah x tentang firman Allah k:
Dan mereka meminta fatwa kepadamu tentang wanita. Katakanlah, “Allah
memberi fatwa kepada kalian tentang mereka dan apa yang dibacakan kepada
kalian dalam Al-Qur`an tentang para wanita yatim yang kalian tidak
memberi mereka apa yang ditetapkan untuk mereka sementara kalian ingin
menikahi mereka.” (An-Nisa`: 127)
Aisyah x berkata:
أُنْزِلَتْ فِي الْيَتِيْمَةِ، تَكُوْنُ عِنْدَ الرَّجُلِ فَتَشْرِكُهُ
فِي مَالِهِ، فَيَرْغَبُ عَنْهَا أَنْ يَتَزَوَّجَهَا وَيَكْرَهُ أَنْ
يُزَوِّجَهَا غَيْرَهُ، فَيَشْرَكُهُ فِي ماَلِهِ، فَيَعْضِلُهَا، فَلاَ
يَتَزَوَّجُهَا وَيُزَوِّجُهَا غَيْرَهُ.
“Ayat ini turun tentang perempuan yatim yang berada dalam perwalian
seorang lelaki, di mana si yatim turut berserikat dalam harta walinya.
Si wali ini tidak suka menikahi si yatim dan juga tidak suka
menikahkannya dengan lelaki yang lain, hingga suami si yatim kelak ikut
berserikat dalam hartanya. Pada akhirnya, si wali menahan si yatim untuk
menikah, ia tidak mau menikahinya dan enggan pula menikahkannya dengan
lelaki selainnya.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 5131 dan Muslim no.
7447)
3.
Cukup menikahi seorang wanita saja bila khawatir tidak dapat berlaku adil secara lahiriah.
Allah k berfirman:
“Kemudian jika kalian khawatir tidak dapat berlaku adil maka
nikahilah seorang wanita saja atau budak-budak perempuan yang kalian
miliki.” (An-Nisa`: 3)
Yang dimaksud dengan adil di sini adalah dalam perkara lahiriah
seperti adil dalam pemberian nafkah, tempat tinggal, dan giliran. Adapun
dalam perkara batin seperti rasa cinta dan kecenderungan hati tidaklah
dituntut untuk adil, karena hal ini di luar kesanggupan seorang hamba.
Dalam Al-Qur`anul Karim dinyatakan:
“Dan kalian sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara
istri-istri kalian, walaupun kalian sangat ingin berbuat demikian.
Karena itu janganlah kalian terlalu cenderung kepada istri yang kalian
cintai sehingga kalian biarkan yang lain telantar.” (An-Nisa`: 129)
Al-Hafizh Ibnu Katsir t mengatakan ketika menafsirkan ayat di atas,
“Maksudnya, kalian wahai manusia, tidak akan mampu berlaku sama di
antara istri-istri kalian dari segala sisi. Karena walaupun bisa terjadi
pembagian giliran malam per malam, namun mesti ada perbedaan dalam hal
cinta, syahwat, dan jima’. Sebagaimana hal ini dikatakan oleh Ibnu
‘Abbas c, ‘Abidah As-Salmani, Mujahid, Al-Hasan Al-Bashri, dan
Adh-Dhahhak bin Muzahim rahimahumullah.”
Setelah menyebutkan sejumlah kalimat, Ibnu Katsir t melanjutkan pada
tafsir ayat: maksudnya apabila kalian cenderung kepada salah seorang
dari istri kalian, janganlah kalian berlebih-lebihan dengan cenderung
secara total padanya, ﭿ ﮀ “sehingga kalian biarkan yang lain telantar.”
Maksudnya istri yang lain menjadi terkatung-katung. Kata Ibnu ‘Abbas,
Mujahid, Sa’id bin Jubair, Al-Hasan, Adh Dhahhak, Ar-Rabi` bin Anas,
As-Suddi, dan Muqatil bin Hayyan, “Makna seperti tidak punya suami dan
tidak pula ditalak.” (Tafsir Al-Qur`anil Azhim, 2/317)
Bila seorang lelaki khawatir tidak dapat berlaku adil dalam
berpoligami, maka dituntunkan kepadanya untuk hanya menikahi satu
wanita. Dan ini termasuk pemuliaan pada wanita di mana pemenuhan haknya
dan keadilan suami terhadapnya diperhatikan oleh Islam.
4.
Hak memperoleh mahar dalam pernikahan.
Allah k berfirman:
“Berikanlah mahar kepada wanita-wanita yang kalian nikahi sebagai
pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada
kalian sebagian dari mahar tersebut dengan senang hati maka makanlah
(ambillah) pemberian itu sebagai makanan yang sedap lagi baik
akibatnya.” (An-Nisa`: 4)
5.
Wanita diberikan bagian dari harta warisan.
Allah k berfirman:
“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ayah-ibu dan
kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian dari harta peninggalan
ayah-ibu dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang
telah ditetapkan.” (An-Nisa`: 7)
Sementara di zaman jahiliah, yang mendapatkan warisan hanya lelaki,
sementara wanita tidak mendapatkan bagian. Malah wanita teranggap bagian
dari barang yang diwarisi, sebagaimana dalam ayat:
“Wahai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kalian mewarisi wanita dengan jalan paksa.” (An-Nisa`: 19)
Ibnu ‘Abbas c menyebutkan, “Dulunya bila seorang lelaki di kalangan
mereka meninggal, maka para ahli warisnya berhak mewarisi istrinya. Jika
sebagian ahli waris itu mau, ia nikahi wanita tersebut dan kalau mereka
mau, mereka nikahkan dengan lelaki lain. Kalau mau juga, mereka tidak
menikahkannya dengan siapa pun dan mereka lebih berhak terhadap si
wanita daripada keluarga wanita itu sendiri. Maka turunlah ayat ini
dalam permasalahan tersebut.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam
Shahih-nya no. 4579)
Maksud dari ayat ini, kata Al-Imam Al-Qurthubi t, adalah untuk
menghilangkan apa yang dulunya biasa dilakukan orang-orang jahiliah dari
mereka dan agar wanita tidak dijadikan seperti harta yang diwariskan
sebagaimana diwarisinya harta benda. (Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an, 5/63)
Bila ada yang mempermasalahkan, kenapa wanita hanya mendapatkan separuh dari bagian laki-laki seperti tersebut dalam ayat:
“Allah mewasiatkan kepada kalian tentang pembagian warisan untuk
anak-anak kalian, yaitu bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian
dua orang anak perempuan….” (An-Nisa`: 11)
Maka dijawab, inilah keadilan yang sesungguhnya. Laki-laki
mendapatkan bagian yang lebih besar daripada wanita karena laki-laki
butuh bekal yang lebih guna memberikan nafkah kepada orang yang di bawah
tanggungannya. Laki-laki banyak mendapatkan beban. Ia yang memberikan
mahar dalam pernikahan dan ia yang harus mencari
penghidupan/penghasilan, sehingga pantas sekali bila ia mendapatkan dua
kali lipat daripada bagian wanita. (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, 2/160)
6.
Suami diperintah untuk berlaku baik pada istrinya.
Allah k berfirman:
“Dan bergaullah kalian (para suami) dengan mereka (para istri) secara patut.” (An-Nisa`: 19)
Al-Hafizh Ibnu Katsir t ketika menafsirkan ayat di atas menyatakan:
“Yakni perindah ucapan kalian terhadap mereka (para istri) dan perbagus
perbuatan serta penampilan kalian sesuai kemampuan. Sebagaimana engkau
menyukai bila ia (istri) berbuat demikian, maka engkau (semestinya) juga
berbuat yang sama. Allah k berfirman dalam hal ini:
“Dan para istri memiliki hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.” (Al-Baqarah: 228)
Rasulullah n sendiri telah bersabda:
خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ، وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِيْ
“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarga
(istri)nya. Dan aku adalah orang yang paling baik di antara kalian
terhadap keluarga (istri)ku.”2 (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, 2/173)
7.
Suami tidak boleh membenci istrinya dan tetap harus berlaku baik terhadap istrinya walaupun dalam keadaan tidak menyukainya.
Allah k berfirman:
“Kemudian bila kalian tidak menyukai mereka maka bersabarlah karena
mungkin kalian tidak menyukai sesuatu padahal Allah menjadikan padanya
kebaikan yang banyak.” (An-Nisa`: 19)
Dalam tafsir Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an (5/65), Al-Imam Al-Qurthubi t
berkata: “Firman Allah l: ﯥ ﯦ (“Kemudian bila kalian tidak menyukai
mereka”), dikarenakan parasnya yang buruk atau perangainya yang jelek,
bukan karena si istri berbuat keji dan nusyuz, maka disenangi
(dianjurkan) (bagi si suami) untuk bersabar menanggung kekurangan
tersebut. Mudah-mudahan hal itu mendatangkan rizki berupa anak-anak yang
shalih yang diperoleh dari istri tersebut.”
Al-Hafizh Ibnu Katsir t berkata: “Yakni mudah-mudahan kesabaran
kalian dengan tetap menahan mereka (para istri dalam ikatan pernikahan),
sementara kalian tidak menyukai mereka, akan menjadi kebaikan yang
banyak bagi kalian di dunia dan di akhirat. Sebagaimana perkataan Ibnu
‘Abbas c tentang ayat ini: ‘Si suami mengasihani (menaruh iba) istri
(yang tidak disukainya) hingga Allah l berikan rizki kepadanya berupa
anak dari istri tersebut dan pada anak itu ada kebaikan yang banyak’.”
(Tafsir Ibnu Katsir, 2/173)
Dalam hadits Abu Hurairah z disebutkan bahwa Rasulullah n bersabda:
لاَ يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ
“Janganlah seorang mukmin membenci seorang mukminah, jika ia tidak
suka satu tabiat/perangainya maka (bisa jadi) ia ridha (senang) dengan
tabiat/perangainya yang lain.” (HR. Muslim no. 1469)
Al-Imam An-Nawawi t berkata: “Hadits ini menunjukkan larangan (untuk
membenci), yakni sepantasnya seorang suami tidak membenci istrinya.
Karena bila ia menemukan pada istrinya satu perangai yang tidak ia
sukai, namun di sisi lain ia bisa dapatkan perangai yang disenanginya
pada si istri. Misalnya istrinya tidak baik perilakunya, tetapi ia
seorang yang beragama, atau berparas cantik, atau menjaga kehormatan
diri, atau bersikap lemah lembut dan halus padanya, atau yang semisalnya.” (Al-Minhaj, 10/58)
8.
Bila seorang suami bercerai dengan istrinya, ia tidak boleh meminta kembali mahar yang pernah diberikannya.
Allah k berfirman:
“Dan jika kalian ingin mengganti istri kalian dengan istri yang lain
sedang kalian telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta
yang banyak, maka janganlah kalian mengambil kembali sedikitpun dari
harta tersebut. Apakah kalian akan mengambilnya kembali dengan jalan
tuduhan yang dusta dan dengan menanggung dosa yang nyata? Bagaimana kamu
akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul
(bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka
(isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.”
(An-Nisa`: 20-21)
9.
Termasuk pemuliaan terhadap wanita adalah diharamkan bagi mahram
si wanita karena nasab ataupun karena penyusuan untuk menikahinya.
Allah k berfirman:
“Diharamkan atas kalian menikahi ibu-ibu kalian, putri-putri kalian,
saudara-saudara perempuan kalian, ‘ammah kalian (bibi/ saudara perempuan
ayah), khalah kalian (bibi/ saudara perempuan ibu), putri-putri dari
saudara laki-laki kalian (keponakan perempuan), putri-putri dari saudara
perempuan kalian, ibu-ibu susu kalian, saudara-saudara perempuan kalian
sepersusuan, ibu mertua kalian, putri-putri dari istri kalian yang
berada dalam pemeliharaan kalian dari istri yang telah kalian campuri.
Tetapi jika kalian belum mencampuri istri tersebut (dan sudah berpisah
dengan kalian) maka tidak berdosa kalian menikahi putrinya. Diharamkan
pula bagi kalian menikahi istri-istri anak kandung kalian (menantu)…”
(An-Nisa`: 23)
Diharamkannya wanita-wanita yang disebutkan dalam ayat di atas untuk
dinikahi oleh lelaki yang merupakan mahramnya, tentu memiliki hikmah
yang agung, tujuan yang tinggi yang sesuai dengan fithrah insaniah.
(Takrimul Mar`ah fil Islam, Asy-Syaikh Muhammad Jamil Zainu, hal. 16)
Di akhir ayat di atas, Allah k berfirman:
“(Diharamkan atas kalian) menghimpunkan dalam pernikahan dua wanita
yang bersaudara, kecuali apa yang telah terjadi di masa lampau.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (An-Nisa`: 23)
Ayat di atas menetapkan bahwa seorang lelaki tidak boleh mengumpulkan
dua wanita yang bersaudara dalam ikatan pernikahan karena hal ini jelas
akan mengakibatkan permusuhan dan pecahnya hubungan di antara keduanya.
(Takrimul Mar`ah fil Islam, Muhammad Jamil Zainu, hal. 16)
Demikian beberapa ayat dalam surah An-Nisa` yang menyinggung tentang
wanita. Apa yang kami sebutkan di atas bukanlah membatasi, namun karena
tidak cukupnya ruang, sementara hanya demikian yang dapat kami
persembahkan untuk pembaca yang mulia. Allah l-lah yang memberi taufik.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah)