“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentu mereka akan menjawab:”Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja”. Katakanlah:”Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok ?”. Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami memaafkan segolongan kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa.” (QS. At-Taubah : 65-66)
Muslimin dan muslimat yang dirahmati Allah سبحانه وتعالى,
Pada kesempatan kali ini kita akan membahas tentang Pembatal Syahadat. Artinya jika Syahadat batal, maka Laa illaaha illallah itu tidak lagi bermanfat. Sebagaimana sholat, bila salah satu Rukun sholat saja ditinggalkan, maka sholat itu tidak sah (batal). Demikian pula dengan Syahadat. Karena Laa illaaha illallahitu bisa menjadi gagal-total dan tidak ada gunanya keimanan dan ke-Islaman seseorang serta “Laa illaaha illallah” yang dinyatakan dan diucapkannya tidak lagi berarti, bila terjadi perkara-perkara yang membatalkan Syahadat tersebut.
Di Negara kita hal yang demikian itu tidak dikenal atau tidak disadari, karena sejak awal kita tidak begitu ada perhatian terhadap penegakan “Laa illaaha illallah Muhammadur Rasulullah”.
Oleh karena itu tidak aneh bila seseorang semestinya dihukumi sebagai kafir, tidak disikapi kekafirannya. Lalu seseorang yang mestinya jatuh pada hukum Musyrik, tidak ada yang meng-eksekusi bahwa orang tersebut Musyrik. Sementara bila seseorang mencuri atau korupsi barulah diproses, tetapi kepada orang yang yang batal Laa illaaha illallaah-nya belum pernah ada pembahasannya atau prosesnya di mahkamah atau pengadilan bahwa orang itu sebenarnya sudah murtad dari Islam. Belum pernah ada.
Maka apa yang dibahas kali ini barangkali baru merupakan teori saja. Namun demikian, wajib kita ketahui bahwa “Laa illaaha illallaah” kita itu bukan hanya untuk diucapkan berulang-ulang sekian ribu kali, bukan hanya sekedar dikeraskan dalam dzikir kita, tetapi yang lebih penting dari itu adalah koreksi apakah benar “Laa illaaha illallah” itu masih ada pada jiwa kita, ataukah kita baru pada sebatas ucapan lisan “Laa illaaha illallah” berulang kali, namun bisa jadi seseorang itu sebenarnya tidak lagi berhaq menyandang julukan “Muslim”, disebabkan orang itu telah musyrik atau murtad atau kaafir, keluar dari golongan kaum muslimiin.
Ada 5 (lima) perkara yang harus diperhatikan. Jika lima perkara tersebut salah satu saja ada pada seseorang, apalagi seluruhnya, maka ia telah keluar dari Islam dan bertentangan dengan Firman Allah سبحانه وتعالى itu sendiri, termasuk Hadits-Hadits Rasulullah صلى الله عليه وسلم.
Adapun 5 perkara tersebut adalah :
Meyakini adanya sekutu bagi Allah سبحانه وتعالى.
Memalingkan bukti bentuk peribatatan seseorang kepada selain Allah سبحانه وتعالى,
Memperlakukan Allah سبحانه وتعالى sama dengan yang lain,
Meyakini adanya perantara (mediator) dengan Allah سبحانه وتعالى,
Berhukum kepada selain Hukum Allah سبحانه وتعالى.
Muslimin dan muslimat yang dirahmati Allah سبحانه وتعالى,
Laa illaaha illallah sudah kita bahas beberapa waktu lalu bahwa harus punya hakiki, punya konsekuensi. Dan itu tidak kurang dari tiga perkara. Jika seseorang mengaku ber- Laa illaaha illallah tetapi tidak melakukan minimal tiga perkara tersebut, justru melakukan lima perkara ini secara global (dan yang lebih detailnya ada sepuluh perkara), maka ia terancam batal Syahadatnya. Lima perkara Pembatal Syahadat adalah:
1. Meyakini adanya sekutu bagi Allaah سبحانه وتعالى.
Untuk masalah ini tidak kurang dari beberapa ayat Al Qur’an dan ayat ini memberikan bukti kepada kita bahwa sesungguhnya tidak ada yang patut dan layak untuk dijadikan sebagai sekutu bagi Allaah سبحانه وتعالى. Jika ada orang yang meyakini adanya sekutu, maka ia telah kaafir.
Fiman Allah Subhaanahu Wa Ta’ala :
“Katakanlah:‘Serulah mereka yang kamu anggap (sebagai Tuhan) selain Allah, mereka tidak memiliki (kekuasaan) seberat zarrah pun di langit dan di bumi, dan mereka tidak mempunyai suatu saham pun dalam (penciptaan) langit dan bumi dan sekali-kali tidak ada di antara mereka yang menjadi pembantu bagi-Nya’.” (QS Saba’ : 22)
Fiman Allah Subhaanahu Wa Ta’ala :
“Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dan mengadakan gelap dan terang. Namun orang-orang yang kaafir mempersekutukan (sesuatu) dengan Tuhan mereka.” (QS Al An’aam : 1 – 2 )
“Dia lah yang menciptakan kamu dari tanah, sesudah itu ditentukan-Nya ajal (kematianmu), dan ada lagi suatu ajal yang ada pada sisi-Nya (yang Dia sendiri lah mengetahuinya), kemudian kamu masih ragu-ragu (tentang hari berbangkit itu).”
Dalam ayat-ayat tersebut di atas yaitu Surat Saba’ayat 22, bahwa Allah سبحانه وتعالى tidak memiliki tandingan dari kalangan mereka yang diseru dan diklaim bahwa mereka adalah tandingan bagi Allah, yang bisa mengalahkan dan bisa menyamai atau menyetarai Allah سبحانه وتعالى.
Berikutnya dalam ayat Al An’aam ayat 1 – 2, Allah سبحانه وتعالى memberikan berita kepada kita bahwa yang mencipta langit dan bumi serta yang menciptakan gelap dan terang adalah Allah سبحانه وتعالى. Mereka orang-orang kaafir saja yang tidak mengakui dan bahkan berpaling dari keyakinan seperti yang disebutkan dalam ayat tersebut. Bahkan Allah menyatakan bahwa Dia-lah yang menciptakan mereka (manusia) dari tanah dan menentukan kapan mereka akan mati. Tetapi tetap saja mereka membangkang.
Berarti, kalau ada orang yang meyakini ada sekutu bagi Allah سبحانه وتعالى, maka ia telah kaafir dengan ayat tersebut. Apabila ada orang yang mengatakan ada pencipta selain Allah سبحانه وتعالى, maka dia-pun telah kaafir dengan ayat tersebut.
Firman Allah Subhaanahu Wa Ta’ala :
“Katakanlah (Muhammad):”Siapakah Tuhan langit dan bumi?” Katakanlah:”Allah”. Katakanlah: “Maka patutkah kamu mengambil pelindung-pelindungmu dari selain Allah, padahal mereka tidak kuasa mendatangkan manfaat dan tidak (pula) kuasa menolak kemudharatan bagi diri mereka sendiri?”. Katakanlah: “Adakah sama orang buta dan yang dapat melihat, atau samakah gelap gulita dan terang benderang? Apakah mereka menjadikan beberapa sekutu bagi Allah yang dapat menciptakan seperti ciptaan-Nya sehingga kedua ciptaan itu serupa menurut pandangan mereka?” Katakanlah: “Allah adalah Pencipta segala sesuatu dan Dia-lah Tuhan yang Maha Esa lagi Maha Perkasa”. (QS Surat Ar Ra’d ayat 16 )
Kalimat “Rabb” dalam bahasa Arab bersifat universal, tidak bisa hanya diartikan sebagai Pencipta saja atau Pemilik saja, atau Pemelihara saja, tetapi kata “Rabb” dalam bahasa Arab berarti mencakup tidak kurang dari tiga perkara, dan itu tidak bisa diterjemahkan dalam bahasa Indonesia kecuali diterjemahkan dengan satu kata yaitu “Tuhan”.
Dalam kalimat “AlhamdulillaahiRabbil‘aalamiin”, kata “Rabb” diartikan sebagai: Penguasa semesta alam. Kalimat “Penguasa Semesta alam” adalah sepertiga dari makna “Rabb” dalam bahasa Arab. Mestinya “Rabb” itu diartikan sebagai Pencipta, Penguasa atau Pemilik dan Pengatur. Tetapi menjadi terlalu panjang menterjemahkannya. Padahal tidak-bisa-tidak, secara bahasa, kata “Rabb” mencakup banyak sekali arti dan universal.
Dalam ayat tersebut diterjemahkan:“Siapakah Tuhan yang (menciptakan) langit dan bumi”?
Ayat tersebut banyak sekali memberikan pelajaran bagi kita semua bahwa tidak ada yang memiliki manfaat atau madhorot, bahwa kekufuran adalah buta, keimanan adalah melihat, iman adalah cahaya, dan kekufuran adalah kegelapan. Sekutu-sekutu selain Allah سبحانه وتعالى tidak bisa menciptakan sesuatu, meskipun hanya sekedar binatang lalat.
Seperti dalam VCD, dijelaskan oleh Harun Yahya tentang mata, bahwa seandainya mata itu dibentuk di alam semesta ini, maka sungguh akan antar benua besarnya mata itu baru bisa diproses sebagai mata. Jika besarnya bulatan mata itu dari suatu benua ke benua lain di bumi, barulah manusia bisa melihat. Saking rumitnya organ-organ dan susunannya di dalam mata. Betapa rumitnya ciptaan Allah سبحانه وتعالى padahal sekedar mata saja. Belum lagi tentang sel, tentang asal-usul penciptaan manusia, dan penciptaan yang lain, dstnya. Untuk itu ternyata manusia sangat lemah, tidak akan ada yang bisa membuat itu semua, belum lagi yang khurofat, yang tidak kelihatan yang mungkin berupa syaithoon, berupa iblis, jin dan sebagainya.Tidak ada yang bisa menciptakan itu semua kecuali Allah سبحانه وتعالى.
Oleh karena itu Allah سبحانه وتعالى menantang, apakah ada yang bisa menciptakan yang semacam itu. Apakah kalian menjadikan selain Allah sekutu-sekutu, lalu sekutu Allah itu mencipta sebagaimana Allah سبحانه وتعالى?
Firman Allah Subhaanahu Wa Ta’ala dalam Surat Ash Shaffaat ayat 35 – 36 :
35. “Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka:”Laa illaaha illallah“(Tiada tuhan yang berhak disembah melainkan Allah) mereka menyombongkan diri, (QS Ash Shaffaat 37 : 35)
36. Dan mereka berkata: “Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami karena seorang penyair gila?” (QS Ash Shaffaat 37 : 36)
Yang dimaksudkan bahwa Laa illaaha illallah itu punya konsekuensi dan eksistensi, dan apa bentuk Laa illaaha illallah itu. Ia adalah kufur kepada Thoghut dan beriman kepada Allah سبحانه وتعالى. Hanya Allah yang wajib ditaati, diikuti dan kemudian ditakuti.
Laa illaaha illallah bermakna dua sikap dalam waktu yang sama, yaitu kaafir kepada Thoghut sekarang dan beriman kepada Allah سبحانه وتعالى sekarang. Jika dua perkara itu ada dalam waktu yang sama, pada diri yang sama, berarti ia telah mengucapkan Laa illaaha illallah. Tidak ada yang berhak diibadahi dengan sebenarnya, kecuali hanya Allah سبحانه وتعالى.
Rasulullah صلى الله عليه وسلم mengajak dan menyeru mereka kepada Tauhid, kepada Laa illaaha illallah, kepada Shiroothol mustaqiim, dikatakan oleh mereka sebagai penyair yang gila. Ini adalah sikap orang-orang musyrikuun. Maka bila ada orang yang diajak kepada Laa illaaha illallah, kepada Tauhid, lalu mereka mengatakan atau menunjukkan isyarat berupa cibiran, sombong dan menyatakan ada selain Allah سبحانه وتعالى sebagai yang berhak diibadahi, maka mereka adalah mirip dengan orang musyrik.Na’uudzubillaahi min dzaalik !.
Firman Allah Subhaanahu Wa Ta’ala dalam Surat Shaad ayat 5 :
“Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan yang satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan.”
Apa bedanya dengan kaum muslimin di negeri kita yang masih percaya dengan Nyi Loro Kidul, percaya dengan keris, dsbnya yang dipercaya bisa menghindarkan kita dari bala’ dan bencana dan juga bisa memberikan keuntungan?
Ada sebagian kaum muslimin di negeri kita ini yang bila hendak mulai bercocok-tanam mempersembahkan sesuatu kepada Dewi Sri, demikian pula ketika hendak memulai panen, mereka membuat sesaji kepada Dewi Sri supaya tidak gagal panen.
Bukankah itu mirip dengan apa yang dikatakan dan dilakukan oleh orang-orang musyrikiin zaman dahulu?
Seruan Tauhid, agar hanya Allah سبحانه وتعالى saja sebagai yang berhak diibadahi itu oleh orang-orang musyrikin (dalam ayat) tersebut dianggap aneh dan mengherankan. Dan orang yang menyerunya (Muhammad صلى الله عليه وسلم) disebut gila.
Ini disebabkan karena mereka terasa terganggu, karena tuhan-tuhan mereka harus ditinggalkan. Harus menyembah yang satu saja yaitu Allah سبحانه وتعالى, karena kata Muhammad صلى الله عليه وسلم bahwa yang menciptakan, yang menghidupkan dsbnya adalah Allah سبحانه وتعالى.
Muslimin dan muslimat yang dirahmati Allah سبحانه وتعالى,
Jika ada yang meyakini bahwa ada selain Allah yang bisa melakukan apa yang dilakukan oleh Allah سبحانه وتعالى, maka orang itu kaafir, keluar dari Islam. Karena ia telah meyakini kebalikan dari apa yang telah ditetapkan oleh Allah سبحانه وتعالى.
Allah سبحانه وتعالى adalah Kholiq (Pencipta), Ar Rozaq (Pemberi rezki), Al Muhyi (Yang Menghidupkan), Al Mumit (Yang Mematikan), An Naafi’ (Yang Memberi Manfaat) kepada kita, Adh Dhor (Pemberi bala’ dan bencana), Al Mudabbir (Yang Mengatur) seluruh peredaran makhluk yang ada di alam semesta ini.
Ketika hal tersebut tidak diyakini, atau ada orang yang meyakini ada selain Allah yang bisa melakukan hal-hal tersebut, orang itu adalah musyrik, bukan mu’miniin.
Misalnya ada orang yang menganggap bahwa si Fulan adalah Wali, lalu orang itu datang kepada wali-wali itu. Orang hendak pergi haji, datang ke Wali, hendak walimahan pengantin, datang ke Wali, seolah meminta restu, meminta diberikan petunjuk, minta diberi kelancaran, dsbnya. Itu adalah tabi’at dan adat yang dilakukan oleh orang-orang sebelum muslimiin, mereka adalah orang-orang musyrikiin. Kenapa kaum muslimiin menjadi terlambat, setelah datang Islam tetapi mereka masih melakukan budaya dan aqidah orang-orang musyrikiin? Sungguh termasuk terbelakang perbuatan orang-orang musyrikiin dan orang-orang kufar itu. Maka takutlah kita kepada Allah سبحانه وتعالى, jangan sampai ada satu keyakinan seperti tersebut.
2. Memalingkan ibadah kepada selain Allah سبحانه وتعالى.
Ibadah, adalah apa saja yang dicintai Allah dan apa saja yang diridhoi Allah سبحانه وتعالى. Dan yang dicintai dan diridhoi Allah سبحانه وتعالى itu apabila ada dalilnya. Ingat kalau sesuatu tidak dicintai dan diridhoi Allah berarti bukan ibadah. Sesuatu itu akan dicintai dan diridhoi bila ada dalilnya.
Bagaimana mungkin sesuatu itu dicintai dan diridhoi Allah سبحانه وتعالى jika tanpa dalil? Bagaimana mungkin memaksakan sesuatu yang bukan dari Allah سبحانه وتعالى?
Wujud ibadah bisa berupa perkataan, amalan (perbuatan) dan itu bisa nyata (kelihatan) dan bisa berupa bathin (tidak nyata).Ibadah itu sangat universal, apa saja yang merupakan gerak dan diamnya kita, bisa termasuk dalam kategori ibadah. Apabila semua yang dimaksud dengan ibadah ini ternyata seharusnya untuk Allah سبحانه وتعالى, tetapi dipalingkan bukan untuk Allah atau selain kepada Allah سبحانه وتعالى, maka Laa illaaha illallah mereka menjadi tidak benar. Mereka berubah status menjadi orang yang musyrikiin.
Firman Allah Subhaanahu Wa Ta’ala dalam Surat Al Faatihah ayat 5, Allah سبحانه وتعالى berfirman :
Hanya Engkaulah yang Kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah Kami meminta pertolongan.
Na’budu diambil dari kata ‘ibaadat: kepatuhan dan ketundukan yang ditimbulkan oleh perasaan takut terhadap kebesaran Allah, sebagai Tuhan yang disembah, karena berkeyakinan bahwa Allah lah yang mempunyai kekuasaan yang mutlak terhadapnya.
Nasta’iin (minta pertolongan), terambil dari kata isti’aanah: mengharapkan bantuan untuk dapat menyelesaikan suatu pekerjaan yang tidak sanggup dikerjakan dengan tenaga sendiri.
Ayat tersebut seolah-olah menyatakan: “Tidak ada yang diibadahi kecuali Allah سبحانه وتعالى. Tidak ada yang bisa menolong kita kecuali Allah سبحانه وتعالى. Karena itulah kita mengabdi dan meminta tolong hanya kepada Allah سبحانه وتعالى.”
Meminta tolong itu pun sebenarnya bagian dari ibadah, tetapi dalam ayat tersebut disebutkan tentang meminta pertolongan, karena yang paling penting dari ibadah adalah minta pertolongan. Di antara yang sangat diperlukan manusia adalah pertolongan Allah سبحانه وتعالى. Apakah itu pertolongan untuk mendapatkan sesuatu maslahat yang manusia inginkan, ataupun ingin mendapat pertolongan agar terhindar dari bala’.
Semua itu dibutuhkan hanya dari Allah سبحانه وتعالى.
Kalau ada orang yang selalu mengucapkan ayat tersebut: Iyyaaka na’buduu wa iyyaaka nasta’iin (Hanya kepada Engkau ya Allah, kami beribadah dan hanya kepada Engkau ya Allah kami minta pertolongan), tetapi kenyataannya ia datang kepada selain Allah سبحانه وتعالى, kepada Wali, kuburan, batu, pohon dstnya, berarti ia telah berdusta dan tidak ber-Tauhid dan ia telah musyrik. Na’uudzubillaahi min dzaalik!
Firman Allah Subhaanahu Wa Ta’ala dalam Surat Al Baqarah ayat 21 :
Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa,
Ternyata berkaitan dengan Tauhid, bahwa Allah سبحانه وتعالى adalah Pencipta dan kita diperintah untuk mengabdi kepada-Nya. Maka bila kita meyakini bahwa yang mencipta, yang memberi hidup kepada kita adalah Allah, maka kita harus beribadah hanya kepada Allah سبحانه وتعالى.
Firman Allah Subhaanahu Wa Ta’ala dalam Surat An Nisaa’ ayat 36 :
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapakmua, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, Ibnussabiil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.”
Artinya, bahwa orang yang tidak beribadah disebut sombong, demikian pula orang yang menyembah selain Allah سبحانه وتعالى disebut sebagai orang-orang yang sombong. Orang yang sombong adalah orang yang mengikuti jejak iblis. Dan iblis itu dihukumi sebagai kaafir karena mempunyai sifat sombong. Jadi orang yang sombong kepada Allah سبحانه وتعالى disebut kaafir .
Firman Allah Subhaanahu Wa Ta’ala dalam Surat Al Ahqaaf ayat 5 – 6 :
“Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang menyembah sembahan-sembahan selain Allah yang tiada dapat memperkenankan (doa)-nya sampai hari kiamat dan mereka lalai dari (memperhatikan) doa mereka?
6. Dan apabila manusia dikumpulkan (pada hari kiamat) niscaya sembahan-sembahan itu menjadi musuh mereka dan mengingkari pemujaan-pemujaan yang mereka lakukan kepadanya.”
Artinya, bahwa orang-orang yang berdo’a kepada selain Allah سبحانه وتعالى dianggap kaafir. Do’a harus lah hanya kepada Allah سبحانه وتعالى karena do’a adalah intisari Ibadah.
Sabda Rasulullah صلى الله عليه وسلم: “Do’a adalah ibadah”.
Jadi kalau orang sudah memalingkan do’a kepada selain Allah سبحانه وتعالى berarti ia telah beribadah kepada selain Allah سبحانه وتعالى.Meminta kepada selain Allah, maka orang itu menjadi musyrik, kaafir dan murtad(keluar dari Islam).
Firman Allah Subhaanahu Wa Ta’ala dalam Surat Al Jinn ayat 6 :
“Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin. Maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan.”
Ada manusia yang meminta perlindungan kepada Jin, padahal seharusnya meminta perlindungan itu kepada Allah سبحانه وتعالى.
Banyak di antara kita yang suka meminta perlindungan dan bantuan kepada Jin, supaya dikasihi orang, supaya berjaya, supaya naik pangkat, supaya kaya, dsbnya. Dan di zaman tehnologi maju seperti sekarang pun banyak dari kita yang melakukan perbuatan-perbuatan yang primitif, seperti yang dilakukan orang-orang pada zaman animisme, dinamisme, dstnya. Padahal dengan perilaku demikian itu, mereka (orang-orang) itu semakin jauh sesatnya.
Firman Allah Subhaanahu Wa Ta’ala dalam Surat Al Kautsar ayat 2 :
“Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkurban lah.”
Sholat dan berkurban itu untuk Allah سبحانه وتعالى, tetapi ada orang menyembelih hewan dan sembelihannya itu untuk selain Allah سبحانه وتعالى.
Orang yang menyalahi petunjuk Allah سبحانه وتعالى itu bukanlah orang yang mu’miniin, melainkan orang sesat dan kaafir. Perlakuan seperti ini bukanlah perilaku mu’min yang mengatakan “Laa illaaha illallah”, tetapi mereka adalah musyrik dan kufaar.
Maka bulatkan keyakinan kita bahwa hanya Allah سبحانه وتعالى yang berhak kita ibadahi, tidak (bukan) yang lain.
3. Mempersamakan Allah سبحانه وتعالى dengan yang lain.
Lihat Firman Allah Subhaanahu Wa Ta’ala dalam Surat Al An’aam ayat 150 :
“Katakanlah (Muhammad):”Bawalah kemari saksi-saksimu yang dapat membuktikan bahwasanya Allah telah mengharamkan (makanan yang kamu) haramkan ini”. Jika mereka memberikan kesaksian, maka janganlah engaku ikut pula menjadi saksi bersama mereka; dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, dan orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, sedang mereka mempersekutukan Tuhan mereka”.
Orang yang menjadikan sekutu selain Allah سبحانه وتعالى, ada yang diikuti selain Allah berupa hawa nafsu atau berupa yang lainnya, maka ia telah mempersamakan Allah سبحانه وتعالى dengan yang lain.
Firman Allah Subhaanahu Wa Ta’ala dalam Surat Al Baqarah ayat 165 :
“Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Ada pun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat dzolim itu*] mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).
*] Yang dimaksud dengan orang yang dzolim disini ialah orang-orang yang menyembah selain Allah.
Mencintai selain Allah سبحانه وتعالى, yaitu mencintai tandingan-tandingan Allah سبحانه وتعالى artinyamempersamakan Allah dengan yang lain.
Maka kita hendaknya introspeksi pada diri sendiri, apakah kita cinta kepada isteri-anak, cinta kepada dunia itu sama dengan cinta kepada Allah سبحانه وتعالى?
Kalau kita lebih cinta kepada isteri, anak, lebih cinta kepada harta dan kepada dunia daripada cinta kepada Allah سبحانه وتعالى, maka sebenarnya kita lebih sesat dari apa yang disebut dalam ayat tersebut.
Padahal seperti difirmankan oleh Allah سبحانه وتعالى dalam ayat tersebut: “Ada pun orang-orang yang beriman itu amat sangat mencintai Allah سبحانه وتعالى”.
Artinya lebih mencintai Allah daripada selain Allah سبحانه وتعالى.
Sementara itu kebanyakan orang mengatakan: “Mana ada adzab kubur, mana ada adzab neraka? Tidak kelihatan”. Padahal Dien (agama) itu jangan dianalogi-kan bahwa Dien itu harus selalu rasional, masuk akal dan kelihatan oleh mata kepala. Orang yang memaksakan bahwa Dien harus rasional, masuk akal, adalah bukan Ahlussunnah wal Jama’ah, bukan mu’min, mereka adalah orang-orang kufaar. Sedang orang yang mu’min adalah orang yang meng-imani Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah صلى الله عليه وسلم yang shohiih, dan bila shohiih maka mereka Sami’naa wa atho’naa. (Siap mendengar dan siap taat). Itulah sikap yang dituntut oleh Allah سبحانه وتعالى, dan jika orang tidak demikian maka mereka bukan mu’miniin, melainkan orang kaafir.
Firman Allah Subhaanahu Wa Ta’ala dalam Surat Asy’-syu’araa’ ayat 97 – 98 :
تَاللَّهِ إِن كُنَّا لَفِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ
Artinya:
97. “Demi Allah: sungguh kita dahulu (di dunia) dalam kesesatan yang nyata,
إِذْ نُسَوِّيكُم بِرَبِّ الْعَالَمِينَ
Artinya:
98. karena kita mempersamakan kamu (berhala-berhala) dengan Tuhan semesta alam”.
Jadi orang yang mempersamakan Allah سبحانه وتعالى dengan yang lain, mereka adalah Ahlun Naar (penghuni Neraka). Maka berimanlah, jangan menjadi orang yang kufaar, yang mengatakan “Laa illaaha illallah” tetapi mereka tetap masuk ke dalam neraka. Na’uudzubillaahi min dzaalik !
Dalam Hadits dari Sa’ad bin ‘Ubaidah رضي الله عنه, ia berkata, Ibnu ‘Umar رضي الله عنه mendengar seseorang bersumpah: “Demi Ka’bah”, lalu Ibnu ‘Umar رضي الله عنه berkata: Aku mendengar Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:“Barangsiapa bersumpah dengan selain Allah, maka sungguh ia menjadi musyrik”. (Hadits riwayat Imaam Abu Daawud dan Imaam At Turmudzi)
Padahal sekarang ini banyak orang yang bersumpah: “Demi kamu, Demi Bangsa, Demi Negara… dstnya”. Sumpah yang bukan “Demi Allah” maka orang yang bersumpah itu telah musyrik. Demikian itu menurut Rasulullah صلى الله عليه وسلم dalam Hadits tersebut diatas yang diriwayatkan oleh Imaam Abu Daawud dan Imaam At Turmudzi.
Maka kita hendaknya jangan sembarangan bersumpah. Bersumpah dapat menjadikan seseorang menjadi musyrik. Syirik kepada Allah سبحانه وتعالى termasuk perkara yang menjerumuskan, dan “Laa illaaha illallah” menjadi terancam.
4. Meyakini adanya perantara dengan Allah سبحانه وتعالى.
Yaitu Allah سبحانه وتعالى – Perantara – Manusia. Meyakini harus melalui perantara (mediator).
Firman Allah Subhaanahu Wa Ta’ala dalam Surat Az Zumar ayat 3 :
لَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِن دُونِهِ أَوْلِيَاء مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِي مَا هُمْ فِيهِ يَخْتَلِفُونَ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي مَنْ هُوَ كَاذِبٌكَفَّارٌ
Artinya:
“Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya”. Sesungguhnya Allah akan memutuskan diantara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar.”
Allah سبحانه وتعالى tidak akan memberikan petunjuk kepada orang pendusta dan orang yang sangat kafir. Ternyata Allah سبحانه وتعالى dalam ayat tersebut menyatakan: “Orang yang menjadikan adanya perantara antara Allah dengan manusia, adalah orang yang kaafir dan pendusta.”
Maka tidak boleh ada perantara, tetapi langsung kepada Allah سبحانه وتعالى.
Kalau ada orang merasa bahwa dirinya banyak dosa, dirinya kotor, justru menyadari demikian itu adalah baik, itu merupakan langkah pertama untuk bertaubat kepada Allah سبحانه وتعالى. Imam An Nawawi رحمه الله berkata: “Taubat adalah adanya pengakuan dan penyesalan dalam diri seseorang atas dosa-dosa yang telah diperbuatnya”. Maka langsung saja bertaubat kepada Allah سبحانه وتعالى: “Ya Allah aku telah berdosa, aku menyesal berbuat maksiat, aku mohon ampun kepada Engkau, ya Allah”.Tidak usah dengan perantara. Karena orang yang mengaku bisa menjadi perantara dengan Allah سبحانه وتعالى adalah pendusta (pembohong).
Firman Allah Subhaanahu Wa Ta’ala dalam Surat Yunus ayat 18 :
وَيَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللّهِ مَا لاَ يَضُرُّهُمْ وَلاَ يَنفَعُهُمْ وَيَقُولُونَ هَـؤُلاء شُفَعَاؤُنَا عِندَ اللّهِ قُلْ أَتُنَبِّئُونَ اللّهَ بِمَا لاَ يَعْلَمُ فِي السَّمَاوَاتِ وَلاَ فِي الأَرْضِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّايُشْرِكُونَ
Artinya:
18. “Dan mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan, dan mereka berkata: “Mereka itu adalah pemberi syafa’at kepada kami di sisi Allah”. Katakanlah: “Apakah kamu mengabarkan kepada Allah apa yang tidak diketahui-Nya baik di langit dan tidak (pula) dibumi?”*] Maha suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka mempersekutukan (itu).”
*] Kalimat ini adalah ejekan terhadap orang-orang yang menyembah berhala, yang menyangka bahwa berhala-berhala itu dapat memberi syafaat.
Ayat tersebut menunjukkan bahwa keyakinan adanya perantara antara kita manusia dengan Allah سبحانه وتعالى, adalah berbahaya. Itu adalah tradisi orang musyrik. Maha Suci Allah dari apa yang telah mereka sekutukan.
Berarti bila ada orang yang menyembah (beribadah) kepada Allah سبحانه وتعالى melalui perantara, maka orang tersebut telah mengikuti jejak orang musyrik.
5. Berhukum pada selain Hukum Allah سبحانه وتعالى.
Kata orang ada hukum Pidana, ada hukum Perdata atau apalah namanya, jika yang memutuskan perkara manusia atau perselisihan antara manusia, dan solusinya adalah bukan ketetapan Allah dan ketetapanRasulullah صلى الله عليه وسلم, maka mereka telah berhukum bukan dengan Hukum Allah سبحانه وتعالى, tetapi hukum manusia.
Lihat Firman Allah Subhaanahu Wa Ta’ala dalam Surat An Nisaa’ ayat 60 :
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُواْ بِمَا أُنزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنزِلَ مِن قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَن يَتَحَاكَمُواْ إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُواْ أَن يَكْفُرُواْ بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَن يُضِلَّهُمْضَلاَلاً بَعِيداً
Artinya:
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thoghut*], padahal mereka telah diperintha untuk mengingkari thoghut itu. Dan syaithoon bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.:
*] Yang selalu memusuhi Nabi dan kaum muslimin dan ada yang mengatakan Abu Barzah seorang tukang tenung di masa Nabi. Termasuk Thoghut juga: 1. orang yang menetapkan hukum secara curang menurut hawa nafsu. 2. berhala-berhala.
Mereka diperintah untuk kaafir kepada Thoghut, tetapi mereka justru datang kepada Thoghut untuk minta diputuskan perkaranya. Maka dalam ayat tersebut dikatakan: “Syaithoon bermaksud (menginginkan) menyesatkan mereka.” Siapa yang hendak disesatkan syaithoon? Ialah mereka orang-orang yang mengaku beriman. Syaithoon menghendaki merera sesat yang sesesat-sesatnya.
Jadi bila ada orang yang berhukum kepada selain Hukum Allah سبحانه وتعالى, maka orang itu disesatkan oleh syaithoon. Sesatnya tidak tanggung-tanggung, ialah sesat yang sangat jauh, sesat yang sesesat-sesatnya.
Imannya palsu, karena mereka mengaku beriman tetapi beriman kepada Thoghut (syaithoon). Itu berbahaya, karena bisa membatalkan Laa illaaha illallah. Adalah tidak patut, orang yang mengaku Laa illaaha illallah tetapi ingin diputuskan nasib dan perkaranya oleh Thoghut.
Lihat Firman Allah Subhaanahu Wa Ta’ala dalam Surat Al Maa-idah ayat 49 – 50 :
وَأَنِ احْكُم بَيْنَهُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَن يَفْتِنُوكَ عَن بَعْضِ مَا أَنزَلَ اللّهُ إِلَيْكَ فَإِن تَوَلَّوْاْ فَاعْلَمْ أَنَّمَا يُرِيدُ اللّهُ أَن يُصِيبَهُم بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ وَإِنَّكَثِيراً مِّنَ النَّاسِ لَفَاسِقُونَ
Artinya:
49. “Dan hendaklah kamu memutuskan perkara diantara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang faasiq.”
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللّهِ حُكْماً لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Artinya:
50. “Apakah hukum Jahiliyyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?”
Maknanya, Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم tidak boleh memutuskan sesuatu menurut hawa nafsunya, tetapi melaksanakan hukum kepada mereka dengan apa yang telah diturunkan yakni Al Qur’an.
Dan bila mereka berpaling dari hukum Allah, maka Allah akan menurunkan musibah kepada mereka. Hukum selain Hukum Allah, oleh Allah سبحانه وتعالى disebut Hukum Jahiliyyah.
Lalu dalam ayat 50 Allah bertanya: “Apakah hukum Jahiliyyah yang mereka kehendaki? Hukum siapakah yang lebih baik dari Hukum Allah سبحانه وتعالى bagi orang-orang yang yakin?”
Artinya, orang yang tidak menjadikan Hukum Allah sebagai pemutus perkara, ia adalah ragu dalam keimanannya kepada Allah سبحانه وتعالى, ragu-ragu terhadap Hukum dan Syari’at Allah سبحانه وتعالى. Dan orang yang ragu terhadap Syari’at Islam adalah Kaafir. Orang yang demikian, maka Laa illaaha illallah-nya menjadi batal.
Jika Laa illaaha illallah kita ingin eksis, maka hukum kaum muslimin adalah Hukum Al Qur’an dan Hukum Sunnah Rasulullah صلى الله عليه وسلم.
Sebagaimana kita sholat, hukumnya adalah: Menghadap ke arah Kiblat, 4 rokaat Dhuhur, 4 rokaat Ashar, 3 rokaat Maghrib, 4 rokaat ‘Isya dan 2 rokaat Subuh, itu semua Allah سبحانه وتعالى yang mengatur.
Kalau Hukum Allah dalam perkara Sholat, Haji, Zakat dll dijalankan, mengapa Hukum Allah yang lainnya (seperti hukum rajam, Huduud) tidak dijalankan? Sehingga seolah-olah Syari’at Allah hanyalah sholat, membaca Al Qur’an, shodaqoh, haji saja, padahal ada Hukum-hukum Allah yang lain, yang masih ditinggalkan oleh kaum muslimiin, tidak diketahui dan tidak dijalankan oleh kaum muslimin.
Lalu apa jawaban kita, jika kelak kita menghadap kepada Allah سبحانه وتعالى?
Kita mengucapkan “Laa illaaha illallah” tetapi hukum yang dipakai oleh kaum muslimiin di Indonesia bukanlah hukum yang berasal dari Allah سبحانه وتعالى, kita mengaku mu’miin tetapi jauh dari Hukum Allah سبحانه وتعالى. Padahal Allah سبحانه وتعالى dalam ayat tersebut diatas menanyakan: “Apakah Hukum Jahiliyyah yang kamu cari?”
Itulah perkara yang harus kita renungkan, sungguh bukan urusan mudah. Ini adalah urusan Aqiidah,urusan keyakinan, yang seharusnya terpancar melalui sikap-sikap kita sebagai umat Muhammad صلى الله عليه وسلم.
Maka renungkan apa yang tercantum dalam Surat Al An’aam ayat 82 :
الَّذِينَ آمَنُواْ وَلَمْ يَلْبِسُواْ إِيمَانَهُم بِظُلْمٍ أُوْلَـئِكَ لَهُمُ الأَمْنُ وَهُم مُّهْتَدُونَ
Artinya:
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur-adukkan iman mereka dengan kedzoliman (syirik), mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk”.
Maksudnya, mereka orang yang beriman dan tidak mencampur-adukkan dengan syirik maka mereka berhak mendapatkan perlindungan kemanan dari Allah سبحانه وتعالى baik di dunia maupun di Akhirat kelak.
Jika orang menjadi musyrik (menyekutukan Allah سبحانه وتعالى) atau jika orang mempersamakan Allah سبحانه وتعالى dengan yang lain, maka mereka pasti tidak pernah akan mendapatkan keamanan, dan orang itu bukanlah orang yang patut mendapatkan petunjuk dari Allah سبحانه وتعالى.
Dengan kata lain: Keamanan didapatkan dengan Tauhid. Demikian pula Hidayah didapatkan denganTauhid. Maka bila kita ingin mendapatkan perlindungan dan Hidayah dari Allah سبحانه وتعالى, jangan kita campur-adukkan keimanan kita dengan syirik.
Hadits dari ‘Utbah bin Maalik رضي الله عنه, diriwayatkan oleh Imaam Muslim dan Imaam Al Bukhooy dan lafadznya dinukil
dari Imaam Muslim (Haditsnya panjang) Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
فَإِنَّ اللَّهَ قَدْ حَرَّمَ عَلَى النَّارِ مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ. يَبْتَغِى بِذَلِكَ وَجْهَ اللَّهِ
“Sesungguhnya Allah telah mengharamkan api neraka kepada siapa yang mengatakan “Laa illaaha illallah” dan ia hanya mencari ridho Allah سبحانه وتعالى semata”.
Jadi orang yang Tauhidnya karena orang lain, bukan karena Allah سبحانه وتعالى, atau karena selain Allah سبحانه وتعالى, maka orang tersebut belum bisa mendapatkan jaminan masuk surga. Orang yang ingin diharamkan masuk neraka, maka ia harus memurnikan Tauhid-nya.
Maka marilah kita memurnikan Tauhid kita, semoga Allah سبحانه وتعالى memberikan keamanan di dunia maupun di akhirat dan Allah سبحانه وتعالى memberikan Hidayah (petunjuk) kepada jalan yang lurus, sehingga kita termasuk orang Ahlul Jannah dan dilindungi dari api neraka. Wallaahu a’lam bish showab
ustadz-azmi ulim