Suatu contoh yang sederhana dan paling mudah untuk membedakan baik dan benar adalah apabila dalam suatu masyarakat tertentu minuman keras sudah menjadi kebiasaan untuk menjamu tamu atau minum bersama sebagai tanda persaudaraan maka apabila tamu tidak ikut minum bersama mereka maka akan dikatakan tidak baik atau tidak bermasyarakat sehingga kadang bagi mereka yang tidak mau "bermasyarakat" akan dikucilkan. Dalam kehidupan masyarakat semacam itu apabila ada warga atau tamu yang mengikuti apa yang sudah menjadi kebiasaan tersebut maka akan dikatakan "baik", namun hal tersebut jelas tidak benar karena melanggar larangan Alloh. Begitu juga perjudian apabila dalam suatu masyarakat, berjudi sudah menjadi tradisi bila ada suatu hajatan maka orang yang tidak ikut berjudi akan dikatakan tidak bermasyarakat, tidak baik karena tidak mau ikut berjudi, tetapi orang yang tidak ikut berjudi dan meminum minuman keras inilah yang benar. Contoh lain adalah apabila dalam suatu lingkungan kerja dimana seorang pimpinan mengadakan rapat tanpa memberi kesempatan seseorang untuk sholat bahkan melarang karyawannya untuk sholat maka orang yang sholat akan dikatakan tidak baik dianggap tidak taat pimpinan dan aturan atau apapun istilahnya, namun apapun yang dikatakan orang karyawan inilah yang benar karena tidak melalaikan kewajiban kepada Allah sebagai pencipta dan penguasa yang sebe-narnya meskipun terkadang dengan melakukan kewajiban terhadap yang diperintahkan Allah Ta’ala akan membawa konsekwensi yang tidak enak dihati.
Larangan untuk meninggalkan minuman keras dan berjudi serta perintah untuk menegakkan sholat adalah tetap berlaku sepanjang zaman meskipun semua orang menjalankan larangan dan meninggalkan perintah Alloh tersebut. Contoh lain yang sekarang dikenal dengan melestarikan budaya seperti memandikan pusaka kraton atau sering disebut jamasan di bulan Muharam, dan beberapa acara ritual lainnya yang menggunakan sesaji adalah perbuatan syirik maka apabila seorang yang terlibat didalamnya berarti telah melakukan kesyirikan. Bagi masyarakat yang bentuk-bentuk kesyirikan tersebut telah menjadi acara tahunan apabila tidak mengikuti acara-acara tersebut akan dikatakan tidak ikut melestarikan budaya, tidak menghormati nenek moyang atau leluhur dan sebagainya. Dan mereka apabila diberi peringatan bahwa apa yang dilakukannya adalah perbuatan syirk, mereka akan berkata seperti yang Alloh Ta’ala firmankan,
” Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?". (Qs. Al Baqarah (2) : 170) “
Sesungguhnya orang-orang yang berani menentang kesyirikan itulah yang benar, karena mereka lebih mengutamakan aturan Allah Ta’ala sebagai penguasa yang sebenarnya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.
Dari gambaran beberapa contoh diatas dapat difahami bahwa penilaian yang didasarkan atas pendapat kebanyakan manusia itulah yang sering dikatakan "kebaikan", sedangkan penilaian yang didasarkan atas apa yang diturunkan Allah Ta’ala dan yang dicontohkan Rasullulloh itulah "kebenaran". Sehingga suatu kebaikan belum tentu benar sedangkan kebenaran pasti akan menjadi kebaikan. "Kebenaran" bersumber dari Al-Qur'an dan Hadist Rasullulloh, sedangkan "Kebaikan" bersumber dari akal dan hawa nafsu manusia. Allah Ta’ala berfirman dalam Al Qur’an:
“Dan katakanlah :’Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu, maka barangsiapa ingin beriman hendaklah ia beriman dan barangsiapa yang ingin kafir biarlah ia kafir.” (Qs. Al Kahfi (18) : 29)
Untuk menetapi kebenaran diperlukan keyakinan dan kemantapan hati yang kuat karena menjalankan kebenaran seringkali berbeturan dengan masyarakat yang terkadang berbuah ejekan, cemoohan, pengusiran, penyiksaan, penjara bahkan sampai ancaman pembunuhan. Banyak contoh orang-orang terdahulu yang dalam menyampaikan dan menjalankan kebenaran mendapat suatu cemoohan hingga ancaman pembunuhan serta pengusiran tidak terkecuali para Nabi dan Rosul pilihan dan kekasih Alloh.
Tengoklah kisah Nabi akhir zaman Muhammad Shollallohu ‘Alaihi Wasalam, sebelum menyatakan bahwa dirinya adalah utusan Allah, beliau mendapat gelar orang yang dipercaya tetapi setelah menyampaikan kebenaran beliau dikecam dan dimusuhi oleh saudaranya sendiri dan kaumnya serta dijuluki orang gila. Begitu juga kisah nabi Isa ‘Alaihi Salam, yang karena menyampaikan kebenaran harus rela dikejar-kejar kaumnya hingga Allah Ta’ala mengangkatnya. Atau lihatlah kisah nabi Musa ‘Alaihi Salam,karena menyampaikan kebenaran harus berurusan dengan raja, penguasa negerinya yang sekaligus orang tua angkatnya. Sungguh kisah nabi Musa ‘Alaihi Salam ini akan dikatakan tidak baik bagi mereka yang berpikir berdasar atas kebanyakan orang, pasti mereka akan mengatakan orang yang tidak tahu balas budi tetapi itulah kebenaran. Terkadang menyampaikan kebenaran harus berhadapan dengan saudara, orang tua, istri bahkan penguasa. Contoh lain adalah kisah Nabi Ibrahim ‘Alaihi Salam yang menghancurkan patung-patung sembahan manusia saat itu, beliau harus berhadapan dengan bapaknya sendiri yang akhirnya juga harus berhadapan dengan penguasa saat itu.Begitulah kebanyakan jalan para nabi dan Rosul dalam menyampaikan ajarannya senantiasa berhadapan dengan kebanyakan kaumnya terutama kaum bangsawan sebagai penguasa dan hartawan sebagai majikan.
Dalam kehidupan sekarang ini, berapa orang yang berani menyatakan kebenaran, mengajak kepada yang ma'ruf dan mencegah dari kemusyrikkan. Disaat pimpinan mengajak kepada kemusyrikan dengan cara mempertu-hankan budaya memuja keris, pedanyangan atau pun tradisi syirk lainnya memotong hewan untuk tumbal gunung atau pun laut agar tidak marah dan masih banyak lainnya, yang jelas-jelas syirk tetapi seberapa banyak yang berani menolak perintah pimpinan tersebut. Barangsiapa berani mengatakan bahwa apa yang dilakukan pimpinan adalah syirk tentu akan dikatakan orang yang tidak baik,tidak taat pimpinan,tidak menghormati nenek moyang dan sebagainya sehingga terkadang harus berhadapan dengan masyarakat, pimpinan atau penguasa setempat yang bisa-bisa berbuah pemecatan dari pekerjaan dan hukuman lain seperti yang dialami oleh para Nabi dan Rosul diatas.
Semua bentuk penghinaan sampai hukuman bahkan ancaman pembunuhan yang dialami pembela kebenaran bukan merupakan kesalahan tapi ujian untuk meninggikan derajatnya serta menghapus dosa-dosanya, bayangkan apa yang terjadi pada Nabi Yusuf ‘Alaihi Salam apabila mengikuti bujukan untuk mendapatkan kenikmatan sesaat oleh perempuan nan jelita yang telah dikuasai syahwat ? Tentu tidak akan mendapatkan derajat yang tinggi dan namanya tidak akan terabadikan dalam Al-Qur'an. Mampukah kita menjadi penyeru kebenaran ? Dengan segala resiko dan konsekwensinya ? Orang yang memperjuangkan kebenaran terkadang dianggap berpi-kiran sempit atau lemah akal , untuk menghadapi cemoohan dan perkataan orang yang lemah iman serta pengikut hawa nafsunya, maka katakan seperti perkataan Nabi Yaqub ‘alaihi salam,
“ Sungguh aku benar-benar mencium bau Yusuf, barangkali kalian menganggapku lemah akal.” ( QS. Yusuf (14) : 94)
Ibnu Qoyim rh.berkata: “Tempuhlah jalan kebenaran dan jangan merasa asing dengan sangat sedikitnya orang yang menempuhnya. Setiap kali engkau merasa asing dalam kesendirianmu, lihatlah teman-temanmu yang sudah berlalu (dalam menegakkan kebenaran) dan berusahalah untuk menyusul mereka, jangan menoleh kepada selain mereka, karena itu tidak akan memberikan manfaat sedikitpun kepadamu. Jika orang meneriakimu ketika engkau diatas jalan yang engkau tempuh (jalan kebenaran), jangan menoleh kepada mereka (orang yang tidak tahu jalan kebenaran), sebab setiap engkau menoleh,mereka akan menahan dan menghalangimu.”
Dari kisah-kisah diatas dan masih banyak kisah lain yang memberi gambaran bahwa suatu kebenaran terkadang baru bisa difahami dan diterima oleh keba-nyakan orang setelah memakan banyak korban dan memakan waktu yang lama. Bahkan baru bisa berkembang setelah pembawa kebenaran telah tiada. Terkadang kebenaran itu tidak sesuai dengan apa yang kita inginkan,dan kebenaran itu terkadang terasa menyakitkan dan suatu yang kita benci, tetapi boleh jadi kita membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagi kita, dan boleh jadi (pula) kita menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagi kita. Allah Ta’ala telah memberitahukan hal tersebut dengan firman-Nya :
“ Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS.(2) Al Baqoroh :216)
Berpegang dari ayat diatas bagi seorang muslim sudah sepantasnya dalam segala perilakunya disesuaikan dengan Al Qur’an dan Hadist yang sahih, meskipun terkadang terasa berat dalam hat,i karena hanya dengan itu dia akan selamat dari azab Alloh Ta’ala. Wallohu’alam bi showab.