Kisah Dzulqarnain telah diterangkan Al-Qur`an secara panjang lebar dalam Surat Al-
Kahfi ayat 83-101. Berikut adalah penjelasannya.
“Mereka akan bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Dzulqarnain.
Katakanlah: ‘Aku akan bacakan kepadamu cerita tentangnya.’ Sesungguhnya
Kami telah memberi kekuasaan kepadanya di (muka) bumi, dan Kami telah
memberikan kepadanya jalan (untuk mencapai) segala sesuatu, maka diapun
menempuh suatu jalan. Hingga apabila dia telah sampai ke tempat terbenam
matahari, dia melihat matahari terbenam di dalam laut yang berlumpur
hitam, dan dia mendapati di situ segolongan umat. Kami berkata: ‘Hai
Dzulqarnain, kamu boleh menyiksa atau boleh berbuat kebaikan terhadap
mereka.’ Berkata Dzulqarnain: ‘Adapun orang yang aniaya, maka kami kelak
akan mengadzabnya, kemudian dia dikembalikan kepada Rabbnya, lalu Dia
mengadzabnya dengan adzab yang tidak ada taranya. Adapun orang-orang
yang beriman dan beramal shalih, maka baginya pahala yang terbaik
sebagai balasan, dan akan kami titahkan kepadanya (perintah) yang mudah
dari perintah-perintah kami’.”
(Al-Kahfi: 83-88)
Dahulu, ahli kitab atau kaum musyrikin bertanya kepada Rasulullah
sallallahu’alahiwassallam tentang kisah Dzulqarnain. Allah
subhanahuwata’ala memerintahkan beliau untuk mengatakan:
“Aku akan bacakan kepadamu cerita tentangnya.”
Cerita yang mengandung berita yang memberi kecukupan dan pembicaraan
yang mengagumkan. Maksudnya, aku akan bacakan kepada kalian tentang
Dzulqarnain, yang bisa menjadi ibrah (pelajaran). Adapun hal-hal lain
yang tidak menjadi pelajaran, beliau tidak membacakannya kepada mereka.
“Sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepadanya di (muka) bumi.”
Maksudnya, Allah subhanahuwata’ala berikan kekuasaan dan memantapkan
pengaruhnya di segenap penjuru bumi, dan ketundukan mereka kepadanya.
“Dan Kami telah memberikan kepadanya jalan (untuk mencapai) segala
sesuatu, maka diapun menempuh suatu jalan.” Maksudnya, Allah
subhanahuwata’ala memberikan sebab-sebab yang menyampaikan kepada
kedudukan yang dicapainya itu. Sebab-sebab itu membantunya untuk
menaklukkan berbagai negeri, memudahkannya mencapai tempat-tempat yang
paling jauh yang didiami manusia. Dia menggunakan sebab-sebab
yang telah Allah subhanahuwataa’la berikan itu, sesuai dengan fungsinya.
Karena tidak setiap orang yang mempunyai sebuah sebab, kemudian dia
(mau) menjalaninya. Dan tidak setiap orang mempunyai kemampuan untuk
menjalani sebab itu. Sehingga, ketika terkumpul antara kemampuan untuk
menjalani sebab yang hakiki dan (kemauan) menjalaninya, tercapailah
tujuan. Dan bila keduanya (kemampuan dan kemauan) atau salah satunya
tidak ada, maka tujuan tidak akan tercapai. Sebab-sebab yang Allah
subhanahuwata’ala berikan kepada Dzulqarnain tidak diberitakan oleh
Allah subhanahuwata’ala maupun Rasul-Nya sallallahu’alaiiwassallam
kepada kita. Tidak pula berita-berita itu dinukilkan para ahli sejarah
kepada kita dengan penukilan yang meyakinkan. Maka, tidak ada yang
pantas bagi kita kecuali diam dan tidak melihat pada apa yang disebutkan
para penukil kisah Israiliyat dan yang semacamnya. Hanya saja kita tahu
secara global bahwa sebab-sebab tersebut kuat dan banyak, baik sebab
internal maupun eksternal. Dengan sebab-sebab itu, dia mempunyai pasukan
yang besar, banyak personil dan perlengkapannya, serta diatur dengan
baik. Dengan pasukan tersebut, dia mampu mengalahkan musuh-musuh,
memudahkannya untuk sampai ke belahan timur, barat maupun segenap
penjuru bumi. Allah subhanahuwata’ala memberikan sebab kepadanya yang
mengantarkannya sampai ke tempat terbenamnya matahari, hingga dia
melihat matahari dengan mata kepala seakan-akan matahari itu tenggelam
di lautan yang hitam. Dan ini biasa bagi orang yang hanya ada air
(lautan) antara dia dan ufuk terbenamnya matahari. Dia melihat bahwa
matahari tenggelam ke dalam laut itu, meskipun dia berada pada puncak
ketinggian. Di sana, yakni di tempat terbenamnya matahari tersebut,
Dzulqarnain menemukan sekelompok manusia. “Kami berkata: ‘Hai
Dzulqarnain, kamu boleh menyiksa atau boleh berbuat kebaikan terhadap
mereka’.” Yakni, engkau bisa mengadzab mereka dengan pembunuhan,
pukulan, atau menawan mereka dan semacamnya. Atau engkau berbuat baik
kepada mereka.
Dzulqarnain diberi dua pilihan, karena –yang nampak– kaum
itu adalah orang kafir atau fasik, atau mereka memiliki sebagian
sifat-sifat tersebut. Karena bila mereka adalah kaum yang beriman bukan
orang fasik, tentu Allah subhanahuwata’ala tidak memberikan keringanan
bagi Dzulqarnain untuk mengadzab mereka. Ini menunjukkan bahwa
Dzulqarnain memiliki assiyasah asy-syar’iyyah yang menjadikannya berhak
dipuji dan disanjung, karena taufiq yang Allah l berikan kepadanya. Dia
lalu berkata: “Aku akan menjadikan mereka dua bagian: “Adapun orang yang
aniaya.” Yakni kafir. “Maka Kami kelak akan mengadzabnya, kemudian dia
dikembalikan kepada Rabbnya, lalu Dia mengadzabnya dengan adzab yang
tidak ada taranya.” Yakni, orang yang aniaya akan mendapatkan dua
hukuman, hukuman di dunia dan di akhirat. “Adapun orang-orang yang
beriman dan beramal shalih, maka baginya pahala yang terbaik sebagai
balasan.” Yakni sebagai balasannya, dia akan mendapatkan surga kedudukan
yang baik di sisi Allah subhanahuwata’ala pada hari kiamat.
“Dan akan Kami titahkan kepadanya (perintah) yang mudah dari
perintah-perintah Kami.” Yakni, Kami akan berbuat baik kepadanya,
berlemah lembut dalam tutur kata, dan Kami permudah muamalah baginya.
Ini menunjukkan bahwa Dzulqarnain termasuk raja yang shalih, wali Allah
subhanahuwata’ala yang adil lagi berilmu, di mana dia menepati keridhaan
Allah dengan memperlakukan setiap orang sesuai dengan kedudukannya.
“Kemudian dia menempuh jalan (yang lain). Hingga apabila dia telah
sampai ke tempat terbit matahari (sebelah Timur) dia mendapati matahari
itu menyinari segolongan umat yang Kami tidak menjadikan bagi mereka
sesuatu yang melindunginya dari (cahaya) matahari itu, demikianlah. Dan
sesungguhnya ilmu Kami meliputi segala apa yang ada padanya. Kemudian
dia menempuh suatu jalan (yang lain lagi). Hingga apabila dia telah
sampai di antara dua buah gunung, dia mendapati di hadapan kedua bukit
itu suatu kaum yang hampir tidak mengerti pembicaraan. Mereka berkata:
‘Hai Dzulqarnain, sesungguhnya Ya`juj dan Ma`juj itu orang-orang yang
membuat kerusakan di muka bumi, maka dapatkah kami memberikan sesuatu
pembayaran kepadamu, supaya kamu membuat dinding antara kami dan
mereka?’ Dzulqarnain berkata: ‘Apa yang telah dikuasakan oleh Rabbku
kepadaku terhadapnya adalah lebih baik, maka tolonglah aku dengan
kekuatan (manusia dan alat-alat), agar aku membuatkan dinding antara
kamu dan mereka, berilah aku potongan-potongan besi.’ Hingga apabila
besi itu telah sama rata dengan kedua (puncak) gunung itu, berkatalah
Dzulqarnain: ‘Tiuplah (api itu).’ Hingga apabila besi itu sudah menjadi
(merah seperti) api, diapun berkata: ‘Berilah aku tembaga (yang
mendidih) agar kutuangkan ke atas besi panas itu.’ Maka mereka tidak
bisa mendakinya dan mereka tidak bisa (pula) melubanginya. Dzulqarnain
berkata: ‘Ini (dinding) adalah rahmat dari Rabbku, maka apabila telah
datang janji Rabbku Dia akan menjadikannya hancur luluh; dan janji
Rabbku itu adalah benar’.” (Al-Kahfi: 89-98)
Maksudnya, Dzulqarnain mendapati matahari terbit di atas komunitas
manusia yang tidak memiliki pelindung dari sinar matahari. Bisa jadi
karena mereka tidak menyiapkan tempat tinggal, karena mereka masih liar,
tidak beradab, dan nomaden. Atau bisa juga karena matahari selalu
berada di atas mereka, tidak pernah tenggelam. Sebagaimana hal ini
terjadi di wilayah Afrika Timur bagian selatan. Dzulqarnain telah sampai
kepada suatu tempat yang belum pernah diketahui penduduk bumi, terlebih
pernah mereka datangi (secara fisik) dengan tubuh mereka. Namun
demikian, ini semua terjadi dengan takdir Allah subhanahuwata’ala kepada
Dzulqarnain dan pengetahuannya terhadap hal itu. Oleh karena itu, Allah
subhanahuwata’ala berfirman:
“Demikianlah. Dan sesungguhnya ilmu Kami meliputi segala apa yang ada padanya.” (Al-Kahfi:91)
Maksudnya, Kami mengetahui kebaikan dan sebab-sebab agung yang ada padanya, dan ilmu Kami bersamanya, kemanapun ia menuju dan berjalan.
“Kemudian dia menempuh suatu jalan (yang lain lagi). Hingga apabila dia
telah sampai di antara dua buah gunung, dia mendapati di hadapan
keduanya suatu kaum yang hampir tidak mengerti pembicaraan.” (Al-Kahfi:
92-93)
Para ahli tafsir berkata: Dzulqarnain pergi dari arah timur menuju ke utara.
Sampailah dia di antara dua dinding penghalang. Kedua dinding
penghalang itu adalah rantai pegunungan yang dikenal pada masa itu, yang
menjadi penghalang antara Ya`juj dan Ma`juj dengan manusia. Di hadapan
kedua gunung itu, dia menemukan suatu kaum yang hampir-hampir tidak bisa
memahami pembicaraan, karena asingnya bahasa mereka dan tidak cakapnya
akal dan hati mereka. Dan Allah subhanahuwata’ala telah memberi
Dzulqarnain sebab-sebab ilmiah yang dengannya bahasa kaum itu menjadi
bisa dipahami dan dia memahamkan mereka. Dia bisa berbicara kepada
mereka dan mereka bisa berbicara kepadanya. Mereka kemudian mengeluhkan
kejahatan Ya`juj dan Ma`juj kepada Dzulqarnain. Mereka merupakan dua
umat yang besar dari keturunan Adam ‘alaihissalam.
Kaum itu berkata:
“Sesungguhnya Ya’juj dan Ma’juj itu orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi.” (Al-Kahfi: 94)
yaitu dengan melakukan pembunuhan, perampokan, dan lain-lain.
“Maka
dapatkah kami memberikan sesuatu pembayaran kepadamu….” (Al-Kahfi: 94)
maksudnya upah. “Supaya kamu membuat dinding antara kami dan mereka?”
(Al-Kahfi: 94) Hal ini menunjukkan ketidakmampuan mereka untuk membangun
dinding penghalang, dan mereka mengetahui kemampuan Dzulqarnain untuk
membangunnya. Mereka pun memberikan upah kepadanya untuk melakukannya.
Mereka menyebutkan sebab yang mendorong hal itu, yaitu perusakan Ya`juj
dan Ma`juj di bumi. Dzulqarnain bukanlah orang yang tamak, dia tidak
memiliki keinginan terhadap harta dunia. Namun dia juga tidak
meninggalkan perbaikan keadaan rakyat. Bahkan tujuannya adalah
perbaikan. Sehingga dia memenuhi permintaan mereka karena kemaslahatan
yang terkandung di dalamnya. Dia tidak mengambil upah dari mereka. Dia
bersyukur kepada Rabbnya atas
kekokohan dan kemampuannya. Dzulqarnain berkata kepada mereka:
“Apa yang telah dikuasakan oleh Rabbku kepadaku adalah lebih baik.”
(Al-Kahfi: 95) Maksudnya, lebih baik daripada apa yang kalian berikan
kepadaku. Aku hanyalah meminta kalian untuk membantuku dengan kekuatan
tangan-tangan kalian.
“Agar aku membuatkan dinding antara kamu dan mereka.” (Al-Kahfi: 95)
Yakni sebagai penghalang agar mereka tidak melintasi kalian.
“Berilah
aku potongan-potongan besi.” (Al-Kahfi: 96)
Merekapun memberinya.
“Hingga apabila besi itu telah sama rata dengan
kedua (puncak) gunung itu.” (Al-Kahfi: 96) yaitu dua gunung yang antara
keduanya dibangun penghalang.
“Berkatalah Dzulqarnain: ‘Tiuplah (api
itu)’.” (Al-Kahfi: 96) Maksudnya, nyalakanlah dengan nyala yang besar.
Gunakanlah alat tiup agar nyalanya membesar, sehingga tembaga itu
meleleh. Tatkala tembaga itu meleleh, yang hendak dia tuangkan di antara
potongan-potongan besi,
“Berilah aku tembaga agar kutuangkan ke atas
besi panas itu.” (Al-Kahfi: 96) Maksudnya, tembaga yang mendidih. Aku
tuangkan tembaga yang meleleh ke atasnya. Maka dinding penghalang itu
menjadi luar biasa kokoh. Terhalangilah manusia yang berada di
belakangnya dari kejahatan Ya`juj dan Ma`juj.
“Maka mereka tidak bisa
mendakinya dan mereka tidak bisa (pula) melubanginya.” (Al-Kahfi: 97)
Maksudnya, mereka tidak memiliki kemampuan dan kekuatan untuk mendakinya
karena tingginya penghalang itu. Tidak pula mereka bisa melubanginya
karena kekokohan dan kekuatannya. Setelah melakukan perbuatan baik dan
pengaruh yang mulia, Dzulqarnain menyandarkan nikmat itu kepada
Pemiliknya. Dia berkata:
“Ini (dinding) adalah rahmat dari Rabbku.”
(Al-Kahfi: 98) Maksudnya, merupakan karunia dan kebaikan-Nya terhadapku.
Inilah keadaan para khalifah yang shalih. Bila Allah subhanahuwata’ala
memberikan nikmat-nikmat yang mulia kepada mereka, bertambahlah syukur,
penetapan, dan pengakuan mereka akan nikmat Allah subhanahuwata’ala.
Sebagaimana ucapan Sulaiman ‘alaihissallam ketika singgasana Ratu Saba`
tiba di hadapannya dari jarak yang sedemikian jauh:
“Ini termasuk
karunia Rabbku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari
(akan nikmat-Nya).” (An-Naml: 40)
Ini berbeda dengan orang yang congkak, sombong, dan merasa tinggi di
muka bumi. Nikmat-nikmat yang besar menjadikan mereka bertambah congkak
dan sombong. Sebagaimana ucapan Qarun ketika Allah subhanahuwata’ala
memberinya perbendaharaan yang kunci-kuncinya sungguh berat dipikul oleh
sejumlah orang yang kuat. Dia berkata:
“Sesungguhnya aku hanya diberi
harta itu, karena ilmu yang ada padaku.” (Al-Qashash: 78) Ucapan
Dzulqarnain:
“Maka apabila sudah datang janji Rabbku, Dia akan
menjadikannya hancur luluh; dan janji Rabbku itu adalah benar.”
(Al-Kahfi: 98) Maksudnya, waktu keluarnya Ya`juj dan Ma`juj.
“Dia akan
menjadikannya….” (Al-Kahfi: 98) Maksudnya, menjadikan dinding penghalang
yang kuat dan kokoh itu (hancur luluh), dan runtuh. Ratalah dinding itu
dengan tanah.
“Dan janji Rabbku itu adalah benar.”(Al-Kahfi: 98) “Kami
biarkan mereka di hari itu bercampur aduk antara satu dengan yang lain.”
(Al-Kahfi: 99) Bisa jadi dhamir (kata ganti mereka) kembali kepada
Ya`juj dan Ma`juj –ketika mereka keluar kepada manusia– karena banyaknya
jumlah mereka dan meliputi seluruh permukaan bumi, sehingga mereka
berbaur satu sama lain. Sebagaimana firman Allah subhanahuwata’ala:
“Hingga apabila dibukakan (dinding) Ya`juj dan Ma`juj, dan mereka
turun dengan cepat dari seluruh tempat yang tinggi.” (Al-Anbiya`: 96)
Bisa juga kata ganti tersebut kembali kepada seluruh makhluk pada hari
kiamat. Mereka berkumpul pada hari itu dalam keadaan banyak sehingga
bercampur-aduk antara satu dengan yang lain….” (Diambil dari Taisir
Al-Karimirrahman karya Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di, hal. 486-487)
*sumber: Majalah Asy Syariah