Asma binti Abu Bakar, adalah putri Abu Bakar dari istrinya, Qutailah binti Abdul Uzza al Amiriyyah yang telah diceraikan semasa jahiliah. Ia lebih tua sepuluh tahun dari adiknya Aisyah RA, salah satu dari Ummahatul Mukminin. Ketika Abu Bakar dan Rasulullah SAW berangkat hijrah ke Madinah, mereka berdua bersembunyi di Gua Tsur selama tiga hari. Kaum Quraisy yang kehilangan jejak mereka berdua mendatangi rumah Abu Bakar, begitu pintu dibuka oleh Asma binti Abu Bakar, Abu Jahal berkata, "Dimana ayahmu??"
"Demi Allah, aku tidak tahu dimana ayahku berada…!!" Kata Asma.
Abu Jahal sangat marah dengan jawaban singkat ini, ia mengangkat tangannya dan menampar dengan keras pipi Asma sehingga anting-antingnya terlepas. Setelah itu mereka berlalu dan memerintahkan untuk memblokade semua jalan keluar dari Makkah.
Tidak lama kemudian, kakeknya Abu Quhafah, ayah dari Abu Bakar, mendatangi cucunya tersebut karena ia mendengar kalau Abu Bakar telah meninggalkan Kota Makkah. Ia khawatir kalau cucu-cucunya terlantar setelah ditinggal pergi ayahnya. Ia menanyakan kepada Asma tentang harta yang ditinggalkan untuk biaya kehidupan mereka. Asma sangat memahami kekhawatiran yang dirasakan oleh kakeknya ini, dan sebenarnyalah Abu Bakar telah membawa hampir semua harta kekayaannya sebanyak 6.000 dirham. Karena ia bersiasat untuk menenangkan hati kakeknya. Ia meletakkan batu kerikil di lubang penyimpanan uang ayahnya dan menutupinya dengan kain. Setelah itu ia menuntun kakeknya yang telah buta tersebut dan meletakkan tangannya di lubang penyimpanan uang sambil berkata, "Inilah harta yang ditinggalkan untuk kami, Kakek!!"
Abu Quhafah meraba kerikil yang tertutup kain dalam lubang penyimpanan, dan menganggapnya sebagai uang dirham yang cukup banyak. Karena itu ia berkata, "Baguslah kalau ia meninggalkan ini untuk kalian…!!"
Setelah bersembunyi selama tiga hari di Gua Tsur, Nabi SAW dan Abu Bakar memutuskan untuk berangkat ke Madinah. Asma mempersiapkan perbekalan, makanan dan minuman untuk perjalanan beliau dan ayahnya, lalu membawanya ke Gua Tsur. Tetapi ia lupa tidak membawa tali untuk mengikatkan perbekalan tersebut ke tunggangan, karena itu ia membelah dua ikat pinggangnya. Satu potong digunakan untuk mengikat perbekalan ke tunggangan, satunya lagi dipakainya sebagai ikat pinggang. Melihat apa yang dilakukannya ini, Nabi SAW menggelarinya "Dzaatun Nithaaqain" (yang memiliki dua ikat pinggang).
Semua peristiwa itu terjadi ketika Asma dalam keadaan hamil, bahkan suaminya, Zubair bin Awwam telah terlebih dahulu hijrah bersama kaum muslimin lainnya, sebagaimana diperintahkan Rasulullah SAW. Sungguh pengorbanan yang tidak terkira dari wanita perkasa ini. Dan semua itu dilakukannya dengan ringan dan ikhlas, karena kecintaannya kepada Allah dan Rasul-Nya.
Beberapa hari berlalu setelah peristiwa itu, saat itu Nabi SAW beserta Abu Bakar telah meninggalkan tenda Ummu Ma'bad, terdengar suara yang menggema seantero Makkah, suara syair yang diucapkan berulang-ulang, "Allah Penguasa Arsy melimpahkan pahala yang terbaik, dua orang yang lemah lembut lewat di tenda Ummu Ma'bad, mereka melanjutkan perjalanan setelah singgah sejenak, sungguh beruntung orang yang menyertai Nabi Muhammad (SAW), ceritakan apa yang disingkirkan Allah dari kalian, karena perbuatan orang-orang yang tidak mendapat balasan, Bani Ka'b benar-benar menjadi hina karena anak-anak gadisnya, tanah yang subur adalah tempat duduk bagi mereka yang percaya, tanyalah saudari kalian tentang domba dan bejananya, jika kalian tanyakan domba itu tentu akan melihatnya…"
Hampir semua penduduk Makkah keluar dari rumahnya untuk mencari siapa gerangan yang mengucapkan syair tersebut, tetapi mereka tidak bisa menemukan seorangpun. Padahal syair itu masih saja jelas terdengar, dan mereka bisa mengikuti jejak suaranya yang berpindah-pindah. Asma binti Abu Bakar juga keluar dari rumahnya, dan ia melihat sosok laki-laki yang bergerak cepat di dataran rendah Makkah sambil melantunkan syair tersebut. Tidak berapa lama ia telah tampak di dataran tinggi Makkah, masih tetap melantunkan syair tersebut. Namun demikian hanya Asma yang melihatnya, sementara penduduk Makkah lainnya hanya menemukan jejak-jejaknya di pasir, dan juga jejak suaranya. Melihat gerakannya yang cepat, tentulah ia bukan manusia biasa, layaknya jin saja atau malaikat, Wallahu alam. Yang jelas, dari syair-syair tersebut, Asma dan orang-orang muslim yang masih tinggal di Makkah mengetahui bahwa Nabi SAW berada dalam perjalanan ke Madinah, dan berada di jarak yang aman dari pengejaran kaum Quraisy.
Beberapa hari berlalu, setelah suasana kota menjadi tenang kembali karena hijrahnya Nabi SAW dan Abu Bakar, Asma dan saudara-saudaranya menyusul hijrah ke Madinah beserta beberapa orang muslim yang masih tertinggal. Setelah beberapa hari tinggal di Madinah, ia melahirkan seorang bayi laki-laki yang diberi nama Abdullah. Kaum muslimin, baik dari kalangan Anshar ataupun Muhajirin menyambut gembira kelahiran Abdullah bin Zubair seakan memperoleh "durian runtuh", mereka mengelu-elukannya bahkan membawanya keliling kota Madinah melewati kampung-kampung orang Yahudi. Apa sebabnya begitu "heboh" penyambutan kelahiran bayi Asma ini?
Orang-orang Yahudi di Madinah ternyata tidak senang dengan kehadiran Nabi SAW dan kaum Muhajirin di sana. Mereka mengatakan bahwa dukun-dukun Yahudi telah menyihir orang-orang muslim tersebut sehingga mereka semua akan mandul. Karena itulah ketika Asma melahirkan putranya, kaum muslimin menyambutnya dengan gegap-gempita dan membawanya melewati kampung-kampung Yahudi untuk membuktikan bahwa apa yang mereka katakan hanyalah kebohongan semata-mata.
Asma sempat mengalami masa-masa sulit dalam kehidupannya, kemudian berbalik menjadi kelimpahan, tetapi semua itu tidak merubah kesalehannya dan ia tetap teguh memegang kebenaran. Allah memanjangkan usia Asma dan ia mengalami masa-masa fitnah, hingga saat beralihnya kekuasaan ke tangan dinasti Bani Umayyah. Ketika ia melahirkan putranya, Abdullah bin Zubair, dan putranya tersebut dibawa kepada Rasulullah SAW, beliau melihat suatu gambaran jalan kehidupan putranya tersebut, beliau bersabda tentang Abdullah bin Zubair, "Dia laksana domba, yang dikelilingi oleh harimau yang berbulu domba….!!"
Setelah peristiwa Karbala dan Harrah di Madinah, disusul kemudian dengan kematian Yazid bin Muawiyah, masyarakat Hijaz dan sekitarnya memba'iat putra Asma, Abdullah bin Zubair, sebagai khalifah dengan kedudukannya di kota Makkah. Sementara di Syam, Bani Umayyah mengangkat Marwan bin Hakam, kemudian digantikan oleh putranya, Abdul Malik bin Marwan. Khalifah Abdul Malik ini membentuk pasukan besar berkekuatan 40.000 orang dengan komandannya yang bengis dan kejam, Hajjaj bin Yusuf ats Tsaqafi, untuk menyerang Makkah, khususnya untuk membunuh Abdullah bin Zubair.
Pasukan Syam ini melakukan pengepungan kota Makkah selama berbulan-bulan sambil menyerangnya dengan manjaniq (katapel besar dengan peluru batu-batuan dan terkadang berapi), sehingga sebagian Masjidil Haram dan Ka'bah mengalami kerusakan. Akibat pengepungan ini, sebagian besar anggota pasukan Ibnu Zubair menyerah atau membelot ke pasukan Hajjaj karena kekurangan makanan dan kelaparan. Tetapi ada juga karena berbagai tawaran kenikmatan duniawiah yang ditawarkan oleh Hajjaj.
Para pengikut yang setia mendampingi Ibnu Zubair makin sedikit, dan ia mengkhawatirkan keselamatan mereka. Tetapi mereka ini tidak mau meninggalkannya sendirian sebagaimana teman-temannya walau nyawa harus menjadi taruhannya. Abdullah bin Zubair menemui ibunya, Asma binti Abu Bakar yang telah berusia sekitar 97 tahun dan telah buta matanya, untuk mendiskusikan masalah yang dihadapinya.
Ibnu Zubair menceritakan situasi yang sedang dihadapinya itu kepada ibunya, dan berbagai kemungkinan yang terjadi pada pasukan yang dipimpinnya, yang jumlahnya memang sangat sedikit. Mendengar penuturan putranya tersebut, Asma jadi teringat dengan "ramalan" Nabi SAW saat melahirkannya. Inilah masa yang digambarkan oleh Rasulullah SAW untuk putranya, dan ternyata ia ditakdirkan untuk menyaksikan kejadian tragis tersebut.
Sebagai seorang ibu yang berhati tegar dan sangat teguh memegang kebenaran, Asma berkata, "Demi Allah, wahai anakku, engkau lebih tahu tentang dirimu. Jika engkau berada di jalan kebenaran, dan engkau menyeru kepada kebenaran tersebut, teruskanlah langkahmu, sahabat-sahabatmu telah banyak yang gugur demi kebenaran tersebut. Janganlah engkau mau dipermainkan oleh budak-budak Bani Umayyah. Tetapi jika sebaliknya, engkau hanya menginginkan dunia, engkau adalah seburuk-buruknya orang yang mencelakakan dirimu sendiri dan juga orang-orang yang berjihad bersamamu…"
Tentu saja Abdullah bin Zubair bukan tipe yang kedua, yang hanya mementingkan kepentingan duniawiah. Ketika ia menyatakan kekhawatirannya bahwa Hajjaj akan menyalib dan menyayat-nyayat tubuhnya setelah kematiannya, dengan tegas ibu yang perkasa ini berkata, "Wahai anakku, sesungguhnya kambing itu sama sekali tidak merasakan sakitnya dikuliti setelah ia disembelih. Teruskanlah langkahmu, dan mintalah petolongan kepada Allah…!!"
Abdullah bin Zubair menjadi lega, karena sesungguhnya yang dikhawatirkan adalah perasaan ibunya. Sesaat kemudian Asma berkata lagi kepada putranya, "Aku memohon kepada Allah, semoga ketabahan hatiku ini menjadi kebaikan bagimu, baik engkau yang mendahului aku menghadap Allah, atau aku yang mendahuluimu…."
Sesaat kemudian Asma berdoa, "Ya Allah, semoga ibadahnya sepanjang malam, dan puasanya sepanjang siang, serta baktinya kepada dua orang tuanya, Engkau menerimanya disertai dengan cucuran Rahmat-Mu. Ya Allah, aku serahkan segala sesuatu tentang dirinya kepada kekuasaan-Mu, dan aku rela menerima keputusan-Mu. Ya Allah, berilah aku pahala atas segala perbuatan Abdullah bin Zubair ini, pahalanya orang-orang yang sabar dan bersyukur…."
Dengan ucapan dan doa yang dipanjatkan ibunya ini, langkah dan hati Ibnu Zubair terasa lepas, tidak ada lagi ganjalan apapun pada dirinya untuk memperoleh kesyahidan yang didambakannya. Mereka berpelukan, dan demi diketahuinya bahwa anaknya masih memakai baju besi, Asma memerintahkan untuk melepaskannya, sambil berkata, "Apa-apaan ini Abdullah..!! Orang yang memakai ini, hanyalah mereka yang tidak menginginkan apa yang sebenarnya engkau inginkan…!!"
Ibnu Zubairpun melepaskan baju besi yang dipakaianya. Setelah mengucapkan salam perpisahan dengan ibunya, ia bersama sisa pasukannya yang tidak seberapa terjun menghadapi pasukan Hajjaj. Dan seperti telah diperkirakan, mereka menemui syahidnya di Tanah Haram Makkah, dan Hajjaj menyalib serta menyayat tubuhnya. Asma dengan tegar berdiri di tempat penyaliban putranya, sambil terus mendoakan ampunan bagi dirinya. Sementara itu Hajjaj mendekati Asma sambil berendah diri dan berkata, "Wahai Ibu, Amirul mukminin Abdul Malik bin Marwan memberiku wasiat untuk memperlakukan ibu dengan baik…maka, apakah ada keperluan ibu kepada kami?"
Dengan suara tegas berwibawa, Asma berkata, "Aku bukan ibumu, aku adalah ibu dari orang yang engkau salib dalam tiang karapan itu….Hanya aku ingin menyampaikan satu ucapan Rasulullah SAW kepadamu, beliau bersabda : ' Akan muncul dari Tsaqif, seorang pembohong dan seorang durjana/bengis…' Tentang siapa pembohong itu, telah kita ketahui bersama..(yakni, Mukhtar bin Abi Ubaid ats Tsaqafi yang mengaku sebagai nabi). Sedangkan sang durjana/bengis, sepengetahuanku adalah engkau orangnya….!!"
Hajjaj tidak berkutik dengan perkataan Asma ini dan ia berpaling pergi. Kemudian Asma memerintahkan untuk menurunkan jenazah anaknya dan menguburkan dengan layak. Tetapi sebagian riwayat lain menyebutkan, Hajjaj memenggal kepala Ibnu Zubair, dan mempersembahkannya kepada Abdul Malik bin Marwan di Syam.
Asma binti Abu Bakar wafat beberapa hari setelah kematian putranya tersebut, yakni tanggal 17 Jumadil Awal tahun 73 hijriah. Menurut sebagian riwayat, ia merupakan sahabiah (sahabat wanita) yang paling terakhir meninggal dunia