Dalam hadis riwayat Ibnu Mas’ud, Rasulullah bersabda, “Demi Dzat yang tiada Tuhan selain Dia. Sungguh ada orang yang melakukan amalan ahli surga sampai tiada jarak antara dirinya dan surga kecuali hanya sehasta, tetapi dia tercatat dalam kitab telah melakukan amalan ahli neraka, kemudian masuk neraka. Dan sungguh ada pula orang yang melakukan amalan ahli neraka sampai tidak ada jarak antara dirinya dan neraka kecuali hanya sehasta, tetapi dia tercatat dalam kitab telah melakukan amalan ahli surga, dan akhirnya masuk surga” (HR Bukhari dan Muslim).
Hadis di atas mengingatkan kita untuk tidak membanggakan kebaikan sambil meremehkan orang lain yang menurut pandangan kita masih melakukan keburukan. Setiap orang pernah melakukan kebaikan dan keburukan. Itu alamiah belaka dan merupakan wujud kemanusiaan manusia. Yang dihitung Allah adalah hasil akhirnya, yaitu ketika napas berpisah dari badan.
“Itulah petunjuk dari Allah. Dia memberikan petunjuk kepada hamba-hamba yang Dia kehendaki. Seandainya mereka menyekutukan Allah, niscaya lenyap amalan yang telah mereka kerjakan” (QS Al-An’am: 88).
Ini penting dicamkan. Karena, fitrah manusia memang gampang lupa. Sok suci lalu memandang dina selain diri sendiri. Pungkasnya, dakwah kita lebih banyak mengejek ketimbang mengajak, lebih sering menghajar ketimbang mengajar, lebih doyan menghina ketimbang membina, lebih lihai mencaci ketimbang mencintai, dan lebih mahir menusuk hati ketimbang menasihati
Islam mengajarkan kita supaya selalu memperbanyak kebaikan “Maka berlomba-lombalah dalam melakukan kebaikan di mana saja kamu berada” (QS Al-Baqarah: 148). Tidak boleh ada kata puas dalam melakukan kebaikan. Namun, kita juga jangan lantas merasa antipati terhadap mereka yang masih berada dalam kegelapan.
Belum tentu akhir hidup kita lebih beruntung dari mereka, dan akhir hidup mereka lebih buntung dari kita. Tidak sedikit mantan penjahat justru menjadi mubalig hebat ketika sadar dan bertobat. Demikianlah jika petunjuk Allah sudah datang. “Bagaimana Allah memberikan petunjuk kepada kaum kafir sesudah mereka beriman. Dan mereka telah mengakui bahwa Muhammad itu benar-benar rasul, dan keterangan-keterangan telah datang kepada mereka? Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang zalim” (QS Ali Imran: 86).
Tidak mudah meraih khusnul khatimah. Dibutuhkan tekad kuat dan kontinu untuk selalu hidup dalam kebaikan. Begitu banyak jalan kebaikan. Tinggal pilih sesuai otoritas dan kapasitas kita. Yakinlah, setiap kebaikan akan dilihat oleh Allah (QS Al-Baqarah: 215). Bahkan, kebaikan yang hanya seberat debu pun diberikan balasan oleh Allah (QS Al-Zalzalah: 7). Dan keuntungan dari setiap kebaikan itu bukan untuk Allah, melainkan kembali kepada diri kita (QS Al-Jatsiyah: 15).
Lain ceritanya dengan keburukan. Keburukan sering berongkos mahal dan berisiko besar. Perkara kenapa peminat keburukan selalu mengular, itu semata karena keburukan memang dihiasi oleh setan. Lihat ulah setan ketika memprovokasi kaum Quraisy menjelang Perang Badar.
“Dan ketika setan menjadikan mereka memandang baik perbuatan mereka, setan berkata, ‘Tidak ada seorang pun yang akan bisa mengalahkanmu hari ini, dan sungguh aku adalah pelindungmu’. Maka ketika kedua pasukan itu bertemu dan saling berhadapan, setan balik ke belakang dan bilang, ‘Sungguh aku berlepas diri darimu. Sungguh aku bisa melihat apa yang kamu tidak melihat. Sungguh aku takut kepada Allah’. Dan Allah sangat keras siksa-Nya. (QS Al-Anfal: 48).
Subhanallah. Betapa kesempatan melakukan kebaikan yang diberikan Allah kepada kita. Hendaknya hidup ini kita gunakan untuk menabung sebanyak mungkin kebaikan. Saldo kebaikan kita tentu masih terlalu minim untuk modal hidup di alam keabadian kelak. Apalagi jika masih harus dikurangi oleh kesombongan kita di hadapan Allah dan manusia dengan menegaskan diri paling mulia sembari menghinakan selainnya. Mungkinkah masih tersisa alasan untuk berhenti dalam melakukan kebaikan.
Oleh M Husnaini
Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surabaya