MENUTUP aurat untuk setiap Muslim itu sudah jelas sekali hukumnya. Terutama Muslimah, mereka diperintahkan menutup aurat yang begitu banyak dengan secara terperinci. Nah, bagaimana syari’ah mengatur soal aurat Muslimah ini?
Aurat artinya anggota badan yang wajib ditutupi bagi setiap muslim dan muslimah. Aurat muslimah meliputi aurat yang harus ditutupi pada waktu sholat dan aurat di luar waktu sholat. Aurat muslimah pada waktu sholat adalah seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan.
Aurat muslimah terbagi menjadi tiga, yaitu. Aurat muslimah di depan laki-laki (baik mahrom atau tidak), aurat muslimah di depan sesama muslimah dan aurat muslimah di depan perempuan non-muslimah.
Ada beberapa pendapat ulama mengenai hal ini, yaitu :
Pertama, menurut Imam Syafi’i (pendiri madzab Syafi’i) dan Imam Hanafi, aurat muslimah di depan laki-laki yang mahrom dan perempuan muslimah atau kerabat dekatnya adalah antara pusar hingga lutut.
Kedua, menurut Imam Malik (pendiri madzhab Maliki) adalah seluruh badan kecuali wajah, kepala, leher, kedua tangan dan kedua kaki.
Ketiga, menurut Imam Ahmad (pendiri madzhab Hambali) aurat perempuan adalah seluruh badannya kecuali wajah, tangan, kepala, kaki, dan betis.
Bagi madzhab Hambali dan Hanafi telapak kaki bukanlah aurat. Oleh karena itu madzhab Hanafi tidak mewajibakan muslimah menutup telapak kaki dalam sholat.
Sedang aurat muslimah di depan perempuan non-muslimah, menurut pendapat Syafi’i dan Hanafi mengatakan bahwa aurat muslimah di depan mereka adalah seluruh badan kecuali yang umum terlihat ketika menjalankan pekerjaan rumah sehari-hari, artinya dalam batas menggunakan pakaian rumah.
Sedang menurut Hambali dan Maliki adalah seperti aurat muslimah di depan muslimah, yaitu antara pusar dan lutut.
Kedua pendapat tersebut bersumber dari panafsiran ayat : 31 surah al-Nur : Katakanlah kepada wanita yang beriman : “hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara-saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara-saudara perempuan mereka, atau “wanita-wanita” (mereka)……”
Menurut Hanbali, kata “wanita-wanita (mereka)” bermakna perempuan pada umumnya, tanpa beda antara perempuan muslimah atau non-muslimah. Maka diperbolehkan bagi muslimah untuk memperlihatkan perhiasannya kepada perempuan non-muslimah apa yang diperbolehkan untuk di perlihatkan kepada muslimah dan muhrimnya.
Sedang Imam syafi’i dan Imam Hanafi menegaskan bahwa kata “wanita-wanita” adalah khusus untuk muslimah, maka tidak dihalalkan bagi muslimah untuk memperlihatkan auratnya ataupun perhiasannya di depan perempuan non muslimah, kecuali dalam batas yang umum dalam menjalankan pekerjaan rumah sehari-hari.
Qurtubi (seorang ulama Maliki) dalam tafsirnya (12/232) menjelaskan “Seorang muslimah tidak boleh membuka auratnya di depan non muslimah, kecuali ia adalah hamba sahayanya, sesuai dengan ayat 31 surah al-Nur”. Ibnu Juraij, Ubadah bin Nasi dan Hisyam al-Qari’ membenci/melarang non muslimah berciuman (cara bersalaman untuk perempuan ala Arab) dan melihat aurat muslimah, mereka menafsirkan kata “dan perempuan-perempuan mereka” dengan muslimah. Ubadah bin Nasi berkata “Umar r.a. pernah berkirim surat kepada Ubadah bin Jarrah, ‘Aku mendengar bahwa wanita non muslimah, di wilayahmu, telah terbiasa masuk ke kamar mandi muslimah, maka jangan lah itu terjadi lagi, karena non muslimah tidak boleh melihat muslimah dalam keadaan terbuka aurat.’” Kemudian Abu Ubaidah menyerukan kepada rakyatnya “Barangsiapa dari kaum wanita (non muslimah) yang memasuki kamar mandi muslimah dengan tanpa alasan yang pasti, maka akan celakalah dia”.
Ibnu Abbas berkata : Seorang muslimah (auratnya) tidak boleh terlihat oleh wanita nasrani atau yahudi, khawatir kalau akan diceritakan kepada suaminya. Selanjutnya Qurtubi menjelaskan “Dalam masalah ini telah terjadi perbedaan antar para ulama. Kalau wanita tersebut hamba sahaya maka boleh saja melihat tuannya muslimah, kalau tidak maka tidak boleh karena telah terputusnya hubungan ukhuwah dengan non muslimah sebagaimana banyak dijelaskan.”
Menurut syeh Atiyah Muhamad Saqr, seorang mufti Mesir : hubungan muslimah dan non muslimah adalah seperti hubungan muslimah dengan non muhrimnya, artinya aurat mereka adalah seluruh badan kecuali telapak tangan dan muka.
Jadi kesimpulannya : wanita muslimah apakah harus berjilbab di depan non muslimah? terdapat dua pendapat ulama. Untuk lebih berhati-hati tentu pendapat kedua akan lebih baik, namun aspek etika dan kemaslahatan agama tetap harus dipertimbangkan dan diperhatikan dalam masalah ini. Meskipun di sana terdapat pendapat yang mengatakan bahwa aurat muslimah di depan muslimah dan di depan laki-laki mahrom adalah antara pusar hingga lutut, namun ini bukan berarti sebatas itu seorang muslimah harus menutupi auratnya, namun yang tersirat dalam ajaran manutupi aurat adalah agar menjaga kesopanan dan tetap berhati-hati dalam bermu’asyarah meskipun dengan sesama mahrom.