Artikel yang akan anda baca ini, adalah artikel ringan dengan bahasa yang sederhana. So keep being istiqomah untuk membacanya sampai titik akhir kalimat. Dalam artikel ini, saya hanya ingin sedikit berbagi menganai satu “cara pandang” yang selama ini kita anggap biasa namun sebenarnya cara pandang itu terbalik. Karena “keterbalikannya” itulah akhirnya kita kurang tepat dalam bertindak dan mengambil kesimpulan. Apakah “cara pandang” itu?, yaitu: “CARA PANDANG KITA TERHADAP KAUM NON-MUSLIM”. Cara pandang terhadap non-muslim ini sebenarnya ada dua, dan kedua-duanya mempunyai porsi yang berbeda. Pertama, dalam dimensi sosial dan kedua dalam dimensi keyakinan (Akidah). Mari kita bahas satu persatu secara singkat:
Pertama: dalam dimensi sosial kita, sudah sangat faham bahwa Islam membolehkan kita untuk berniaga dengan non muslim, boleh menolongnya saat ia memerlukan, boleh memberi hadiah dan menerima hadiah selama hadiah itu halal menurut Islam, kita boleh belajar satu bidang ilmu (non religious) darinya dan begitu juga sebaliknya. Dalam hal ini tanpa kita tahu ayatnya pun kita sudah faham dan mau menerima “konsep interaksi sosial” ini. Tapi disini saya tetap merasa penting untuk menyampaikan satu ayat yang menyatakan “konsep interaksi sosial” ini, agar kita faham bahwa ini bukan hanya ide-idean atau perasan-perasaan manusia, tapi Allah juga sudah memberikan ruangnya. Mari kita lihat ruang yang Allah berikan dalam hal ini:
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang kafir yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusirmu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”. (QS. Al-Mumtahana: 8)
Sekarang mari kita lihat satu contoh bagaimana Rasulullah mempraktekkan hal ini:
Rasulullah menerima dan bahkan menjaga segala barang-barang yang dititipkan penduduk Makkah kepadanya. Perhatikan budi baik Rasulullah dalam dimensi sosial ini, walaupun seseorang saat itu tidak mengimani risalah-nya, tapi Rasulullah tetap menerima titipannya. Kemudian, Ketika Rasul berhijrah meinggalkan Makkah, beliau meminta Ali radhiyallahu ‘anhu untuk menggantikan posisinya di Makkah agar mengembalikan barang-barang yang dititipkan kepada Rasulullah s.a.w. (Lih. Hadits Riwayat Baihaqi no 12476, Bab menjaga amanah)
Dalam sejarah juga disebutkan bahwa Rasulullah memiliki beberapa orang yang membantunya untuk keperluannya sehari hari atau menemaninya dalam perjalanan, diantaranya adalah Anas bin Malik, Abdullah bin Mas’ud dan ‘Uqbah bin Amir[1]. Perhatikan disini, ternyata Rasulullah juga memiliki pembantu yang beragama yahudi. Pembantu Rasulullah yang beragama yahudi ini disebutkan dalam hadits riwayat Bukhari no. 1356. Kisahnya, ketika si pembantu yahudi ini sakit Rasulullah s.a.w. menjenguknya. Renungkan dua prihal ini, beliau pernah mengangkat pembantu seorang pemuda dari agama yahudi dan beliau menjenguk pembantu yahudi tadi yang notabene non-muslim ketika ia sakit.
Ketika ada jazanah Yahudi yang melintas di depan Rasulullah, beliau berdiri. Sahabat bertanya: “Jenazah itu adalah yahudi wahai Rasulullah”. Kemudian Rasulullah bersabda: “bukankah jenazah itu juga jiwa manusia”. (HR. Bukhari, no. 1312).
Jadi jelas ya wahai pembaca budiman, bahwa dalam interaksi sosial Islam sangat menjaga kerukunan dan tolong menolong. Perlu diingat juga pada contoh nomor tiga, Rasulullah s.a.w. hanya berdiri sebagai tanda etika interaksi sosial. Ya hanya berdiri, dan Rasul tidak ikut mengiringinya atau menguburkannya. Karena ritual mengiringi jenazah dan menguburkannya sudah bukan lagi masuk dimensi sosial, akan tetapi masuk kepada ritual keagamaan (keyakinan).
Kedua, dalam dimensi keyakinan, disinilah terjadi keterbalikan “cara pandang” itu. Mayoritas kita masih mengira bahwa memberikan selamat kepada non muslim atas keyakinan yang diaykininya adalah hal biasa. Padahal bukan itu seharusnya yang kita lakukan dalam dimensi keyakinan ini. Kenapa? Karena saat kita memberikan selamat atas keyakinannya, artinya tidak ada lagi dalam hati kita niat untuk menyelamatkan dia dari kesengsaraan abadi, atau dalam kata lain, kita telah mendukung dia untuk memasuki neraka Allah. Kita yakin bukan bahwa setiap non muslim yang meninggal tempatnya adalah neraka? It is surely confirmed bahwa neraka adalah tempatnya. Mari kita lihat guidance yang Allah berikan kepada kita:
Sesungguhnya orang-orang yang kafir (tidak beriman) kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan bermaksud membedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan: “Kami beriman kepada yang sebahagian dan kami kafir terhadap sebahagian (yang lain)”, serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir) (150). Merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu siksaan yang menghinakan (neraka) (151). Adapun orang-orang yang beriman kepada Allah dan para rasul-Nya dan tidak membeda-bedakan seorangpun di antara para rasul, kelak Allah akan memberikan kepada mereka pahala. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(152). (QS. An-Nisa: 150-152)
Ayat di atas adalah konsep ilahi, siapa yang beriman maka syurga dan siapa yang kufur maka neraka, it is net price, unnegotiable.! Sebagai muslim yang yakin akan Al-Quran, kita harus memegang erat konsep ilahi di atas, sehingga kita dapat menyadari bahwa nikmat iman bukan sekedar nikmat, nikmat iman bukan nikmat main-mainan, itu adalah sebesar-besar nikmat di dunia.!
Saya paparkan clue berikutnya agar kita semakin yakin bahwa nikmat iman itu bukan sekedar nikmat, melainkan penentu tempat kembali manusia, surga atau neraka.!
Sesungguhnya orang-orang yang kafir sekiranya mereka memiliki seluruh isi bumi dan yang semisalnya untuk menebus diri mereka dari azab hari kiamat, niscaya (tebusan itu) tidak akan diterima, melainkan bagi mereka azab yang amat pedih. (Al-Maidah: 36)
Mau menebus pakai apa lagi? Dunia dan seisinya pun tidak cukup untuk menebus kekufuran, apalagi hanya harta secuil yang dimiliki. So keep in your mind bahwa nikmat Islam adalah anugrah terbesar dari Allah kepada hambaNYA, syukurilah.!
Kembali kepada “Cara menyikapi non-muslim dalam dimensi keyakinan”. Setelah kita faham bahwa iman adalah penentu syurga atau neraka, maka disinilah pentingnya kita merubah “cara pandang” kita, sudah tidak waktunya lagi kita mengucapkan selamat kepada teman, sahabat atau keluarga (na’uzubillah) yang merayakan keyakinannya. Kalau kita anggap si non-muslim tadi teman sekerja, sebisnis, seakademis, sudah waktunya kita memberanikan diri untuk tidak mengucapkan selamat saat mereka berhari raya. Kenapa? Karena itu artinya kita mendukung kekufuran dia, dan kita juga setuju untuk membiarkan dia ke neraka.
Kemudian apa yang harus kita lakukan? Renungkan guidance Allah s.w.t. dalam hal ini:
Katakanlah: “Hai Ahli Kitab[2], marilah (berpegang) kepada suatu ketetapan yang sama, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah….” (QS. Ali-Imron: 64).
Jadi apa perintah guidance yang Allah berikan? Jawabannya: kita justru seharusnya mengajak mereka untuk mengenal Allah dan sama-sama menyembah Allah, adapun cara, etika bahasa dan metode tentu bisa kita pelajari dan rumuskan bersama. Yang terpenting main point-nya adalah menyadarkannya, bukan mendukungnya untuk terus dalam ajarannya. Kemudian jika mereka menolak, bagaimana sikap kita?
Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang muslim yang berserah diri (kepada Allah s.w.t.).” (QS. Ali-Imron: 64)
Di atas saya katakan, cara, etika bahasa dan metode bisa menyusul, kita bisa lakukan sesuai waktu dan kemampuan. Sekarang kita lihat bagaimana rasulullah memperaktekan ayat di atas:
Dalam hadits Bukhari no. 1356 (satu kisah dengan hadits di bukhari di atas) dikisahkan bahwa Anas r.a. berkata: Ada seorang pembantu Rasulullah yang beragama yahudi, ketika pembantu itu sakit, Rasulullah menjenguknya dan duduk disamping bagian kepalanya. Kemudian Rasulullah berkata: “Masuk Islamlah.!”. Anak muda yahudi itupun menoleh ke arah bapaknya yang saat itu juga bersamanya. Bapaknya berkata: “Ikutilah Muhammad s.a.w.” Maka seketika itu juga pemuda itu memeluk Islam. Kemudian nabi keluar (selesai menjenguk) seraya berkata: “Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkannya dari neraka”
Jika kita perhatikan kisah di atas, Rasulullah menggunakan event menjenguk untuk mengajaknya kepada Islam. Ini yang saya maksud dengan cara dan metode, semua kembali kepada kita. Rasulullah juga pernah mengambil event tawanan untuk mengajak non-muslim kepada Islam, yaitu Rasulullah menawarkan kepada Shafiyyah bintu Huyai seorang putri raja yahudi yang tertawan setelah peperangan, Rasul berkata kepadanya: “Jika engkau memilih Islam, aku akan menikahimu dan jika engkau memilih tetap yahudi aku akan membebaskanmu sehingga engkau kembali ke kaummu”, saat itu Shafiyah memilih Islam[3]. Seorang Shohabiyah, Ummu Sulaim, meminta Abu Thalhah untuk memeluk Islam terlebih dahulu jika ingin menikahinya. Maka mahar bagi Ummu Sulaim adalah islamnya Abu Thalhah[4]. Demikian juga dikisahkan bahwa pemimpin-pemimpin Islam dahulu akan memberikan tunjangan dana dalam jumlah tertentu kepada setiap non-muslim yang mau memeluk Islam.
Dari sini, jelas sudah bahwa setiap muslim yang berteman, berbisnis dengan non-muslim setidaknya harus ada niat untuk mengajaknya kepada Islam, dalam bahasa hadits: “menyelamatkannya dari neraka”. Tentu petunjuk adalah kehendak Allah, tapi “cara pandang” mengajak kepada Islam ini yg harus kita punya dan membuang “cara pandang” membiarkannya dalam ajarannya, apatah lagi dengan dalih toleransi kita malah memberikan ucapan selamat kepadanya pada saat mereka merayakan acara keagamaan mereka. Setelah mengucapkan selamat, tahun depannya kita ikut membantu persiapan hari rayanya. Tahun depannya lagi kita diundang dan ikut hadir, bisa saja terjadi toh?. Lucunya lagi ketika kita merasa bangga telah bertoleransi dengan kawan kita non-muslim dalam dimensi akidah ini. Si muslim berkata: “Saya sangat toleransi, kalau subuh si non-muslim -temen saya- membangunkan saya untuk ke masjid dan kalau minggu saya ingatkan dia ke Gereja.” Heey dear brother,, bukan itu persahabatan yang baik. Kalau mau berbuat baik ke dia, fahamkan ia secara perlahan tentang Islam, bukan malah didukung ke gereja. Kita yakin toh bahwa ketika kita suruh dia ke gereja, artinya kita suruh dia ke neraka. Bukankah demikian guidance Allah, Iman = surga dan kufur = neraka?. So kenapa masih menngingatkan dia ke gereja? Dan kita anggap itu tolerasni yang bagus?. Ini namanya meletakkan toleransi tidak pada tempatnya. Toleransi tempatnya di dimensi sosial, bukan dalam hal keyakinan.
Kesimpulan: Jadi dalam dimensi keyakinan ini kuncinya simple sebenarnya, kita punya kewajiban untuk menyelamatkan teman kita yang non-muslim dari kesalahan akidahnya. Seharusnya kita berusaha memahamkanya akan Islam secara perlahan. Jika tidak mampu, maka amal terendah -ingat amal terendah- yang harus kita lakukan ialah tidak memberikan selamat atau dukungan apapun saat mereka merayakan acara keagamaan mereka yang menurut al-Quran itu adalah acara kekufuran. Di luar acara keagamaan maka kembali kepada konsep dimensi sosial, sebagaimana dipaparkan di atas, berbuat baik dan adil. wallahu a’lam.
[1] Lih. Ibnul Qayyum Al-Jauziyah, Zaadul Ma’ad, Juz 1, Hal. 101.
[2] Yahudi dan Nasrani Khususnya, non muslim umumnya.
[3] Lih. Muhmmad Abu Abdullah Al-Bashari Az-Zuhri. At-Thabaqat Al-Kubra. Juz 8, hal. 123.
[4] Dikisahkan dalam hadits An-NAsa’I, no. 3288
Sumber:: eramuslim.com