Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Al-Qur’an dan as-Sunnah adalah dua sumber hukum Islam yang menjadi
pegangan hidup umat Islam. Allah sendiri yang akan menjaga al-Qur’an
dari pengubahan, penambahan atau pengurangan, walaupun hanya satu huruf
atau satu harakat saja. Begitu pula dengan As Sunnah (al-Hadits)
sebagai penjaga makna atau penjelas al-Qur’an juga akan terjaga. Maka
tidak ada seorangpun di ujung dunia yang membuat-buat hadits dusta
kecuali akan terkuak kepalsuannya.
Bagaimana Hadits Bisa Terjaga?
Hadits terjaga dengan adanya sanad hadits. Dengan sanad itulah para ulama ahli hadits bisa membedakan manakah hadits shahih, hadits dhaif (lemah) dan hadits maudhu’
(palsu). Sanad adalah susunan orang-orang yang meriwayatkan hadits.
Para periwayat tersebut diperiksa satu persatu secara ketat tentang
riwayat hidupnya, apakah ia seorang jujur ataukah pendusta, hafalannya
kuat ataukah lemah dan pemeriksaan ketat lainnya. Jika seluruh rawi
dalam sanad hadits lulus pemeriksaan maka hadits tersebut berstatus
shahih yang wajib kita jadikan pegangan hidup. Dan dengan demikian
tersingkaplah hadits-hadits palsu bikinan para pendusta yang sengaja
membuatnya untuk merusak agama Islam. Hanya orang-orang jahil saja yang
bisa tertipu oleh mereka.
Bagaimana Kita Menyikapi Hadits?
Sebagaimana kita bersikap ilmiah dalam perkara-perkara dunia maka
kita juga harus bersikap ilmiahlah dalam perkara agama. Jangan
mengambil sebuah hukum atau syariat yang bersumber dari hadits lemah
apalagi hadits palsu. Atau ikut-ikutan menyebarkan hadits-hadits lemah
dan palsu tanpa menjelaskan status hadits itu. Bahkan ada yang dengan
mudahnya mengatakan: “Hadits shahih!” padahal hadits tersebut palsu. subhanallah!! Perbuatan seperti ini telah diancam dalam sebuah hadits yang mulia, “Barang siapa yang sengaja berdusta atas namaku maka hendaklah ia mengambil tempat tinggalnya di neraka.”
(HR. Bukhari juz 1 dan Muslim juz 1). Hadits ini statusnya shahih dan
mutawatir (diriwayatkan dari banyak jalan). Betapa banyak hadits lemah
dan palsu yang beredar di kalangan umat Islam karena mereka tidak
selektif dalam mendengar dan mengambil hadits, akibatnya adalah
munculnya masalah dan penyimpangan dalam kehidupan bermasyarakat,
beribadah, berakhlak dan berakidah.
Maraknya Hadits Dhoif dan Maudhu’
Di negeri kita ini banyak sekali hadits-hadits lemah dan palsu yang
laris di telinga masyarakat. Di samping ketidaktahuan tentang ilmu
hadits, banyaknya para da’i yang menggembor-gemborkan hadits-hadits
tersebut memberikan andil dalam menyemarakkannya. Salah satu contohnya
ialah hadits, “Carilah ilmu sekalipun ke negri Cina.” Hadits ini adalah
hadits mungkar dan batil, tidak ada asal usulnya serta tidak ada jalan
yang menguatkannya. Demikianlah para imam ahli hadits telah
mengomentari hadits ini seperti Imam Bukhari, Al Uqaili, Abu Hatim,
Yahya bin ma’in, Ibnu Hibban dan Ibnu Jauzi. Selain dari sisi sanad yang
lemah, maka hadits inipun juga memiki cacat dalam maknanya. Sebab
negeri maju ketika itu adalah romawi dan persi, bagaimana Rasulullah
hendak memerintahkan sahabatnya untuk belajar ke negeri China yang
bukan termasuk negeri adidaya? Dan bagaimana pula Rasulullah menyuruh
sahabatnya belajar pergi ke negeri kafir yang jelas-jelas akan
membahayakan akidahnya? Wallahul musta’an!
Membedakan hadist palsu dhaif dan shahih
Yang bisa menetapkan status sebuah hadits bukanlah kita yang awam
ini, melainkan para ulama hadits. Mereka saja yang punya kapasitas,
legalitas, otoritas dan
tools untuk melakukannya. Dan buat kita, cukuplah kita membaca karya-karya agung mereka lewat kitab-kitab hasil
naqd (kritik) mereka.
Menetapkan status suatu hadits dikenal dengan istilah
al-hukmu ‘alal hadits. Upaya ini adalah bagian dari kerja besar para ulama hadits (
muhadditsin). Mereka punya sekian banyak kriteria dalam menentukan derajat suatu hadits.
Secara umum, studi ini dilakukan pada dua sisi. Yaitu sisi para perawinya dan juga sisi
matan haditsnya, atau isi materinya. Jadi yang dinilai bukan hanya salah satunya saja, melainkan keduanya.
Keshahihan suatu hadits akan dinilai pertama kali dari masalah siapa
yang meriwayatkannya. Dan yang dinilai bukan hanya perawi pada urutan
paling akhir saja. Akan tetapi mulai dari level pertama yaitu para
shahabat, kemudian level kedua yaitu para tabi’in, kemudian level ketiga
yaitu para tabi’it-tabi’in dan seterusnya hingga kepada perawi paling
akhir atau paling bawah.
Nama para perawi paling akhir itu adalahyang sering kita dengar
sebagai hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, An-Nasa’i, Ibnu
Majah, At-Tirmiziy, Abu Daud dan lainnya. Akan tetapi, yang dijadikan
ukuran bukan semata-mata para perawi di level paling bawah atau paling
akhir saja. Melainkan keadaan para perawi dari level paling atas hingga
paling bawah dijadikan objek penelitian. Khususnya pada level di bawah
para shahabat. Sebab para ulama sepakat bahwa para shahabat itu
seluruhnya orang yang
‘adil dan
tsiqah. Sehingga yang dinilai hanya dari level tabi’in ke bawah saja.
Satu persatu biografi para perawi hadits itu diteliti dengan cermat.
Penelitian dipusatkan pada dua kriteria. Yaitu kriteria al-’adalah dan
kriteria
adh-dhabth.
a. Kriteria
al-’adalah
Kriteria pertama adalah masalah
‘adalah. Maksudnya sisi nilai ketaqwaan, keIslaman, akhlaq, ke-
wara’-an,
kezuhudan dan kualitas pengamalan ajaran Islam. Kriteria ini penting
sekali, sebab ternyata kebanyakan hadits palsu itu lahir dari mereka
yang kualitas pengamalan keIslamannya kurang.
Misalnya mereka yang sengaja mengarang atau memalsu hadits demi
menjilat penguasa. Atau demi kepentingan politik dan kedudukan. Atau
untuk sekedar mengejar kemasyhuran. Orang-orang yang bermasalah dari
segi
al-’adalah ini akan dicatat dan dicacat oleh sejarah. Mereka akan dimasukkan ke dalam daftar
black-list bila ketahuan pernah melakukan hal-hal yang tidak sejalan dengan aqidah, akhlaq dan etika Islam.
Bahkan para ulama sampai melahirkan disiplin imu khusus yang disebut ilmu
al-jarhu wa at-ta’dil.
Ilmu ini mengkhususkan diri pada database catatan hitam seseorang yang
memiliki cacat atau kelemahan. Orang-orang yang dianggap cacat
mendapatkan julukan khas dalam ilmu ini. Misalnya si fulan adalah
akzabun nass (manusia paling pendusta), fulan
kazzab (pendusta), si fulan
matruk (haditsnya ditinggalkan) dan sebagainya.
b. Krieria
adh-dhabth
Kriteria
adh-dhabth adalah penilaian dari sisi kemampuan
seorang perawi dalam menjaga originalitas hadits yang diriwayatkanya.
Misalnya, adakah dia mampu menghafal dengan baik hadits yang
dimilikinya. Atau punyakah catatan yang rapi dan teratur. Sebab boleh
jadi seorang perawi memiliki hafalan yang banyak, akan tetapi tidak
dhabith atau tidak teratur, bahkan boleh jadi acak-acakan bercampur baur
antara rangkaian perawi suatu hadits dengan rangkaian perawi hadits
lainnya.
Biasanya dari sisi
adh-dhabth ini para perawi memang orang
yang shaleh. Tetapi kalau hafalan atau database periwayatan haditsnya
acak-acakan, maka dia dikatakan tidak
dhaabith. Cacat ini
membuatnya menempati posisi lemah dalam daftar para perawi hadits.
Hadits yang diriwayatkan lewat dirinya bisa saja dinilai
dha’if atau lemah.
Kebutuhan pada Ensiklopedi Hadits Lengkap
Untuk mendapatkan kumpulan hadits yang shahih, kita bisa membuka
kitab yang disusun oleh para ulama. Di antara yang terkenal adalah kitab
Ash-Shahih yang disusun oleh Al-Imam Al-Buhkari dan kitab
Ash-Shahih
yang disusun oleh Imam Muslim. Akan tetapi bukan berarti semua
haditsmenjadi tidak shahih bila tidak terdapat di dalam kedua kitab ini.
Sesungguhnya, kedua kitab ini hanya menghimpun sebagian kecil dari
hadits-hadits yang shahih. Di luar kedua kitab ini, masih banyak lagi
hadits yang shahih.
Keberadaan kedua kitab itu meski sudah banyak bermanfaat, namun masih
diperlukan kerja keras para ulama untuk mengumpulkan semua hadits yang
ada di muka bumi, lalu satu per satu diteliti para perawinya. Dan
seluruhnya disusun di dalam suatu database. Sehingga setiap kali kita
menemukan suatu hadits, kita bisa lakukan
searching, lalu tampil
matan-nya
beserta para perawinya dengan lengkap mulai dari level shahabat hingga
level terakhir, sekaligus juga catatan rekord tiap perawi itu secara
legkap sebagaimana yang sudah ditulis oleh para ulama.
Yang sudah ada sekarang ini baru program sebatas hadits-hadits yang ada di dalam 9 kitab saja, yang dikenal dengan
kutubus-sittah.
Program ini sudah lumayan membantu, karena bisa dikemas dalam satu
keping CD saja. Bahkan Kementerian Agama, Wakaf, Dakwah dan Irsyad Saudi
Arabia membuka situs yang memuat database kesembian kitab hadits ini,
sehingga bisa diakses oleh siapa saja dan dari mana saja di seluruh
dunia secara gratis.
http://hadith.al-Islam.com
Sayangnya, hadits-hadits yang ada di program ini masih terbatas pada 9
kitab hadits saja, meski sudah dilengkapi dengan kitab-kitab
penjelasnya (
syarah). Padahal ada begitu banyak hadits yang belum tercantum di dalam
kutubus-sittah. Lagi pula program itu pun belum dilengkapi dengan
al-hukmu ‘alal hadits.
Baru sekedar membuat database hadits yang terdapat di 9 kitab itu. Dan
meski setiap hadits itu sudah dilengkapi nama-nama perawinya, namun
belum ada hasil penelitian atas status para perawi itu. Jadi
hadits-hadits itu masih boleh dibilang mentah.
Proyek ini cukup besar untuk bisa dikerjakan oleh perorangan. Harus
ada kumpulan team yang terdiri dari ribuan ulama hadits dengan
spesifikasi ekspert. Mereka harus bekerja
full-time untuk jumlah jam kerja yang juga besar. Tentu saja masalah yang paling besar adalah anggaran.
Sampai hari ini, sudah ada beberapa lembaga yang merintisnya. Para
ulama di Al-Azhar Mesir, para ulama di Kuwait, para ulama di Saudi dan
di beberapa tempat lain, masing-masing sudah mulai mengerjakan.
Sayangnya hasilnya belum juga nampak. Barangkali karena mereka bekerja
sendiri-sendiri dan tidak melakukan sinergi. Padahal kalau semua potensi
itu disatukan dalam sebuah managemen profesioal, insya Allah kita bisa
menyumbangkan sesuatu yang berharga di abad 15 hijriyah ini.
Hitung-hitung sebagai kado untuk kebangkitan Islam yang sudah sejak
lama didengung-dengungkan itu. Sebuah warisan pekerjaan dari generasi
lampau untuk kita demi mencapai
masterpiece.
Wallahu a’lam bishshawab wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Sumber : .eramuslim,muslim.or.id