"Beramai-ramai orang berebut kekuasaan, padahal tanpa untuk memuliakan kalimat-Nya, ia hanyalah sebuah kebinasaan."
Nabi Muhammad saw. berjuang bukanlah untuk menggapai kekuasaan atau jabatan tertinggi di dunia. Kekuasan tidaklah sebagai tujuan, tetapi sebagai alat untuk menegakkan kalimat Allah di muka bumi ini. Suatu ketika Rasulullah saw. diberi tawaran yang menggiurkan oleh suku Quraisy berupa kekayaan dunia, wanita cantik dan kekuasaan, lewat pamannya Abu Thalib, dengan syarat agar beliau pensiun dari tugas dakwah. Namun beliau menjawab dengan tegas.
"Demi Allah wahai pamanku, sekalipun mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku agar aku meninggalkan urusan ini, tidaklah aku akan meninggalkannya sehingga Allah memberikan kemenangan kepadaku, atau aku dibinasakan dalam mengerjakan urusan ini."
Pernyataan Rasulullah saw. di atas menegaskan bahwa kekuasaan di dunia bukanlah tujuan dakwah. Bahkan beliau telah mengajarkan bahwa sumber otoritas, kekuasaan dan legitimasi hanyalah milik Allah secara mutlak. Dia-lah Penguasa Sejati. Yang merajai alam ghaib dan alam shahadah (nyata). Rakyat bukanlah sebagai sumber kekuasaan yang mutlak seperti yang dipahami oleh kaum sekuler. Islam menerima suara rakyat selama tidak berbenturan dengan wahyu Allah. Istilah demokrasi, republik sesungguhnya bukanlah dari kosakata Islam. Demokrasi yang mengandalkan sumber kedaulatan rakyat riskan karena manusia sangat dikuasai nafsu, kebutuhan biologisnya. Sehingga kemauan rakyat tidak selalu benar. Jadi pemilik sejati sebuah kekuasaan (power) hanyalah Allah swt. Firman Allah dalam al-Qur'an: "Katakanlah, Ya Allah Tuhan yang memiliki segala kekuasaan. Engkau berikan kekuasaan kepada siapa yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kekuasaan dari siapa yang Engkau kehendaki, dan Engkau muliakan siapa yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan siapa yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu." ( QS.Ali Imran: 26).
Betapapun besar kekuasaan seorang raja, presiden yang diberikan oleh Allah, bagi-Nya sangat mudah untuk mencabutnya. Betapa banyak kita lihat para penguasa yang memiliki wilayah kekuasaan yang sangat luas, dan diwariskan kepada anak cucunya, begitu ia mendapat azab Allah langsung jatuh tersungkur.
Seorang yang sedang menggenggam kekuasaan biasanya menjadi tokoh yang disegani, ia bisa saja memaksakan kehendaknya kepada orang lain agar menyatakan tunduk dan patuh. Tetapi ketika kekuasaan itu terlepas dari dirinya, secara otomatis ia akan kehilangan hak-hak istimewanya yang selama ini dinikmati. Semuanya berakhir.
Dari Abu Dzar ra. ia berkata: "Aku pernah meminta kepada Rasulullah saw.: 'Apakah engkau memberi jabatan kepadaku? Kemudian beliau memukul pundakku seraya bersabda: 'Wahai Abu Dzar, kamu lemah, padahal jabatan itu amanah dan sesungguhnya jabatan itu sesuatu yang hina dan sebuah penyesalan kelak di hari kiamat, kecuali bagi orang yang dapat menunaikan kewajiban dan tanggung jawabnya itu.'" (HR.Muslim)
Dari Abu Musa Al-Asy'ari ra. ia berkata: "Saya pernah masuk ke rumah Nabi saw. bersama dua orang laki-laki saudara sepupu saya, lalu salah seorang di antara mereka berkata: 'Ya Rasulullah, angkatlah aku sebagai pejabat dari sebagian urusan yang diberikan Allah kepadamu, yang satunya lagi berkata itu juga. Kemudian Nabi saw. bersabda: 'Demi Allah kami tidak akan mengangkat seorang untuk tugas ini, di mana ia menginginkan atau menduduki jabatan itu.'" (HR. Bukhari Muslim)
Kekuasaan Nubuwwah
Banyak pula kita lihat seorang yang tadinya bukan keturunan raja, tampil memimpin bangsa, menduduki puncak kekuasaan tertinggi. Sesungguhnya pangkat, gengsi yang berasal dari Allah, sinarnya tidak akan redup, sekalipun dibalut dengan kemiskinan. Sedangkan dzillah (kehinaan) dari-Nya tidak akan bisa disembunyikan seseorang walaupun ditutup dengan emas berlian dan kekuasaan.
Ketika Nabi Muhammad saw. diangkat oleh Allah maka terjadi revolusi pada alam pikiran manusia. Lahirlah kekuasaan baru di lahan yang gersang. Bersamaan dengan itu kekuasaan Bani Israil selama berabad-abad telah tumbang karena dicabut oleh Allah.
Seorang pujangga Inggris yang bernama Thomas Caryle mengatakan: "Berkat ajaran Muhammad saw. maka padang pasir yang gersang berubah menjadi mesiu yang mampu mendobrak struktur masyarakat jahiliyah. Dan pengaruhnya meluas sampai ke dua pertiga dunia."
Ibnu Abas pengatakan bahwa maksud al-Mulk pada surat Ali Imran ayat 26 adalah kenabian. Kekuasaan yang lahir dari kenabian jauh lebih kekal dari al-Mulk yang diperoleh dengan perebutan kekuasaan di dunia. Keturunan Nabi Ibrahim yang menduduki jabatan formal hanyalah Yusuf, Dawud dan Sulaiman.
Kita tahu bahwa pada dasarnya di dunia ini hanya ada dua faham sebagai landasan hidup manusia. Faham pertama sebagai kekuatan dari langit yakni ideologi Nubuwwah. Dan yang kedua, ideoligi taghut yang didasari oleh materialisme. Faham taghut menunggangi lagi dua sistem hidup yakni liberalisme yang melahirkan kapitalisme. Keduanya berpijak di atas landasan materialisme.
Nabi Musa dan Nabi Harun mengalahkan kekuasaan Fir'aun adalah dengan kekuasaan Nubuwwah. Nubuwwah adalah kekuatan jiwa yang tak bisa dibendung. Kekuasaan para Nabi dan Rasul tidak akan berakhir karena kematian. Oleh karena itu raja-raja Turki Utsmani mamakai gelar khadim al Haramain (pelayan dua tempat suci). Bagi seorang mukmin kekuasaan itu identik dengan pelayan. Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka ( raisu al-Qoumi khodimuhum). Kekuasaan Nubuwwah adalah kekuasaan atas rohani. Sedangkan kekuasaan dunia adalah kekuasaan lahiriyah.
Mengapa para Nabi dan Rasul serta para ulama Islam sampai sekarang dikenang oleh ummat manusia sebagai reformis sejati. Hal itu karena mereka berkuasa untuk menjalankan amanah, membela nasib rakyat kecil.
Saat ini ketika para pemimpin dunia sering terpukau oleh kemewahan dunia, tatkala kaum tertindas menunggu pembelaannya, kita membutuhkan sosok pemimpin semacam para nabi dan ulama Islam. Pemimpin yang berkuasa hanya sebagai lahan untuk mengabdi tanpa pamrih.
Bayangkan, pada suatu hari beliau berdoa di muka umum: "Ya Allah, hidupkanlah aku sebagai orang miskin, matikanlah aku sebagai orang miskin, dan bangkitkanlah aku pada hari kiamat bersama orang miskin pula."
Beliau sebagai seorang pemimpin berhasil menanamkan sikap bahwa kemiskinan tidaklah berarti kehinaan. Bagi Rasulullah si miskin lebih mulia daripada para raja. Sepanjang hidupnya beliau tidak pernah mengunjungi makam raja, tetapi di atas makam si miskin penjaga masjid, beliau berdoa untuknya.
Sengaja Rasulullah saw. memilih hidup seperti mereka untuk memberi contoh kepada umatnya bahwa menduduki posisi pemimpin bukanlah untuk memperkaya diri dan keluarganya, tapi melaksanakan amanah. Jika amanah disia-siakan, konsekuensinya tidak ringan. Ancaman berat di dunia dijauhkan dari rahmat Allah dan di akhirat kelak diharamkan untuknya surga. Naudubillahi min dzalik.